BPIP: Menabur Angin (Lagi), Menuai Badai (Lagi)

BPIP: Menabur Angin (Lagi), Menuai Badai (Lagi)

Catatan Ilham Bintang | Wartawan Senior

Sejak berdiri BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) tidak berhenti bikin kontroversi. Selalu menebar angin dan menuai badai (lagi). Masuk golongan kegaduhan yang bersumber dari halaman Istana sendiri. Padahal, Presiden Jokowi sejak lama paling sebal pada kegaduhan yang tidak produktif. 

Belum lekang dalam ingatan kita pada pernyataan Kepala BPIP Yudian Wahyudi, yang menganggap Agama musuh terbesar Pancasila (12 Februari 2020). Pernyataan itu dilontakan sepekan setelah dilantik Presiden Jokowi sebagai Kepala BPIP yang baru, menggantikan Yudhi Latif. 

Enam hari kemudian setelah geger, mantan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ini pun berjanji di depan Komisi II DPR tidak akan mengulangi perbuatannya, membuat pernyataan kontroversi kepada media massa. 

Heboh lainnya, sama kita ketahui, ketika Kepala BPIP Yudhi Latif mengundurkan diri pas setahun menjabat Kepala UKP-PIP, nama lama BPIP. Yang momennya pas Ketua Umum PDI-P, Megawati masuk sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP. Besaran anggaran biaya negara untuk BPIP, termasuk gaji Mengawati sebagai Ketua Dewan Pengarah sebesar Rp 120 juta sempat memantik prokontra. Berhari-hari topik itu menjadi polemik di masyarakat.

Lomba Tulis Santri

Kegaduhan terbaru BPIP, memantik polemik minggu lalu. Pemantiknya lomba tulis BPIP yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Santri. Lomba untuk para santri itu  mengangkat tema ‘Hukum Hormat Bendera dalam Islam’ dan ‘Hukum Bernyanyi Lagu Kebangsaan dalam Islam". 

Tema itulah yang dinilai menyinggung umat Islam. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, misalnya. Ia menilai tema itu mengadu domba sekaligus penghinaan terhadap komunitas santri. Dia mengatakan Hari Santri bukan hanya milik warga Nahdlatul Ulama saja, tapi milik semua umat Islam. 

"Apakah negara ada problem dengan penghormatan bendera Merah Putih? Problem lagu kebangsaan? Faktanya tidak ada. Kalau tidak ada, berarti BPIP mencari-cari penyakit namanya,” kata Busyro.

"Ini (tema) bukan saja tendensius, tapi jelas-jelas useless, tidak ada manfaatnya sama sekali. Tidak ada konsep akademis ideologisnya,” sambung Busyro, seperti dikutip media, Sabtu (14/8/2021). 

Tugas BPIP

BPIP dibentuk Presiden RI Joko Widodo, 28 Februari 2018. Merupakan penyempurnaan dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang dibentuk setahun sebelumnya lewat Pepres No 54 tahun 2017. Kepala UKP-PIP pertama, Yudhi Latif. 

Meski berganti nama dari UKP-PIP menjadi BPIP namun memiliki tugas sama. Membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. Melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan. BPIP juga bertugas melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, serta menyelenggarakan pendidikan. 

Penjelasan BPIP

Menurut pihak BPIP, tema lomba sebenarnya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan dalam perspektif agama. 

"Jadi memperkuat nilai keagamaan dalam perspektif kebangsaan," kata Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP Romo Benny Susetyo, Jumat (13/8/2021). 

Benny mengatakan lomba semacam itu sudah sering diadakan oleh BPIP dalam memperingati hari-hari besar di Indonesia. Lombanya pun beragam. Mulai dari lomba pidato hingga lomba animasi. Namun karena kali ini yang diperingati adalah Hari Santri maka tema 'Hormat Bendera Menurut Hukum Islam dan menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam' pun dipilih. Benny meyakini tema itu bisa memperkuat nilai kebangsaan dan nasionalisme.

Menanggapi kontroversi di dalam masyarakat, Romo Benny bersikap tenang. "BPIP mengucapkan banyak terima kasih terhadap masukan dan koreksi dan semua itu akan diterima dengan lapang dada," katanya. 

Ia sekali lagi menegaskan tema lomba yang berhadiah total Rp50 juta bukan untuk memperkeruh suasana. Bukan untuk membenturkan antara Islam dengan Pancasila. "Justru agama memperkuat nasionalisme. Kalau cinta tanah air, orang beriman itu orang yang cinta tanah air," tandas Benny meyakinkan.

Alat menggebuk santri

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas  menilai lomba yang diinisiasi oleh BPIP sangat tidak konstekstual. Anwar Abbas khawatir jika ada salah satu tulisan dari peserta lomba yang menyimpang bisa berdampak pada nama baik santri Indonesia.

"Yang dipersoalkan masalah bendera, nanti ujung-ujungnya kalau ada tulisan yang menyatakan haram, misalkan, nanti dijadikan alat untuk menggebuk santri," kata Anwar dalam keterangannya kepada media, Minggu (15/8/2021). Saking cemasnya, Anwar Abbas meminta BPIP dibubarkan saja karena selalu membuat kontroversi.

Tagih penyelengara negara

Kita sependapat dengan pihak yang menilai tema lomba tulis BPIP terlalu ecek-ecek untuk menjadi pekerjaan besar BPIP. Kenapa nilai-nilai Pancasila selalu ditagih atau diujikan pada masyarakat. Bukan dari semestinya, yaitu para penyelenggara negara.  

Seandainya ingin menguji masyarakat, sodorkan pertanyaan soal pilpres dan pemilihan langsung presiden dan kepala daerah dalam perspektif sila keempat Pancasila yang mengamanatkan azas "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan".  

Topik itu mendesak, setelah pemilu langsung berlaku sejak 17 tahun lalu pada 2004. Materi itu perlu untuk mengevaluasi manfaat maupun mudaratnya. Jejak digital pemilu langsung, sejauh catatan kita ternyata berdampak fatal pada keterbelahan bangsa terutama 10 tahun terakhir. 

Kita tidak lagi melihat nilai-nilai sportivitas dijungjung dalam kontestasi Pemilu. Yang tampak terang benderang malah naluri elit politik yang bertendensi besar hendak saling meniadakan dan mengenyahkan. Prilaku yang mewarnai perjalanan kita berdemokrasi itu, sungguh kita rasakan merongrong sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. 

Kenapa BPIP tidak menyegarkan nilai-nilai itu pada para penyelenggara di tingkat pusat maupun daerah. Itu yang mesti "ditagih" atau dimintakan evaluasi dari masyarakat melalui lomba yang digagas BPIP. Bukan seperti sekarang mengangkat tema murahan, ecek-ecek, seperti intel mengintil pandangan santri menghormat bendera atau ketika mendengar lagu Indonesia Raya. 

Terus terang kita seperti merasakan penggagas mau menghapus sejarah Pancasila yang digali Bung Karno dan dirumuskan Mohammad Yamin dan Dr Soepomo yang seluruh nilai kelima silanya bersumber sumbernya sistem nilai di dalam masyarakat, yang mayoritas Muslim.

Coba hadapkan sila "Keadilan Sosial" dalam kehidupan nyata bangsa sekarang. Apakah itu masih menjadi pedoman dalam praktek hukum kita. Sebab, dalam kehidupan riil begitu banyak ketimpangan dalam penegakan hukum yang menjungkirbalikkan prinsip keadilan. 

Lihatlah, buronan korupsi bertahun-tahun, hukumannya mendapat korting besar. Jaksa dihukum ringan padahal yang bersangkutan seharusnya dihukum berat karena mengkhianati amanah negara. Mengapa pengguna buzzeRp di media sosial tidak mendapat perhatian besar BPIP untuk dididik. Padahal setiap hari terang-terangan memecah belah bangsa, mengadu domba antar etnis dan antar umat beragama. Melecehkan semua sila Pancasila. 

Halo BPIP…..

(*)
Baca juga :