Agustinus Edy Kristianto: CATATAN AWAL TAHUN 2022, Konsolidasi Kekuasaan Semakin Kuat dan Mempertebal Tembok Oligarki

CATATAN AWAL TAHUN 2022
Konsolidasi Kekuasaan Semakin Kuat dan Mempertebal Tembok Oligarki

Oleh: Agustinus Edy Kristianto

Sebelum menulis status perdana 2022, saya berpikir: apa yang masih relevan untuk dibicarakan sekarang? Apa objektif yang minimal bisa kita capai? Manfaat apa yang bisa didapat untuk meningkatkan kualitas cara hidup masyarakat menghadapi realitas sosial-politik sehari-hari? Apakah kita menuju ke direksi yang tepat sesuai cita-cita Konstitusi yakni keadilan dan kesejahteraan?

Saya pikir situasinya tidak menguntungkan bagi kepentingan masyarakat umum. Konsolidasi kekuasaan semakin kuat dan mempertebal tembok oligarki yang membuat distribusi kekuasaan tersebar di segelintir tangan. 

Pembicaraan tentang perbaikan nasib rakyat kecil tidak menjadi atensi serius sehingga menyebabkan rakyat menjadi objek semata dari sebuah kebijakan. Sementara regulasi cenderung dibentuk sesuai kerangka kerja dari kepentingan oligarki. Partisipasi dan pengawasan publik adalah omong-kosong yang dibiarkan ada sebatas noise. Motif di balik corak pemerintahan yang semacam itu adalah proteksi terhadap kesepakatan-kesepakatan bisnis, estafet kekuasaan, dan kontrol terhadap penguasaan sumber daya negara yang sangat potensial dijadikan alat tawar-menawar di antara elite nasional dan asing.

Secara kasat mata bisa kita lihat sepanjang 2 tahun pandemi terakhir. Meskipun turun 0,58% dari tahun 2020, menurut BPS, tapi angka pengangguran per 2021 masih tinggi yakni 9,1 juta jiwa. Jika dilihat dari kacamata ketimpangan kekayaan, terlihat bahwa kebijakan pro-investasi yang akan mengentaskan kemiskinan adalah jargon semata. Cuan besar ada di konglomerat (Kontan, Senin 10 Januari 2021). Contohnya portofolio saham Grup Salim yang naik rata-rata 1.288,91% selama 2021. 

Cuan besar ada di platform digital mitra Prakerja dkk yang dapat Rp5,6 triliun tanpa ada kejelasan pertanggungjawabannya sampai sekarang. Cuan besar ada di taipan batubara, yang izinnya terus dilestarikan dan ekspornya terus menghasilkan profit. Contohnya Adaro milik kakak Menteri BUMN, yang pendapatannya dari ekspor mencapai Rp28 triliun tahun lalu atau naik 40% dibanding 2020. Si kakak itu juga tanahnya dipakai negara untuk membangun kawasan industri Kaltara, dia pula yang menjadi ketua konsorsiumnya. 

Perusahaan kakak itu yang lain yakni Gojek, enak pula karena disuntik Rp6,4 triliun oleh BUMN Telkomsel, di mana ia sekarang juga menggenggam 1 miliaran lembar dan siap raup cuan jika IPO nanti. Ia masih untung juga karena perusahaan lainnya yakni Panca Amara Utama tak perlu mengembalikan uang retensi US$50,7 juta kepada Rekind (anak Pupuk Indonesia) padahal pabrik sudah beroperasi dan kabarnya perusahaan itu juga mendapatkan alokasi gas khusus. 

Mau bicara apa lagi? Perusahaan batubara Bakrie? Aman. Izin akan diperpanjang dan baru saja dapat dana right issue Rp1,65 triliun. Medco? Aman. Pertamina mengajaknya membangun geothermal. Mobil listrik? Aman. Indonesia Battery Corporation (IBC) akan menggandeng Grup Astra, yang juga pemegang saham Gojek/GoTo, untuk produksi. Mau bisnis apa lagi? Carbon trade? Bank digital? Start-up? Semua sudah aman, segaris dari hulu ke hilir, hanya beda-beda proxy saja. 

Bagaimana itu semua bisa terjadi, konsentrasi kekuasaan bisnis dan politik di segelintir kalangan, tak perlu kita pertanyakan lagi. Realitasnya seperti itu. Satu-satunya fakta yang jelas adalah Presiden Jokowi, yang katanya berasal dari rahim rakyat, berkontribusi besar untuk mendorong realitas itu. 

Anda ingin memperkarakan itu ke jalur hukum? Sulit! Lihat contoh saya. Tanggal 7 Januari 2022, KPK mengirimkan surat bahwa laporan saya tidak bisa diproses karena alasan bla-bla-bla. Yang saya laporkan adalah Menteri BUMN dan kakaknya, salah satu tiang penyangga oligarki pemerintahan saat ini, dalam kasus suntikan dana Rp6,4 triliun Telkomsel ke Gojek. 

Mari kita buat sederhana gambaran situasinya. 2020 dan 2021 adalah masa akumulasi bagi kekuasaan dan cabang oligarkinya. 2022-2023 adalah mark-up, yang telah secara telanjang dimulai awal pekan ini dengan survei-survei yang membanggakan prestasi pemerintah, rencana naik kelas keturunan/dinasti Jokowi ke jabatan gubernur, slogan estafet kekuasaan Jokowi ke Erick Thohir, dan narasi basi bahwa Jokowi adalah figur yang masih setia di jalur nurani rakyat dan oleh karenanya penerusnya pun harus dari rumpun yang sama. 2024 adalah distribusi! Jualan besar-besaran. Rakyat yang sudah terpikat narasi-narasi wangi akan tergopoh-gopoh membeli tanpa literasi dan daya kritis yang jernih. 

Saya rasa kita memerlukan kompas yang konsisten dan kredibel untuk menilai dan bertindak. Manusia diberikan akal budi dan nurani oleh Tuhan untuk itu. Kebusukan dan kebohongan seharusnya bisa terdeteksi sejalan dengan semakin besar porsi penggunaan akal budi dan nurani itu. Apa yang manis terlihat, tidak selalu baik dan tepat dalam kenyataan yang sesungguhnya. Prinsipnya adalah keadilan dan kesejahteraan umum harus dipenuhi karena itu amanat Konstitusi, bukan keadilan dan kesejahteraan bagi sekelompok orang saja.

Tapi, memang kondisinya tidak selalu mudah. Banyak noise dan pengalihan yang akan dilakukan untuk mematikan akal budi dan nurani masyarakat untuk jernih menilai dan bertindak. Yang ingin dilestarikan adalah masyarakat kesan, masyarakat yang bertindak berdasarkan pandangan permukaan, emosi, ilusi, dan lembek untuk ditekan-tekan. 

Hanya dengan cara itu kekuasaan bermuka dua terus berlipat ganda, tak ada habisnya.

Salam.


Baca juga :