Wafatnya Khalifah Utsman bin Affan ra Menjadi Awal Cobaan dan Fitnah Bagi Kaum Muslimin

Body
Cukup panjang silahkan disimak dengan tartil...

Wafatnya Utsman bin Affan ra menjadi awal cobaan dan fitnah bagi kaum muslimin, sebagaimana dikabarkan beritanya oleh Rasulullah dalam sabdanya:

“Jika pedang telah dijatuhkan atas kaum muslimin, pedang itu tidak akan diangkat hingga hari kiamat.”

Kondisi daulah menjadi genting dan sangat mencekam. Musuh² Islam dari berbagai kalangan, seperti munafikin dan orang kafir, semakin mengintai. Demikian pula kelompok² sempalan yg sesat, seperti sekte Khawarij dan Syiah Rafidhah, memanfaatkan keadaan yg semakin tidak menentu. Hari-hari fitnah yg pernah dikabarkan oleh Rasulullah pun datang bergelombang.

Semenjak wafatnya Utsman dengan kesepakatan sahabat, kaum muslimin, sahabat Muhajirin dan Anshar, berbai’at kepada Ali sebagai Amirul Mukminin, menggantikan Utsman di tengah-tengah kondisi negeri yg membutuhkan kesabaran.

Setelah Ali menjadi khalifah, sekelompok sahabat menginginkan agar kasus pembunuhan Utsman segera dituntaskan dengan menegakkan qishash atas para pembunuh beliau karena mereka telah mencoreng kehormatan darah, kehormatan tanah haram, dan kehormatan bulan haram. Apalagi, manusia yg dibunuh adalah shahabat Utsman.

Di antara shahabat yg berpendapat demikian adalah Thalhah, Zubair, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Ummul Mukminin Aisyah ra. Berbeda halnya dengan Ali yg berpandangan untuk menunda kasus pembunuhan Utsman hingga kondisi negara membaik.

Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra sebagai wali Utsman secara "syariat" berhak menuntut qishash dari pembunuh Utsman sebagaimana firman Allah ta’ala,

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yg diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yg benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yg mendapat pertolongan.” (Qs aIsra’ 33).

Mu’awiyah memandang qishash harus segera dilakukan, tidak boleh ditunda. Ijtihad Mu’awiyah berseberangan dengan ijtihad Ali bin Abi Thalib ra. Oleh sebab itu, beliau menunda bai’at sampai para pembunuh Utsman bin Affan diserahkan untuk ditegakkan qishash. Ketika itu, Mu’awiyah adalah Gubernur Syam di masa khalifah Utsman bin Affan. Dengan perbedaan ijtihad ini, tertundalah bai’at Mu’awiyah dan penduduk Syam.

Ibnu Katsir berkata, “Ketika bai’at telah kokoh untuk Ali, beberapa shahabat seperti Thalhah, Zubair, dan para pemuka shahabat mengunjungi Ali. Mereka meminta Ali segera menegakkan had (qishash) dan menuntut balas darah Utsman. Namun, Ali menyampaikan uzur (untuk tidak secepat itu menegakkan qishash, -pen.) karena pembunuh² Utsman bin Affan memiliki bala bantuan dan kroni-kroni, sehingga belum memungkinkan ditegakkan qishash saat itu."

Perlu menjadi perhatian, Ali sesungguhnya tidak menyelisihi keinginan wali Utsman dan para shahabat yg menghendaki ditegakkannya qishash. Beliau sepakat dan berniat untuk menegakkan qishash. Namun, masalahnya tidak sesederhana yg dibayangkan, menangkap pembunuh Utsman bin Affan lalu memenggalnya. Tidak sesederhana itu. Orang-orang yg mengepung rumah Utsman dan berperan dalam pembunuhan beliau sangat banyak dan berpencar di tubuh kaum muslimin.

Ali memiliki sisi pandang yg berbeda dengan Mu’awiyah. Beliau melihat bahwa masa itu adalah zaman fitnah. Pembunuhan Utsman bin ‘Affan benar² merupakan fitnah yg demikian besar. Keadaan dan kondisi daulah benar² rumit dan membahayakan, baik internal maupun eksternal. Musuh-musuh Islam dari luar selalu mengintai dan melihat kelengahan kaum muslimin. Di samping itu, kaum munafik yg berada di dalam tubuh kaum muslimin juga mengintai dan menanti saat untuk menghancurkan Islam.

Dengan latar belakang kondisi yg seperti ini, ‘Ali melihat untuk memperbaiki kondisi daulah lebih dahulu agar situasi menjadi tenang dan normal setelah kepiluan dan mendung kelabu menimpa kaum muslimin. Baru setelah itu qishash atas darah Utsman berusaha ditegakkan apabila memang wali Utsman menghendaki atau mungkin memaafkan dan diganti dengan diyat.

“Hai orang-orang yg beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yg dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yg mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yg memaafkan) mengikuti dengan cara yg baik, dan hendaklah (yg diberi maaf) membayar (diat) kepada yg memberi maaf dengan cara yg baik (pula). Yg demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yg melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yg sangat pedih.” (Qs al Baqarah: 178).

Terjadilah surat-menyurat antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Beliau mengutus Jarir bin Abdilah Bajali mengantar surat kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan yg berisi pemberitahuan bahwa sahabat Muhajirin dan Anshar telah memberikan bai’at kepada Ali. Beliau sangat mengharap Mu’awiyah segera berbai’at kepada Ali sebagaimana manusia yg lain.

Sesampainya surat ke tangan Mu’awiyah, dipanggillah Amr bin Ash dan pemuka-pemuka Syam untuk dimintai pendapat. Berakhirlah musyawarah Mu’awiyah dengan tetap menolak bai’at sampai Ali membunuh para pembunuh Utsman bin Affan atau menyerahkannya kepada penduduk Syam. Kembalilah Jarir bin Abdillah membawa keputusan Mu’awiyah tersebut….

Dua hari berlalu kedua sahabat mulia tidak melakukan surat-menyurat.

Ali mengutus Basyir bin ‘Amr al Anshari, Sa’id bin Qais al Hamdani, dan Syabts bin Rib’i at-Tamimi menemui Mu’awiyah. “Pergilah kalian kepadanya. Ajak dia dalam ketaatan dan jamaah. Kalian dengarkan jawaban Mu’awiyah.”

Setelah mereka bertemu Mu’awiyah, perbincangan tetap berakhir pada kekokohan Mu’awiyah untuk menuntut darah pembunuh Utsman sebelum memberikan bai’at kepada Ali.

Akhirnya, kedua pasukan bertemu. Perang tidak dapat dielakkan. Terjadilah seperti apa yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya,

“Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin)." 

Dua kelompok itu adalah kelompok ‘Ali dengan orang2 yg bersamanya dan kelompok Mu’awiyah dengan orang² yg bersamanya, sebagaimana diungkapkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari.

Peperangan yg terjadi antara ‘Ali dan Mu’awiyah sebenarnya tidak diinginkan oleh salah seorang dari keduanya. Akan tetapi di dalam dua pasukan tersebut terdapat para pengikut hawa nafsu yang mendominasi dan selalu berusaha untuk melakukan peperangan. Hal inilah yg menyebabkan berkecamuknya peperangan dan keluarnya perkara dari kekuasaan (kendali) ‘Ali juga Mu’awiyah.

Korban kaum muslimin dari dua belah pihak berjatuhan. Jumlah muslimin yg terbunuh sangat besar, seperti berita Nabi puluhan tahun silam. Di tengah peperangan, penduduk Syam mengangkat mushaf-mushaf al-Qur’an dengan tombak mereka seraya berseru, “Al-Qur’an di antara kita dan kalian. Sungguh manusia telah binasa. Lantas siapa yg akan menjaga perbatasan Syam sepeninggal penduduk Syam? Siapa pula yg akan menjaga perbatasan Irak sepeninggal penduduk Irak?”

Di saat manusia melihat mushaf² diangkat, semua tersadar bahwa perang yg terjadi adalah perang fitnah. Korban yg berjatuhan adalah kaum muslimin. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Kedua belah pihak kemudian mengutus seorang yg arif dan tepercaya untuk bermusyawarah memutuskan urusan kaum muslimin. Diutuslah Amr bin al Ash dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu dan Abu Musa al Asy’ari dari pihak Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Keduanya bersepakat bahwa dua pasukan besar kaum muslimin menyudahi fitnah dan segera kembali ke tempat masing-masing. Selanjutnya, akan diadakan pembicaraan dan musyawarah setelah segala sesuatunya tenang dan pulih.

Dalam Perang Shiffin, tidak ada shahabat yg ikut serta melainkan sangat sedikit. Kebanyakan mereka meninggalkan kancah dan menjauh dari fitnah, seperti Sa’d bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Abu Bakrah Nufai’ bin al-Harits, , Salamah bin al-Akwa’, Usamah bin Zaid, Abu Mas’ud al-Anshari, dan sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum.

Sa’d bin Abi Waqqash berkata ketika diajak berperang : "Aku tidak akan berperang sampai ada seorang datang membawa pedang untukku, yg memiliki dua mata, lisan, dan dua bibir yg bisa mengerti siapa yg kafir dan siapa yg mukmin.”

Demikianlah yg terjadi, fitnah berakhir dengan keutamaan dari Allah subhanahu wata’ala. Setelahnya, tidak terjadi sesuatu pun antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Khalifah Ali bin Abi Thalib terus menyibukkan diri mengemban amanat sebagai Amirul Mukminin dan memerangi kaum Khawarij sesuai dengan perintah Rasulullah hingga terjadi pertempuran Nahrawan pada 39 H. Sebuah perang besar memberantas kaum Khawarij.

Tahun Jama’ah, Kemuliaan Hasan & Keutamaan Mu’awiyah

Pada tahun 40 H, musibah kembali menimpa kaum muslimin. Khalifah Ali bin Abi Thalib ra dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam. Sepeninggal Ali bin Abi Thalib , kaum muslimin membai’at Hasan bin Ali ra menggantikan posisi ayahandanya.

Kekuatan kaum muslimin masih terpecah menjadi dua barisan. Perpecahan masih terus membayangi perjalanan Daulah Islamiyah. Namun, dengan pertolongan Allah ta’ala, pada tahun 41 H terjadi sebuah peristiwa besar yg sangat membahagiakan. Kaum muslimin bersatu dalam satu kepemimpinan. Bersatu pula hati mereka yg sebelumnya berselisih.

Hasan mendamaikan dua golongan besar kaum muslimin dengan menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah bin Abi. Terwujudlah berita Rasulullah tiga puluhan tahun sebelum tahun jamaah.Hasan bin Ali meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa dia melihat Rasulullah di atas mimbar dan Hasan bin Ali di sampingnya beliau sesaat menghadap kepada manusia dan sesaat melihat kepadanya seraya berkata:

"Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, semoga Allah akan mendamaikan dengannya antara dua kelompok besar dari kalangan kaum muslimin."

Al Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Ketika itu, masyarakat seluruhnya bersatu atas bai’at kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H … Pemerintahan beliau terus berlangsung hingga wafatnya. Selama itu pula, jihad ke negeri musuh ditegakkan dan kalimat Allah subhanahu wata’ala ditinggikan. Harta rampasan perang terus mengalir ke baitul mal. Bersama beliau, kaum muslimin berada dalam kelapangan dan keadilan.”

Itulah keutamaan Hasan yg paling besar yg dipuji oleh Rasulullah. Maka bersatulah kaum muslimin hingga tahun tersebut terkenal dengan tahun jama’ah.

Abu Hasan Al-Asy’ari pendiri Asy’ariyah secara tegas dalam kitabnya "Maqalatul Islamiyyin" mengatakan bahwa:

“Kasus pertama yg memecah belah umat islam adalah persoalan kepemimpinan (Imamah: Politik).”

Menurut saya kalimat tersebut sangatlah berani. Setidak-tidaknya dapat membantu kita dalam memahami sebuah persoalan ini lebih jernih. Ada dua alasan.

Pertama, jika kita mengangaap bahwa persoalan perang shiffin adalah persoalan agama-akidah, akan meniscayakan penilaian pihak mana yg salah dan pihak mana yg benar. Sedangkan kita tak bisa membenarkan keduanya dengan mencari-cari dalil yg dapat membenarkannya, atau sebaliknya. Kenapa?

Sebab dalam persoalan agama apalagi persoalan akidah, logika yg dibangun harus jelas dan tegas; halal-haram, salah-benar. Akidah tidak bisa berwarna abu-abu. Kaidah ushul mengatakan “Persoalan akidah (ibadah) pada dasarnya adalah haram, kecuali terdapat dalil yg membolehkannya.”

Selain itu, jika kita masih menganggap persoalan akidah, maka kita juga akan terjebak pada ide-ide khawarij, yakni mengkafirkan atau paling tidak menyalahkan salah satu dari keduanya, padahal antara Sayyidina Muawiyah dan Ali merupakan sahabat seniornya Nabi Muhammad. Lebih-lebih Sayyidina Ali, saudara sepupu sekaligus menantu Nabi.

Nabi pernah bersabda : 

“Semua sahabatku bersifat adil (dapat dipercaya).”

Kalangan ulama hadis yg punya kutubus sittah, mulai dari Imam Bukhari hingga Ibn Majah tidak ada satu pun yg berani mengatakan bahwa hadis yg diriwayatkan oleh Sayyidina Muawiyah atau Sayyidina Ali adalah dha’if. Ini artinya bahwa sebenarnya di kalangan ulama Hadis yg hidup sekitar 20-30 tahun pasca perang shiffin masih mengakui keimanan, kesalehan dan sifat adil yg dimiliki oleh mereka berdua.

Kedua, perang Shiffin semata-mata persoalan hubungan sosial-politis antar sahabat, dalam term generasi selanjutnya muncul istilah fikih, muamalah, siyasah, dll. Kaidah awal yg dibangun dalam persoalan fikih muamalah-siyasah adalah “Pada dasarnya semuanya adalah halal, kecuali ada dalil yg mengharamkannya.”

Ingat, kecuali ada dalil yg mengharamkannya. Kasus perang Shiffin jika ditelusuri tidak ada satu pun ayat yang secara qath’i (jelas, pasti) tentang haramnya peperangan tersebut.

Perhatikan! "Dengan demikian, kita seharusnya hati-hati dalam mengkafirkan orang lain, orang lain yg tidak sama dengan kita dalam pandangan politis, seharusnya tidak dikafir-murtad-munafikkan oleh kita, apalagi sampai tidak mau menshalatkan jenazahnya jika mati, dll..."

Lalu bagaimana sebaiknya sikap kita?

Para ulama salaf selalu berpendapat mauqufanhu, yakni tidak berkomentar apapun terkait konflik shiffin. Kita ikut saja pendapatnya Imam Abu Hasan al Asy’ari bahwa perang shiffin adalah murni politis, bukan persoalan akidah. Jadi apapun yg terjadi di peperangan tersebut tidak sampai mengakibatkan kekafiran bagi mereka.

والله اعلم

(Oleh: Musa As Syadzili)

Baca juga :