UTANG MOYANG DIBAYAR ANAK CUCU, APA JUAL ASET?

UTANG MOYANG DIBAYAR ANAK CUCU, APA JUAL ASET?

Oleh: KH Luthfi Bashori

Dalam melakukan segala sesuatu itu seharusnya berhati-hati, yaitu dengan mempertimbangkan baik buruknya serta memikirkan akibatnya. Jika berakibat baik maka bolehlah diteruskan, namun jika akibatnya buruk maka hendaklah dihentikan dan jangan dilanjutkan. Sebagaimana pepatah mengatakan, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada guna.

Saat ini banyak orang yang melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu apa akibat yang akan terjadi di kemudian hari. Misalnya ada orang yang berani berutang uang sebesar Rp 6.711,52 Trilyun kepada pihak-pihak luar negeri, dengan alasan untuk suatu pembangunan yang ia inginkan.

Tentu nominal utang sebesar itu tidak pernah ia pikirkan bagaimana cara membayarnya, selain akan menjual semua aset yang ia miliki, hingga ke depan ia tak akan memiliki apa-apa sedikitpun.

Atau ia mengandalkan anak cucu tujuh turunan untuk menanggung pembayaran utang tersebut. Belum lagi jika pihak piutang menerapkan sistem riba yang berlipatganda dalam perjanjian transaksinya.

Tentu runyamlah nasib anak cucunya, bahkan yang belum lahir sekalipun sudah terbebani untuk wajib bayar hutang. Hal itu akibat kelakuan nenek moyang mereka yang tidak mempunyai otak untuk berpikir jauh ke depan.

Apalagi jika saat memperbesar nilai utangnya tersebut hanya dilatarbelakangi gengsi sesaat atau semisal demi nama baik atau jabatan semata.

Nasehat di atas ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Pikirkanlah dahulu sebelum mengerjakan suatu perkara, apabila engkau melihat akibatnya baik, maka kerjakanlah, dan apabila engkau khawatir tersesat, maka tahanlah dirimu.” (HR. Imam Abdur Razzaq melalui Sayyidina Anas RA).

Berpikir matang-matang adalah solusi terbaik bagi kehidupan seseorang. Kecerobohan dalam berpikir adalah suatu kebodohan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain.

(*)
Baca juga :