KONTROVERSI IVERMECTIN

KONTROVERSI IVERMECTIN
  • Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merazia pabrik PT Harsen Laboratories, yang memproduksi Ivermectin. BPOM mengancam Harsen dengan sanksi pidana karena memproduksi dan mengedarkan Ivermectin tak sesuai dengan aturan. 
  • Harsen juga melobi sejumlah pejabat agar mendukung penggunaan Ivermectin sebagai obat Covid-19 sebelum uji klinis selesai. 
  • Pada saat yang sama, perusahaan pelat merah PT Indofarma Tbk mengklaim telah mendapat izin BPOM untuk mengedarkan Ivermectin yang selama ini dikenal sebagai obat cacing.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merazia fasilitas produksi dan penyimpanan bahan baku obat milik PT Harsen Laboratories. BPOM menduga Harsen membuat obat antivirus Ivermectin secara ilegal.

Kepala BPOM Penny Lukito mengaku sudah pernah menegur manajemen Harsen, tapi belum ada iktikad baik dari perusahaan itu untuk memperbaiki pelanggaran yang mereka lakukan. Penny mengatakan ada enam pelanggaran perihal produksi dan distribusi Ivermectin oleh Harsen. “Harsen diduga menggunakan bahan baku Ivermectin tidak melalui jalur resmi,” kata dia, kemarin.

BPOM juga menuduh Harsen mendistribusikan Ivermectin dengan merek Ivermax 12 tidak dalam kemasan siap edar. Tuduhan ketiga adalah Harsen mendistribusikannya tidak melalui jalur distribusi resmi. Harsen juga tidak mencantumkan masa kedaluwarsa Ivermax 12 selama 2 tahun, meski persetujuan BPOM adalah 12 bulan setelah tanggal produksi.

Dugaan pelanggaran berikutnya, Penny melanjutkan, Harsen mengedarkan obat yang belum memenuhi pemastian mutu. Harsen juga mempromosikan Ivermectin secara tidak obyektif, tidak lengkap, dan menyesatkan. Penny memberi contoh iklan obat Ivermectin yang mencantumkan indikasi untuk obat Covid-19. Iklan ini dia sebut dapat menyesatkan masyarakat karena belum ada uji klinis dan persetujuan BPOM.

Menurut Penny, BPOM dapat memberikan sanksi administrasi berupa peringatan keras, penghentian produksi, pencabutan izin edar, ataupun sanksi pidana. “Kami ingin memberikan produk yang terbaik untuk masyarakat dan melindungi masyarakat,” ujar dia.

Konferensi pers yang digelar BPOM itu menjawab pernyataan yang dikeluarkan Direktur Marketing PT Harsen Laboratories, Riyo Kristian Utomo. Riyo menyebutkan BPOM melakukan inspeksi mendadak dan memblokir obat Ivermectin yang keluar dari pabrik mereka sejak Selasa sampai Kamis lalu. “Berhari-hari mereka nongkrong memeriksa semua faktur di pabrik. Sepertinya mereka tidak menginginkan obat ini beredar dan dipakai untuk melawan Covid-19,” ujar Riyo lewat keterangan tertulis, kemarin. Riyo meminta BPOM tidak melakukan upaya-upaya yang dinilai dapat mengganggu proses produksi perusahaan yang berlokasi di Ciracas, Jakarta Timur, itu.

Perihal pemblokiran di gudang penyimpanan PT Harsen, BPOM mengelak jika dikatakan seperti itu. Penny menilai pernyataan tersebut tidak benar karena proses inspeksi dilakukan secara bertahap sesuai dengan prosedur. Dia menjelaskan, inspeksi tersebut dimuat dalam berita acara pemeriksaan (BAP). ”Sama-sama dipahami apa kesalahan Harsen, dan itu sudah ditandatangani BAP-nya,” ujar Penny menjawab permintaan konfirmasi Tempo.

Penny menegaskan, dengan adanya BAP itu, seharusnya PT Harsen segera mengoreksi kesalahannya agar permasalahan dapat diselesaikan. BPOM, kata Penny, menggunakan pendekatan berupa pembinaan terhadap perusahaan tersebut. “Tapi, jika tidak ada niat baik, akan ada sanksi, seperti sanksi administrasi dan pidana,” ujar dia. Badan Pengawas, kata Penny, sudah pernah menegur dengan memanggil PT Harsen. Tapi belum ada iktikad baik dari perusahaan itu untuk memperbaiki pelanggarannya.

Beberapa jam setelah keluarnya keterangan tertulis dari Riyo, PT Harsen membantahnya. PT Harsen juga menyatakan tidak pernah memiliki karyawan bernama Riyo Kristian Utomo. Perihal informasi pemblokiran fasilitas gudang yang disampaikan Riyo, PT Harsen akan mengeluarkan pernyataan dalam waktu dekat. “Segala hal mengenai tindakan BPOM harus dirujuk langsung ke BPOM,” kata PT Harsen dalam pernyataannya yang didapatkan dari konsultan public relations mereka.

Ivermectin merupakan obat cacing yang diproduksi PT Indofarma Tbk, perusahaan farmasi milik pemerintah. PT Harsen juga memproduksi obat sejenis dengan nama Ivermax. Sejak Desember 2020, kedua perusahaan ini terikat perjanjian kerja sama. Sesuai dengan situs web PT Harsen, disebutkan bahwa kerja sama itu berisi pemasaran produk-produk milik PT Harsen.

Sebelum menjadi perbincangan publik, Wakil Presiden PT Harsen Laboratories—perusahaan farmasi swasta—Sofia Koswara, mengklaim lebih dulu membagi-bagikan Ivermectin kepada sejumlah pasien Covid-19. Ia membagikannya karena obat cacing itu dianggap ampuh mengobati pasien yang terjangkit virus corona. Hasilnya diklaim terbukti membuat pasien tersebut terbebas dari virus itu.

Sofia mulai giat mempromosikan Ivermectin ke sejumlah pejabat pemerintah setelah mendapat kabar bahwa banyak pasien yang sembuh dengan menenggak Ivermectin. PT Harsen juga membangun relasi dengan salah satu universitas. PT Harsen mengklaim menjadi sponsor uji klinis Ivermectin sebagai terapi pengobatan Covid-19 dan akan membiayai proses pengujian ini.

Sofia mengaku sudah menginformasikan lebih dulu manfaat Ivermectin itu kepada sejumlah pejabat negara, di antaranya Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Mantan Panglima TNI itu membenarkan ihwal adanya informasi tersebut. Setelah memastikan keamanannya, Moeldoko lantas membagikan obat ini ke anggota Himpunan Kerukunan Tani Indonesia—organisasi yang dipimpinnya—di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, hingga Semarang, Sragen, dan Kudus, Jawa Tengah. Moeldoko mengklaim khasiat obat tersebut cukup baik bagi penderita Covid-19. 

Dukungan atas penggunaan Ivermectin juga disuarakan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Dia menyatakan, Indofarma sebagai bagian dari induk perusahaan farmasi pelat merah PT Bio Farma, siap memproduksi Ivermectin secara massal. Dia menuturkan produksi massal dilakukan jika uji klinis dari BPOM sudah selesai dan keluar izin edarnya untuk pemakaian pada terapi Covid-19. “Indofarma menyiapkan produksi 4,5 juta tablet per bulan. Produksi ini akan digenjot demi mengurangi dengan cepat kasus positif Covid-19,” ujar Erick.

Adapun PT Indofarma menyatakan telah memperoleh izin edar dari BPOM, dengan nomor GKL2120943310A1, untuk produk generik Ivermectin 12 mg kemasan dus pada 20 Juni 2021. Indofarma menetapkan harga Rp 123.200 per botol berisi 20 tablet, atau setara dengan Rp 6.160 per tablet. Sedangkan harga eceran tertinggi termasuk pajak adalah Rp 157.700  atau setara dengan Rp 7.885 per tablet.

Indofarma juga telah membeli 60 kilogram bahan baku Ivermectin 12 miligram untuk memenuhi target produksi 4 juta tablet per bulan. Bahan aktif Ivermectin Micronized tersebut didatangkan dari Horster Biote, India, dan diperkirakan tiba pada akhir Juni atau awal Juli mendatang. “Kapasitas produksi Ivermectin masih bisa ditingkatkan dua kali lipat dengan penambahan lini produksi,” kata Sekretaris Perusahaan Indofarma, Wardjoko Sumedi, kepada Tempo, 28 Juni lalu.

Menanggapi hal itu, epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan Ivermectin merupakan obat keras yang bisa merugikan jika pemakaiannya tidak sesuai dengan dosis. Ia kecewa lantaran obat ini dibagi-bagikan bak permen oleh sejumlah orang, termasuk pejabat publik, yang bukan kewenangannya membagi-bagikan obat itu ke masyarakat.

Pandu menegaskan, peran BPOM dalam mengawasi penggunaan dan izin edar obat, termasuk Ivermectin, sangat penting karena konsumsi obat yang tidak benar akan merugikan masyarakat. “Obat bagai pisau bermata dua. Apalagi obat ini dianggap 'obat dewa', bisa mencegah dan mengobati (Covid-19). Itu jadi sesuatu yang tak sesuai dengan aturan. BPOM berhak bertindak,” ujar Pandu.

(Sumber: Koran TEMPO, 3 Juli 2021)
Baca juga :