Kepala Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro menyatakan peleburan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional merupakan kemunduran sains di Indonesia. Selain menyebabkan hilangnya sumber daya terbaik, peleburan ini juga merusak budaya riset dan independensi ilmuwan yang sudah terbangun baik di Eijkman.
"Lembaga Eijkman itu mempunyai sejarah panjang dan nama sangat kuat di dunia. Dengan kejadian ini, para penelitinya akan kehilangan wibawa sebagai peneliti. Mereka yang sebelumnya bisa independen dipaksa menjadi pegawai negeri. Sudah jelas bakal terjadi brain drain (hengkangnya ilmuwan)," kata Satryo, di Jakarta, Senin (3/1/2022).
Dengan ditarik ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), reputasi Eijkman dikhawatirkan akan tenggelam. Apalagi tidak semua penelitinya bisa diserap. "Yang diangkat hanya ASN (aparatur sipil negara), yang tidak diberhentikan atau dikasih opsi, yang itu pun tidak wajar untuk peneliti dan pasti banyak yang tidak mau," kata dia.
Lima opsi
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan, "Dengan terintegrasinya Kementerian Riset dan Teknologi dan 4 LPNK (Lembaga Pemerintah Nonkementerian) ke BRIN, status LBM (Lembaga Biologi Molekuler) Eijkman telah kami lembagakan menjadi unit kerja resmi yakni Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman di bawah Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati," ujarnya.
Menurut Handoko, selama ini LBM Eijkman banyak merekrut tenaga honorer. “Untuk itu BRIN telah memberikan beberapa opsi sesuai status masing-masing,” kata dia.
Opsi pertama, ASN periset dilanjutkan menjadi ASN BRIN sekaligus diangkat sebagai peneliti.
Opsi kedua, honorer periset usia diatas 40 tahun dan S3, dapat mengikuti penerimaan ASN jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2021.
Lembaga Eijkman itu mempunyai sejarah panjang dan nama sangat kuat di dunia. Dengan kejadian ini, para penelitinya akan kehilangan wibawa sebagai peneliti. Sudah jelas bakal terjadi brain drain (hengkangnya ilmuwan).
Opsi ketiga, honorer periset usia kurang dari 40 tahun dan S3 dapat mengikuti penerimaan ASN.
Keempat, honorer periset non-S3 dapat melanjutkan studi dengan skema by-research dan research assistantship (RA) atau melanjutkan sebagai operator laboratorium di Cibinong.
Opsi kelima, honorer non periset diambil alih Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangungkusumo, Jakarta.
"Sehingga benar bahwa ada proses pemberhentian sebagai pegawai LBM Eijkman, tetapi sebagian besar dialihkan atau disesuaikan dengan berbagai skema tersebut agar sesuai regulasi sebagai lembaga pemerintah," kata Handoko.
Kemunduran
Kepala LBM Eijkman periode 2014-2021 Amin Soebandrio mengatakan, sebagian besar staf di Eijkman tidak bisa bergabung ke BRIN.
"Lebih dari seratusan yang tidak bisa masuk ke BRIN. Kebanyakan karena bukan ASN dan belum S3. Mereka yang sudah S2, untuk mencari sekolah sesuai dalam waktu cepat juga tidak mudah," tuturnya.
Data yang diperoleh Kompas dari sumber di LBM Eijkman menyebutkan, dari 157 staf Lembaga Eijkman, 96 di antaranya peneliti dan sisanya staf administrasi dan pendukung, yang diberhentikan per 31 Desember 2021 sebanyak 115 orang. Mereka diberhentikan tanpa pesangon karena sebelumnya jadi karyawan kontrak. Hanya 42 orang berstatus ASN yang bisa bergabung ke BRIN dan 15 di antaranya peneliti.
Amin mengatakan, peleburan LBM Eijkman ke BRIN ini merupakan kemunduran.
"Kalau bagi Eijkman ya ini jelas kemunduran. Kegiatan penelitian pasti akan terhambat, karena yang sedang berjalan harus dikurangi asisten risetnya dan harus dikerjakan sendiri oleh penelitinya. Pembiayaan juga belum jelas," katanya.
Untuk riset vaksin Merah Putih yang sedang dikerjakan LBM Eijkman, menurut Amin, juga terdampak. "Tetapi untungnya fasenya sudah peralihan ke industri, jadinya porsi Eijkman tidak terlalu besar lagi. Namun, kami akan berkomitmen menyelesaikannya," ujarnya.
Peneliti LBM Eijkman Pradiptajati Kusuma yang turut diberhentikan mengaku tidak mengikuti seleksi penerimaan ASN meski dia sudah doktor.
"Selama bekerja di LBM Eijkman saya merasakan lingkungan yang kondusif untuk meneliti. Senior dan yunior, bahkan sampai teknisi berkolaborasi untuk menghasilkan karya terbaik. Saya khawatir itu sulit saya dapatkan nantinya," kata peneliti bidang genetika dan evolusi populasi ini.
Independensi riset
Satryo menilai, peleburan lembaga-lembaga riset ke BRIN ini merupakan kebijakan yang tidak tepat. Selain Lembaga Eijkman, sejumlah lembaga riset seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN), juga mengalami hal yang sama.
"Saya selaku AIPI sudah mengingatkan sejak awal, tapi tidak didengar. Seharusnya BRIN bisa berperan koordinasi, tanpa harus melebur lembaga riset yang sudah ada dan bekerja baik seperti Eijkman," ungkapnya.
Menurut Satryo, editorial jurnal internasional Nature sudah pernah mempertanyakan peleburan lembaga-lembaga riset di Indonesia ke dalam BRIN beberapa waktu lalu.
"Ini sudah menjadi bahasan internasional. Saat itu saya diwawancara mereka dan menyatakan pembentukan BRIN yang jadi superbodi ini justru merupakan kemunduran bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Tidak pernah ada lembaga yang bentuknya seperti BRIN di negara demokrasi mana pun," kata dia.
Satryo menambahkan, di negara maju yang risetnya bagus justru melakukan desentralisasi supaya tiap lembaga punya kekuatan dan bisa meneliti dengan hasil maksimal.
"Penelitinya ditantang menghasilkan karya terbaik, bukan disatukan dan ditugaskan untuk menjadi pegawai. Bahkan, sekarang lembaga riset yang sudah punya DNA sebagai lembaga riset seperti Eijkman, tiba-tiba dilebur. Tidak mungkin ada riset yang berkualitas kalau peneliti diperlakukan jadi pegawai kantor, harus patuh semua," kata dia.
Menurut Satryo, negara-negara yang risetnya kuat memiliki sejumlah lembaga riset unggulan yang independen. "Bahkan, sekalipun didanai pemerintah penelitinya tetap harus independen, termasuk bisa meneliti kebijakan yang dianggap keliru sehingga bisa diperbaiki. Independensi untuk melakukan riset dan inovasi ini adalah kunci kemajuan ilmu pengetahuan," ujarnya.
Dewan Penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herlambang Wiratraman mengatakan, peleburan lembaga-lembaga riset ke dalam BRIN ini bisa mengancam kebebasan keilmuan, termasuk dalam menjalankan fungsinya melakukan riset yang kritis.
" Ini lebih merupakan upaya birokratisasi ilmuwan dan ilmu pengetahuan seperti pernah terjadi di zaman kolonial Belanda yang menjadikan ilmuwan sebagai kepanjangan tangan birokrasi," kata dia.
(Sumber: KOMPAS)