KPK Sebut Tidak Bisa Tindaklanjuti Pelaporan Kasus Erick Thohir

Oleh: Agustinus Edy Kristianto

Meski tidak menyenangkan tetap perlu dikabarkan.

Beberapa hari lalu pihak KPK menghubungi saya melalui telepon dan mengabarkan pengaduan saya terkait dugaan nepotisme dalam kasus investasi Telkomsel di GoTo sebesar Rp6,7 triliun lebih dengan terlapor Menteri BUMN Erick Thohir telah diregistrasi, namun setelah ditelaah KPK belum bisa ditindaklanjuti. Menurut KPK, nepotisme tidak bisa berdiri sendiri sebagai tindak pidana.

Ia pun bertanya kepada saya apakah keputusan belum bisa ditindaklanjuti itu perlu dibuatkan surat jawaban atau cukup dengan pembicaraan di telepon. Saya minta dibuatkan surat. Tapi sampai saat ini barang itu belum saya terima.

Saya akui perkara nepotisme sangat jarang diproses di Indonesia. Masih pula ada perdebatan apakah itu masuk tindak pidana umum atau khusus. 

Tapi argumen saya sederhana. Nepotisme senafas dengan korupsi dan kolusi yang harus diberantas di Indonesia sebagai amanat Reformasi 1998 yang dituangkan dalam TAP MPR. UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN bahkan mencantumkan nepotisme sebagai perbuatan yang diancam hukuman maksimal 12 tahun penjara, sebagai perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Butir menimbang huruf a UU 19/2019 tentang KPK menyatakan perlunya penyelenggaraan negara yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Artinya ada satu nafas dari tiga kejahatan yang perlu diberantas: korupsi, kolusi, nepotisme.

Saya bergeming dan mempertanyakan kepada orang KPK itu bagaimana bisa atas dasar telaah beberapa pekan saja (sejak saya adukan) bisa keluar keputusan itu. Apanya yang ditelaah? Mengapa tidak diproses saja dan dalam pengembangannya nanti mungkin bisa ke arah tipikor.

Ia mengakui bahwa transaksi Telkomsel ke Gojek itu 'menarik' dan menanyakan kepada saya jika ada informasi atau narasumber dari jaringan saya yang bisa memberikan petunjuk lebih jauh ke arah pelanggaran hukum. Saya ceritakan yang saya tahu saja sambil berseloroh jika saya digaji dan dapat tunjangan serta kewenangan seperti penyidik KPK, saya akan sangat senang untuk mengambil dokumen, notulensi, memanggil saksi yang berkaitan dengan peristiwa itu. 

Ujungnya saya katakan, saya tak mau lagi mengadu ke KPK. Dari pengalaman saya ini, lebih baik saya mendorong keluarga/kerabat/kroni saya ikut pemilu dan menang, supaya saya bisa melakukan nepotisme. Toh, selama berkuasa, hukum akan melindungi saya dan patron saya yang pejabat. 

Mengenai perkara nepotisme, ada satu lagi yang dilaporkan oleh Prodem ke Polda Metro Jaya, berkaitan dengan bisnis PCR dengan terlapor Menko Marives Luhut Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir. Kita lihat saja beritanya nanti, amsyong juga apa tidak.

Mengapa saya capek-capek melakukan pengaduan itu semua, menuliskannya di Facebook dsb? Apa yang saya tuju? 

Saya tak mau kompensasi apa-apa. Saya tak mau dapat nama atau uang dari itu semua. Saya ingin menggunakan akal sehat saja. Bagaimana bisa adiknya Menteri BUMN, perusahaan kakaknya mendapat dana Rp6,7 triliun dari anak perusahaan BUMN, tapi tidak kita pertanyakan. Ini bukan cuma terjadi dalam kasus Gojek tapi juga di kasus Rekind, misalnya. 

Kejadian di balik layar menyangkut pengelolaan uang negara mesti transparan. Masyarakat jangan dikasih tahu yang baik-baiknya saja. Jangan sampai perdagangan pengaruh berlangsung dan menciptakan ketidakadilan perlakuan antara orang biasa dan pejabat.

Darimana putra presiden, Kaesang Pangarep, mendapat modal untuk bisnis-bisnisnya? Dari mana duit hampir Rp100 miliar dia dapat untuk membeli saham 188,24 juta lembar saham (8%) PT Panca Mitra Multiperdana Tbk pada 8 November 2021 di harga Rp490/lembar melalui PT Harapan Bangsa Kita? Apakah ini murni bisnis? Bagi saya, tentu tidak. Tapi, apakah kita melarang orang jadi kaya dan berbisnis? Tidak. Itu hak setiap orang. 

Tapi, orang harus tahu bahwa status anak presiden membawa pengaruh yang bisa dijadikan pintu masuk bagi orang/sekelompok orang untuk melobi demi pengendalian bisnis dan politik yang lebih besar. Misalnya, di PT Harapan Bangsa Kita itu ada PT Siap Selalu Mas, yang di dalamnya ada putra sulung Jokowi sebagai pengurus aktif dan pemegang saham, yang seharusnya rangkap jabatan dengan wali kota itu harus diberikan sanksi 3 bulan berhenti oleh Mendagri.

Di PT Harapan Bangsa Kita juga ada PT Gema Wahana Jaya, yang dikendalikan oleh TP. Rachmat, yang bersama kakak Menteri BUMN menjadi pengurus dan pemegang saham PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA), yang anak perusahaannya (Panca Amara Utama) bersengketa dengan Rekind (anak Pupuk Indonesia) dalam proyek pembanguna pabrik amoniak Banggai.

Apakah itu melanggar hukum? Bisa iya, bisa tidak. Itulah yang perlu ditelisik oleh penegak hukum. Apakah hukumnya bisa dibeli? Biar waktu membuktikan.

Intinya adalah di balik muka-muka baik itu ada hal-hal lain yang perlu diperlihatkan kepada masyarakat menyangkut pengelolaan negara. Etalase toko untuk menampilkan kesan baik bernama Jokowi adalah satu hal, sementara apa yang terjadi di dapur adalah hal lain. Di situlah tangan-tangan berlumur minyak dan lumpur bermain, sangat mungkin terjadi.

Anak-anak sekolah dasar sudah bisa tahu perilaku semacam itu namanya munafik!

Salam.

(fb 14/12/2021)

Baca juga :