[PORTAL-ISLAM.ID] JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN) Jaksel kembali menggelar sidang lanjutan kasus pembunuhan (unlawful killing) terhadap enam anggota Laskar Front Pembela Islam. Dalam sidang kali ini, terungkap adanya seorang perwira polisi yang menjadi pengendali operasi.
Hal itu disampaikan oleh Kanit II Resmob Polda Metro Jaya, Kompol Resa Marasabessy, yang dihadirkan sebagai saksi pada sidang lanjutan, Selasa (16/11/2021).
Perwira menengah itu, adalah atasan langsung dari Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin, serta lima anggota Resmob Polda Metro Jaya lain yang terlibat dalam serangkaian kejadian dini hari nahas itu. Namun Resa mengatakan, ia bukan atasan dari Ipda Elwira Priadi, tersangka lain dalam kasus tersebut, tetapi keburu tewas lantaran kecelakaan sebelum perkara pembunuhan itu naik ke pengadilan.
Resa, adalah perwira yang mendapatkan tiga surat tugas, dan rangkain penyelidikan dari Dirkrimum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar (Kombes) Tubagus Ade Hidayat untuk 'menginteli' Habib Rizieq Shihab (HRS).
Penyelidikan tersebut, terkait dengan dugaan pelanggaran protokol kesehatan, dan indikasi pengerahan massa FPI, serta PA 212, juga para simpatisan dan pendukung HRS ke Polda Metro Jaya, pada Senin (7/12/2020). Tiga surat tugas penyelidikan tersebut, keluar serempak 5 Desember 2020.
"Untuk mencari kantong-kantong massa yang diduga akan berkumpul dalam rangka mengawal kedatangan Muhammad Rizieq Shihab ke Polda Metro Jaya untuk pemeriksaan. Kemudian untuk mencari tahu keberadaan dari saudara Muhammad Habib Rizieq Shihab," kata Resa di PN Jaksel, pada Selasa (16/11/2021).
Resa mengungkapkan, total ada 30 anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya yang melaksanakan surat perintah tugas dan penyelidikan tersebut. Resa mengaku, diminta juga untuk menyerahkan nama-nama anggotanya untuk bergabung dalam tim 30 tersebut. Dari Unit-II, mengirimkan tujuh personel. Tujuh yang disetorkan, antara lain; terdakwa Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin. Lima lainnya, Bripka Adi Ismando, dan Aipda Toni Suhendar, Bripka Faisal Khasbi Alaeya, serta Bripka Guntur Pamungkas.
"Saudara Elwira Priadi bukan anggota saya (Unit-II)," ucapnya.
Tim tersebut, nantinya, kata Resa, dalam operasi di lapangan dipimpin oleh perwira menengah sebagai pengendali. “Perwira pengendali saat itu, adalah AKP Widi Irawan,” ujar Resa.
Resa menerangkan, sebetulnya penugasan terhadap 30 anggota tersebut, hanya dalam rangka penyelidikan. Rangkaian penyelidikan tersebut, mulai dari aksi pengintaian atau surveillance, sampai deteksi terhadap keberadaan HRS. Kegiatan tersebut, dilakukan di sejumlah tempat, kata Resa, termasuk di Petamburan, Jakarta Pusat, dan juga di Megamendung, Bogor, Jawa Barat.
Kata Resa, karena kegiatan tersebut cuma penyelidikan, para anggota sebetulnya tak diwajibkan untuk membawa senjata api berpeluru tajam. Pun juga borgol. "Tidak harus. Karena itu cuma dalam rangka penyelidikan," ujar Resa.
Bahkan dikatakan Resa, dalam penyelidikan, menurut standart operating procedure (SOP), tak perlu dilakukan penindakan. "Upaya paksa (penindakan) tidak. Karena itu (hanya) dalam rangka penyelidikan," jelasnya.
Bahkan, kata Resa menerangkan, saat seorang petugas kepolisian dalam melakukan penyelidikan, berupa surveillance, jika terjadi gangguan lapangan, bahkan yang berpotensi mengancam dirinya, diharuskan untuk menyelamatkan diri.
Akan tetapi, kata dia, terkait adanya serangan langsung berupa serangan, tindakan dapat dilakukan dengan hanya pelumpuhan sebagai pembelaan diri.
Terkait dengan peristiwa pembunuhan terhadap enam Laskar FPI tersebut, Resa pun mengaku, tak pernah mendapatkan laporan dari para anggotanya selama penyelidikan di lapangan. Ia beralasan, laporan dari anggotanya itu, hanya diharuskan kepada perwira pengendali lapangan.
"Laporan kepada saya tidak harus. Karena yang wajib laporan itu kepada perwira pengendali. Perwira pengendali saat itu adalah AKP Widi Irawan yang memimpin 30 orang," ujar Resa.
Kata dia, dirinya hanya mengetahui adanya tim-tim dari 30-an anggota yang tersebar di sejumlah titik untuk memantau pergerakan HRS sejak Sabtu (5/12/2020).
Meskipun begitu, ketika jaksa penuntut umum menanyakan tentang kapan Kompol Resa baru mendapatkan laporan dari anggota Uni-II atas rangkaian penyelidikan tersebut, ia mengaku baru dilaporkan tentang kejadian Km 50 dan 50+200, pada Senin (7/12/2020) dini hari, sekira pukul 01:30 WIB.
"Saat itu saya di rumah. Laporan itu dari saudara Yusmin. Kurang lebih ‘lapor komandan, telah terjadi penyerangan empat anggota FPI di dalam mobil kepada Fikri. Kemudian yang berujung pada meninggalnya empat anggota FPI itu’," jelasnya.
"Itu secara garis besar laporannya," ucapnya menambahkan.
Resa pun mengatakan, Yusmin melaporkan kepadanya, tewasnya anggota FPI tersebut, karena ditembak di dalam mobil. "Saya perintahkan (empat jenazah anggota FPI) untuk dibawa ke rumah sakit (RS Polri Jakarta Timur)," ujarnya.
Sebagai atasan, Resa pun harus datang ke RS Polri Kramat Jati untuk menemui para anggotanya itu. Saat tiba di RS Polri, Resa mendapatkan informasi, adanya total enam jenazah Laskar FPI yang sudah berada di kamar mayat. "Saya tidak melihat jenazahnya. Karena (jenazah) sudah di kamar jenazah, dan saya menemui anggota saya, dan bertemu AKP Widi Irawan," terang Resa.
CCTV Mati
Saksi lain yang dihadirkan dalam sidang tersebut, ada tiga petugas PT Jasa Marga. Salah satunya, adalah Yoga Tri Anggoro yang diketahui selaku Direktur Operasional PT Jasa Marga Toll Road Operator yang mengawasi kinerja perangkat rekaman jalanan bebas hambatan, atau Toll CCTV. Dalam kesaksiannya, ia mengatakan kepada majelis hakim, bahwa jumlah CCTV sepanjang Km 2 sampai 72, ada sebanak 123 unit.
Akan tetapi, sejak Ahad (6/12/2020), kondisi CCTV di sepanjang Km 49 sampai 72 itu, mendadak bermasalah sejak sore.
"CCTV pada saat kejadian terkait perkara ini, kami mendapatkan laporan kerusakan. Bahwa CCTV dari kilometer 49 sampai kilomter 72 itu dalam kondisi offline," ujar Yoga.
Selama ini, kata dia, seluruh CCTV di sepanjang tol tersebut, dapat merekam gambar 24 jam nonsetop, dan mengirimkan perekaman ke server yang berada di wilayah Bekasi. Akan tetapi, dikatakan dia, sejak Ahad (6/12) sore, seluruh CCTV dari Km 49 sampai 72, tak dapat merekam gambar di lapangan. Padahal, dikatakan dia, semua CCTV dalam kondisi menyala.
"Kami melaporkan kondisi itu ke vendor untuk perbaikan," ujar Yoga.
Upaya untuk mencari penyebab kerusakan tersebut, pun baru diketahui pada keesokan harinya. "Dari laporan, ternyata adanya gangguan fiber optik di kilometer 48," ujar Yoga.
Yoga mengaku, tak mengetahui pasti apa penyebab dari gangguan fiber optik tersebut. Karena kata dia, penyebab gangguan tersebut beragam. Yang pasti, dikatakan dia, kondisi CCTV Km 49 sampai 72 baru dapat pulih normal pada Senin (7/12), sekitar jam empat sore.
"Jadi kondisinya pada saat itu, CCTV secara fisik on (menyala), tetapi gambar tidak bisa terekam, dan tidak bisa disampaikan ke server," jelas Yoga.
Hanya 2 Terdakwa
Dalam kasus pembunuhan enam anggota Laksar FPI, JPU hanya mendakwa dua terdakwa. Yakni Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin. Sedangkan Ipda Elwira, dinyatakan tewas dalam kecelakan meskipun statusnya sebagai tersangka. Dalam dakwaan, dua anggota Resmob Polda Metro Jaya itu, dituduh membunuh enam anggota Laskar FPI di Km 50 Tol Japek, Senin (7/12) 2020.
Peristiwa tersebut buntut dari aksi para anggota kepolisian yang melakukan pembuntutan terhadap rombongan HRS dari Megamendung, sampai menuju ke arah Purwakarta. Mereka yang ditembak mati adalah, Andi Oktiawan (33 tahun), dan Faiz Ahmad Syukur (22). Empat lainnya Ahmad Sofyan alias Ambon (26), Muhammad Reza (20), dan Luthfi Hakim (25), serta Muhammad Suci Khadavi (21).
Enam anggota Laskar FPI tersebut, adalah para pengawal rombongan HRS. Saat kejadian, keenam anggota Laskar FPI tersebut mencoba menghalang-halangi aksi pembuntutan terhadap HRS yang dilakukan para terdakwa, dan anggota kepolisian. Aksi penghalang-halangan tersebut, berujung pada aksi saling serang, dan penembakan mati terhadap keenamnya.
Dari hasil visum terhadap enam jenazah yang dituangkan dalam dakwaan, sedikitnya ada 19 peluru tajam yang bersarang di tubuh korban, dengan masing-masing minimal dua sampai empat tembakan. Atas tuduhan tersebut, JPU mendakwa Briptu Fikri, dan Ipda Ohorella dengan sangkaan pembunuhan berlapis. Yakni dengan Pasal 338 dan Pasal 351 ayat (3) KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Sangkaan tersebut, terkait dengan ancaman penjara 7 sampai 15 tahun, terkait pembunuhan, dan penganiyaan yang menyebabkan orang lain kehilangan nyawa. [ROL]