Normalisasi Indonesia-Israel dan Palestina Merdeka
Oleh: Ibnu Burdah (Guru Besar Ilmu Kajian Dunia Arab dan Islam Kontemporer UIN Sunan Kalijaga)
Isu normalisasi hubungan antara Indonesia dan Israel tiba-tiba mencuat ke permukaan. Pemicunya adalah rayuan Amerika Serikat terhadap pemerintah Indonesia melalui pembicaraan di antara menteri luar negeri kedua negara baru-baru ini. Hal itu mengejutkan masyarakat Indonesia. Kendati isu kemungkinan membuka hubungan dengan Israel lamat-lamat sudah sering terdengar sejak lama, penggunaan istilah "normalisasi" dalam konteks ini merupakan hal baru. Apalagi dengan melibatkan petinggi selevel menteri luar negeri dari negara besar. Rayuan ini juga semakin nyaring terdengar dari berbagai person dari Israel.
Kontroversi pun pecah. Masyarakat pada umumnya tampak menolak upaya tersebut. Pemerintah Indonesia juga tampaknya sangat tegas merespons hal itu dengan cara yang sama. Alasannya jelas, yaitu solidaritas terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina. Namun apakah benar normalisasi hubungan Indonesia dengan Israel akan merusak atau melemahkan perjuangan Palestina? Atau, jangan-jangan justru sebaliknya, normalisasi itu dapat membantu perjuangan Palestina? Apakah solidaritas terhadap Palestina harus mengesampingkan kepentingan pragmatis Indonesia, khususnya dengan Israel? Ataukah jangan-jangan dua hal itu tidak saling bertentangan dan bisa dikompromikan?
Psikologis
Normalisasi Indonesia dan Israel—jika terjadi—jelas berpengaruh terhadap ikhtiar kemerdekaan Palestina. Ada dampak psikologis dan politis yang segera dirasakan jika Indonesia mengambil opsi ini. Indonesia sebagai salah satu pendukung perjuangan Palestina merdeka yang paling konsisten dan tegas—yang mungkin bisa dibaca kaku—akan dianggap goyah dan mengubah haluannya.
Apalagi status Indonesia tidak main-main. Indonesia merupakan negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia dan memegang posisi penting di berbagai organisasi dunia. Indonesia juga salah satu negara muslim dengan demokrasi matang, sesuatu yang sangat jarang dan bahkan langka. Setidaknya ukurannya adalah beberapa kali pergantian kekuasaan dapat dilakukan melalui cara damai di bilik suara tanpa ada guncangan besar. Ekonomi Indonesia juga dianggap punya ketahanan yang cukup baik terhadap tekanan badai pandemi Covid-19, meskipun ini juga tidak bisa dipandang berlebihan.
Jika Indonesia mengambil langkah normalisasi dan bergabung dengan empat negara Arab lainnya yang telah lebih dulu "menormalkan" hubungan dengan Israel, Palestina pasti sangat kecewa. Itu merupakan pukulan psikologis dan politik yang signifikan. Hal ini juga berpotensi mempengaruhi sikap negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lain di dunia. Seperti sudah dimaklumi, dukungan terhadap Palestina dari para pemimpin Arab dan negara Islam cenderung dangkal, lamis (lain di bibir, lain di hati), dan lebih banyak basa-basinya. Normalisasi Indonesia-Israel pasti menambah buruk situasi ini.
Masyarakat kita juga pasti banyak yang menolak. Apalagi setelah gerakan 212, mental politik islamis menguat dan menjadi sangat sensitif terhadap isu-isu berbau agama, bahkan isu sederhana tak jarang dibawa-bawa untuk menawar-nawar fondasi kebangsaan. Normalisasi juga berpotensi memancing perlawanan jalanan yang berbahaya bagi stabilitas negeri. Beban politik domestik terlalu besar jika pengambil kebijakan memilih opsi itu sekarang. Siapa pun yang menjadi pemimpin negeri ini, tidak boleh meremehkan hal tersebut.
Namun, jika Indonesia tetap pada sikap selama ini, yakni berdiri tegap di belakang Palestina, apakah ini bisa membawa kemajuan dalam perjuangan Palestina merdeka? Capaian sebagian dari Palestina merdeka yang berwujud Al Sulthah Al-Filistiniyyah atau Otoritas Palestina yang “berdaulat” secara terbatas di delapan kota Palestina itu merupakan hasil perundingan dengan Israel, bukan dari teriakan-teriakan keras di luar meja perundingan. Pihak-pihak yang dianggap berkontribusi terhadap capaian itu, faktanya, adalah mereka yang bisa berbicara kepada Palestina sekaligus kepada Israel, bukan Indonesia.
Saluran dan Kesungguhan
Saluran untuk bisa berbicara kepada dua pihak inilah yang absen dari kita. Idealnya, kita benar-benar berpihak terhadap kemerdekaan Palestina. Keberpihakan itu tulus karena hal itu merupakan amanat konstitusi serta dijiwai oleh semangat dan nurani membela kemanusiaan. Tapi, di sisi lain, kita seharusnya juga bisa dengan mudah berbicara dengan Israel. Idealnya demikian.
Rayuan dari beberapa pihak Israel juga demikian. Kalau Indonesia membuka hubungan dagang dengan Israel dan skalanya mencapai jumlah yang tinggi, apa pun yang dikatakan Indonesia akan didengar bahkan sangat dipertimbangkan oleh pihak-pihak di Israel. Jika tak ada kepentingan pragmatis yang konkret dengan Indonesia, suara Indonesia tak akan didengar oleh pihak-pihak di Israel.
Saya menyetujui sebagian pandangan itu, dan argumen semacam itu juga dipakai oleh beberapa negara Arab yang melakukan normalisasi dengan Israel. Normalisasi diklaim sebagai salah satu jalan untuk membantu perjuangan Palestina, di samping untuk kepentingan pragmatis dan strategis. Itu kira-kira yang dikatakan para pemimpin Arab yang melakukan normalisasi.
Faktanya, hal itu ternyata alasan lips service belaka. Ketika Palestina bergolak dan dalam masalah darurat, tak terdengar sedikit pun ikhtiar sungguh-sungguh atau pernyataan yang tandas dari para pemimpin Arab yang melakukan normalisasi itu kepada Israel untuk membela kepentingan Palestina. Lips service berpihak kepada Palestina rupanya hanya digunakan oleh para pemimpin negara tersebut untuk mengurangi tekanan politik domestik dan regional.
Jadi, aspek ketulusan dan kesungguhan pemimpin sangat krusial dalam isu perjuangan Palestina. Kendati kita berdiri kokoh di belakang Palestina, hal itu tak akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Palestina merdeka jika tidak disertai dengan langkah-langkah yang benar-benar nyata, logistik yang cukup, serta dukungan misi diplomatik yang serius dan andal.
Pencarian solusi Palestina sekarang ini terus berpacu dengan perkembangan realitas di lapangan, ketika Israel semakin hari semakin memasuki wilayah-wilayah yang dipersengketakan, termasuk Yerusalem. Jika kondisi status quo seperti sekarang terus berlanjut tanpa solusi kreatif, cita-cita Palestina merdeka kelak terancam menjadi fatamorgana sejarah. Apakah normalisasi adalah jalannya? Bisa iya, bisa juga tidak. Hal ini bergantung pada niat, kesungguhan, dan ketulusan para pemimpin kita. Yang dikhawatirkan adalah orang yang telah berjalan agak jauh kadang sering lupa akan tujuan awal dari melakukan perjalanan.
*Sumber: Opini Koran Tempo 28-01-2022