Seleksi Janggal Pegawai KPK Ditanya tentang Sikap terhadap FPI, HTI, China, Penista Agama

SELEKSI JANGGAL PEGAWAI KPK

Novel Baswedan dan para penyidik andal dikabarkan tidak lolos dalam tes menjadi Aparat Sipil Negara (ASN) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Uji wawasan kebangsaan ini disebut-sebut mengganjal para penyidik yang telah membongkar berbagai kasus korupsi besar itu. 

Tes dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan hasilnya sudah diserahkan ke KPK. 

Sebanyak 75 pegawai dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut-sebut tidak lolos seleksi uji menjadi aparat sipil negara (ASN). 

Sejumlah sumber Tempo di lembaga antirasuah itu membeberkan, upaya menjegal karier para penyidik sudah dimulai sejak awal seleksi, yakni adanya daftar pertanyaan yang janggal.

Seorang sumber menuturkan, beberapa pertanyaan saat seleksi diduga bias agama, yang seolah-olah menempatkan semua pegawai beragama Islam. Pertanyaan juga mengandung rasisme. Sumber ini memberi contoh salah satu pertanyaan yang janggal dan rasis. “Kami diminta menyatakan sikap dalam beberapa pernyataan, misalnya, sikap tentang: semua orang Cina sama saja," ujar sumber itu, kemarin.

Para pegawai yang ikut seleksi, kata sumber yang lain, juga diminta memberi sikap terkait dengan pandangan bahwa "penista agama harus dihukum mati". Para pegawai diminta membuat esai mengenai pandangan tentang Partai Komunis Indonesia (PKI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), narkoba, hingga kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). "Ada yang diminta membaca dua kalimat syahadat, dan ada yang ditanya soal bagaimana kalau anaknya menikah beda agama."

Peneliti dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan dirinya mendengar daftar pertanyaan janggal untuk menyeleksi pegawai KPK. Menurut dia, cara-cara ini merupakan upaya pemerintah dan pemimpin KPK menyingkirkan pegawai-pegawai yang berintegritas dalam pemberantasan korupsi. "Ini kamuflase saja, makanya dalam ujian muncul pertanyaan tentang PKI, Habib Rizieq, dan lainnya. Ini bertambah aneh karena seharusnya tes ASN berlangsung terbuka," tutur Feri kepada Tempo, kemarin.

Feri mendengar bahwa sejumlah nama penyidik senior, seperti Novel Baswedan dan Yudi Purnomo, dinyatakan tidak lolos seleksi. Selain mereka, terdapat nama-nama lain yang menduduki jabatan penting dan selama ini bekerja secara independen untuk memberantas korupsi. Feri menduga seleksi ini merupakan bagian dari intervensi pemimpin KPK dan pemerintah untuk menyingkirkan orang-orang yang selama ini menangani kasus-kasus korupsi.

Dari informasi yang diperoleh Feri, sejumlah nama penyidik senior juga terancam didepak dari KPK. Sebagian besar mereka adalah anggota satuan tugas yang menangani perkara korupsi jumbo. Bahkan ada anggota penyidik yang sedang menangani perkara yang menyeret pejabat negara juga tak luput dicoret dari lembaga antirasuah. Bagi Feri, ini merupakan bagian dari rencana besar pelemahan KPK yang dimulai dari revisi undang-undang, mundurnya pegawai, hingga men-screening pegawai yang kritis.

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Bivitri Susanti, tak heran dengan kabar yang menyebutkan puluhan penyidik yang bekerja di KPK tak lolos menjadi ASN. Hal itu lantaran proses seleksi tidak berdasarkan kebutuhan KPK, melainkan pada sistem perekrutan ASN. "Tes tersebut tidak sesuai dengan kompetensi KPK," ujar Bivitri kepada Tempo, kemarin.

Dia mengatakan, sebelumnya perekrutan pegawai dan penyidik KPK dilakukan berdasarkan kompetensi dan kebutuhan. Satu di antaranya dengan merekrut penyidik dari luar institusi penegak hukum kepolisian dan Kejaksaan Agung dengan tujuan mampu menjaga independensi lembaga dalam mengungkap kasus-kasus besar. Kenyataannya, mekanisme tersebut kemudian dirombak melalui revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 19 Tahun 2019 yang mempreteli independensi lembaga antirasuah.

Para pegawai dan penyidik independen KPK kemudian diwajibkan menjadi ASN dengan menjalani proses seleksi oleh BKN. Bivitri tidak heran apabila ada pertanyaan-pertanyaan janggal dalam seleksi tersebut. Salah satunya pertanyaan yang berisi ujaran rasisme. "Pertanyaan model ini, sekalipun dikaitkan dengan Pancasila, tidak ada korelasinya," tutur Bivitri.

Bivitri menganggap proses seleksi yang bermasalah itu berpotensi mendepak pegawai dan penyidik KPK yang selama ini memiliki integritas dalam membongkar kasus korupsi. Bagi dia, ini merupakan rangkaian pelemahan lembaga antirasuah yang dimulai dengan revisi UU KPK yang digawangi parlemen dan pemerintah. Karena itu, Bivitri tidak heran banyak pegawai yang hengkang dari KPK sebelum seleksi ini, di antaranya mantan juru bicara KPK, Febri Diansyah.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, menyebutkan peralihan status pegawai KPK menjadi ASN diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020. Masalahnya, proses seleksi yang dilakukan pemerintah justru bertentangan dengan Pasal 24 Undang-Undang KPK. "Apa syarat menjadi pegawai KPK? Dia merupakan orang yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada KPK," tutur Asfinawati, kemarin.

Semestinya pegawai yang terbukti memiliki keahlian sesuai dengan kebutuhan KPK secara otomatis menjadi ASN tanpa perlu ujian seleksi. Asfinawati heran mendengar kabar penyidik yang terbukti mengungkap banyak kasus-kasus korupsi justru tidak diluluskan dalam proses seleksi tersebut. Terlebih dalam proses seleksi itu muncul daftar pertanyaan yang seolah-olah antikritik terhadap revisi UU KPK dan atas pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Asfinawati curiga dengan seleksi pemerintah terhadap pegawai KPK. Ia menganggap bahwa ini bagian dari upaya untuk menyeleksi orang-orang internal KPK sebagai bagian dari meruntuhkan lembaga antirasuah. Apalagi proses seleksi yang dilakukan pemerintah tidak berlangsung secara transparan dan tanpa kualifikasi atau parameter kompetensi yang jelas. 

Penyidik senior KPK, Novel Baswedan, tak menampik ihwal kabar yang menyebutkan bahwa para pegawai senior di KPK tidak diluluskan dalam proses seleksi ASN. "Saya mendengar info tersebut. Upaya menyingkirkan orang-orang baik dan berintegritas dari KPK adalah upaya lama yang terus dilakukan," ucap dia ketika dimintai konfirmasi.

👉Selengkapnya baca di Koran Tempo edisi Selasa, 4 Mei 2021
Baca juga :