Khalid bin Walid: Seni Memenangkan Peperangan

Khalid bin Walid: Seni Memenangkan Peperangan

Buku karya Wisnu Tanggap Prabowo ini bagus sekali. Buku ini bukan hanya berkisah tentang pahlawan Islam Khalid bin Walid, tapi juga membandingkan tentang kepahlawanan Khalid dengan tokoh-tokoh perang terkemuka. Seperti Sun Tzu, Napoleon Bonaparte, Aleksander dan Hanninal.

Buku The Art of War mungkin cukup akrab di telinga pembaca. Tapi buku itu diduga bukan karya Sun Tzu atau mungkin ditulis rame-rame dan tidak dalam satu kurun saja. Diantara pertempuran besar yang dilangsungkan Sun Tzu hanya satu yang ia menangkan. Sedangkan Khalid memenangkan sekiar 100 pertempuran dengan catatan 100 persen kemenangan.

Lawan yang dihadapi Khalid saat itu bukan main-main, Dua negara besar yaitu Romawi dan Persia. Khalid selalu memainkan teknik perang yang lain dari yang lain (out of the box). Ia senantiasa diberikan doa oleh Rasulullah, sehingga selalu menang dalam peperangan.

Dalam buku ini penulis selain mengambil referensi dengan buku-buku sirah, juga melengkapinya dengan buku manual kemiliteran AS, buku panduan perang Romawi Timur Strategikon karya Mauricius, buku The Art of War Sun Tzu dan juga buku karya Letnan Jenderal Agha Ibrahim Akram. Ia juga mengambil referensi dari sejumlah imuwan Barat diantaranya: George Nafziger, David Nicolle, Hugh Kennedy, George Aldrete dan lain-lain. 

000

Suatu ketika di Hirah, Khalid bin Walid bertanya kepada Amru bin Abdul Masih bin Buqailla,”Apa isi bungkusan itu?” ujar Khalid sembari membukanya.

“Ini adalah racun yang dapat mematikan dalam sekejap,”jawab Amru. “Untuk apa kamu bawa?” tanya Khalid.

“Sengaja aku bawa dan aku makan jika aku melihat ada hal-hal yang tidak aku senangi menimpa kaumku. Kematian lebih aku cintai daripada melihat kaumku sengsara,”ujar Amru.

“Sesungguhnya satu jiwa tidak akan mati hingga ajal datang menjemputnya,”jawab Khalid.

Lalu Khalid membuka bungkusan itu dan membaca,”Bismillah sebaik-baik Nama Rabb pemilik bumi dan langit. Dengan menyebut namaNya tidak akan membahayakan segala macam penyakit, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”

Orang-orang berusaha mencegahnya namun Khalid terlanjur memakan makanan beracun itu. Ketika melihat Khalid tetap segar bugar, maka Ibnu Buqailla berkata,”Demi Allah hai orang-orang Arab, kalian pasti akan menguasai negeri manapun yang kalian inginkan, selama satu orang saja yang bersama kalian ini ikut.”

Khalid bin Walid, Abu Ubaidah, Saad bin Waqqash dan seluruh sahabat apabila ditanya mengapa mereka berperang, maka ketahuilah mereka berperang karena ingin menegakkan agama Allah. Dan juga sebagai bukti kecintaan dan kesetiaan kepada Nabi Muhammad saw. Mereka beriman kepada akhirat dan mengharap surga Allah.

Kesediaan Khalid berkorban untuk menanggung derita dalam peperangan melawan pasukan yang lebih besar, di negeri yang jauh dari kampung halaman, tanpa perbekalan memadai, dengan persenjataan dan perlengkapan seadanya, dengan unta dan kuda yang kurus, dengan pasukan yang minim pengalaman tempur adalah bukti bahwa bukanlah dunia yang menjadi tujuan utama. Bagi Khalid, kematian adal dah pintu menuju rahmat Allah SWT san satu-satunya jalan melepas kerinduan terhadap Nabi yang telah wafat. Kematian bukan untuk dihindari, tapi kematian justru adalah penyemangat untuk jalan menuju mati syahid. Mereka tidak takut mati.

Ahli teori perang dari Prusia bernama Von Clausewitz pernah menulis bahwa terdapat tiga tujuan perang: menaklukkan dan menguasai angkatan perang musuh, menguasai sumberdaya mereka dan memperoleh keuntungan opini publik. Tujuan perang bagi Clausewitz hanyalah pada aspek duniawi semata. Sedangkan dorongan kuat berperang bagi kaum Muslim adalah karena Allah. Mereka ingin meninggikan kalimat Allah. Dorongan perang seperti ini, tidak popular di kalangan ahli teori modern.

Memang Khalid bin Walid tidak pernah menuangkan seni berperangnya dalam sebuah buku sebagaimana Sun Tzu atau jenderal perang lainnya. Tapi, filosofi dan manuver perangnya, kualitas kepemimpinan, kejeniusan, dan insting tempurnya tercatat dalam tinta emas sejarah. Jaisy az Zahf, unit elit pasukan berkuda yang dipimpin Khalid senantiasa ampuh dalam menghadapi lawan yang kekuatan jauh lebih besar. Pasukan berkuda ini dapat bermanuver lebih cepat dan dapat memukul musuh dengan kekuatan penuh (tidak terduga). Pasukan ini sifatnya simplicity dan mobility.

Penulis buku ini juga membandingkan kejeniusan Khalid dengan Hannibal, Aleksander dan Napoleon. Dengan Aleksander misalnya, rekor kemenangan Khalid 4 dibanding 1. Khalid meraih semua kemenangan dalam waktu yang lebih singkat yaitu delapan tahun. Sedangkan Aleksander perlu duabelas tahun. Aleksander mengalahkan Persia dalam pertempuran besar di Gaugamela, sedangkan Khalid mengalahkan Persia dalam perang Walaja. Aleksander dan pasukannya memang menempuh jarak yang lebih jauh (34ribu km) ketimbang Khalid dan pasukannya. Tapi dalam perlakuan wilayah yang ditaklukkan, sikap Khalid lebih baik dari Aleksander.

Khalid dan Napoleon sama-sama ahli strategi perang. Jumlah pertempuran yang dijalani Napoleon tidak sebanyak Khalid. Khalid tidak pernah kalah dalam peperangan, sedangkan Napoleon pernah kalah. Ia bahkan mengakhiri karir militernya dengan tragis, yaitu kalah telak dengan Inggris di Waterloo. Kemudian ia diasingkan lalu mati di sebuah pulau terpencil di tengah Atlantik.

Khalid selalu terjun dalam peperangan yang dipimpinnnya. Sedangkan Napoleon tidak demikian. Khalid adalah petarung yang tangguh, sehingga ketika mengenang Perang Mu’tah Khalid mengatakan,”Sembilan pedang di tanganku telah patah. Tidak tersisa kecuali pedang buatan Yaman.”

Sejawaran Barat sendiri mengakui kehebatan Khalid. George Nafziger mengatakan,”Khalid kemudian membuktikan dirinya sebagai panglima militer terbaik dalam sejarah umat manusia. Ia merupakan instrument penting bagi dua kampanye militer paling menentukan dalam sejarah dunia. Bahkan lebih menakjubkan lagi, dua kampanye militer itu terjadi nyaris dalam waktu bersamaan melawan dua kekuatan hebat (Romawi Timur dan Sassania).

David Nicolle dalam bukunya Yarmuk 636 AD berkata,”Khalid merupakan salah satu dari ahli taktik terhebat dalam sejarah militer.” Fred McGraw Donner menyatakan Khalid adalah salah satu ahli taktik yang jenius di periode awal Islam.

Walhasil, buku yang hebat tentang pahlawan Islam ini sayang untuk dilewatkan. Baik bagi aktivis, guru, dosen, orang tua maupun mahasiswa. Banyak mutiara-mutiara di dalamnya yang bisa diambil untuk diterapkan dalam kehidupan saat ini. Wallahu alimun hakim.

Oleh: Nuim Hidayat, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok (2012-2021)

*Ini adalah resensi buku karya Wisnu Tanggap Prabowo yang berjudul The Art of War, Khalid bin al Walid (Pustaka al Kautsar, Oktober 2021).

Baca juga :