Mengapa Ide 'Negara Islam' Begitu Menakutkan?

Mengapa Ide 'Negara Islam' Begitu Menakutkan? 

Oleh: Ahmad Dzakirin (Pengamat Dunia Islam)

"Mengapa Ide 'Negara Islam' Begitu Menakutkan?" 

Itu pertanyaan krusial pasca kemenangan Taliban. Seusai menduduki Kabul, ribuan orang panik berebut meninggalkan negaranya.

Mungkin jawaban yang mudah dan melegakan (setidaknya anda tidak dituduh antek Barat) adalah: karena propaganda (kebencian) Barat

Namun yang jelas (alasan itu) tidak menjawab akar masalahnya.

Apakah yang membedakan Republik Islam di bawah Ashraf Ghani dengan Emirat Islam di bawah Taliban? 

Jika problemnya terkait independensi, apakah ideal independensi yang dicitakan akan terwujud di bawah kepemimpinan Taliban? 

Independensi tidak dapat terwujud hanya karena anda menginginkannya. Secara teori independensi sangat terkait dengan pelbagai faktor. 

Taliban, yang merepresentasikan etnik Pashtun jelas memiliki problem heterogenitas dalam kepemimpinannya dan masih harus dibuktikan dalam postur kepemimpinan Afghanistan yang akan datang. 

Sebagai pembanding, kepemimpinan "Republik Islam Afghanistan" yang digulingkan jelas lebih representatif karena merefleksikan kekayaan etnik di Afghanistan, presidennya (Ashraf Ghani) dari etnik mayoritas dan dua wakil presidennya dipilih dari enik terbesar kedua dan ketiga, Tajik dan Hazara. 

Namun jika terkait dengan interpretasi agama, maka mohon maaf, saya mungkin sama seperti sebagian warga Afghanistan lainnya yang turut berlarian ke bandara, pindah ke Amerika mungkin. Saya jelas tidak nyaman dengan interpretasi agama model Taliban.

Konsep keberagamaan model Taliban ketika masuk dalam konstruksi politik menjadi praktik yang menakutkan. 

Agama tidak lagi menjadi konsep politik yang memerdekakan dan menyejahterakan, namun sebaliknya dipersepsikan sebagai konstruksi politik yang menindas dan dihindari. 

Dan sebagai imej (citra), praktik politik semodel Taliban bukan satu-satunya potret yang ada di dunia Islam sekarang ini. Ada Arab Saudi, UEA, Iran, Pakistan dan lain-lainnya. 

Jika kondisi (buruk) itu terus bertahan, maka ide keterkaitan agama dengan negara atau "negara Islam" menjadi tidak relevan dan boleh jadi kalah menarik dengan konsep negara sekuler atau liberal. 

Kita meyakini Islam tidak kosong dari ajaran dan moralitas politik, namun merumuskan relasi agama dengan negara secara proporsional dan menarik masih menjadi PR (pekerjaan rumah) yang belum selesai. 
 
Padahal, secara etik -mengutip Erdogan- proses pencarian (ijitihad) itu dibutuhkan agar agama dalam relasinya dengan negara:

- Tidak dibajak oleh para diktator
- Tidak disalahgunakan para pemuka agama (teokratis)
- Tidak ditundukkan kepada kepentingan sekularis. 

Sebagai pencarian, upaya itu belum menemukan jalannya baik secara ide maupun praktik, termasuk pasca kemenangan Taliban. 

Wallahu A'lam.

Baca juga :