Membaca Fenomena Teroris dari Manifesto sampai Surat Wasiat

Membaca Fenomena Teroris dari Manifesto sampai Surat Wasiat

Oleh: Ubedilah Badrun (Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta)

Bom bunuh diri di Gereja Katedral (28/3/2021) dan serangan teror di Markas Besar Kepolisian (31/3/2021) menggugah penulis untuk membaca ulang fenomena teroris ini. 

Tidak mudah memang membaca fenomena teroris, apalagi untuk memastikan kapan terorisme mulai ada. Tetapi secara historis awal mula terorisme itu bisa ditelusuri dari wilayah Eropa. Dalam catatan sejarah bisa dicermati dari abad ke-5 masehi. Pada tahun 476 masehi dunia mencatat serangan teroris terhebat yang mampu meruntuhkan kekuasaan kekaisaran Romawi Barat waktu itu. Teroris yang meruntuhkan kekaisaran Romawi Barat ini berasal dari salah satu suku di Eropa. Pada saat itu orang Romawi Barat menyebut suku tersebut sebagai Barbar. Peristiwa ini mengakibatkan jatuhnya ribuan korban jiwa. Peristiwa runtuhnya Romawi Barat ini menandai mulainya abad kegelapan (dark ages) di Eropa selama 1000 tahun. Pada masa terorisme awal ini latar belakangnya bukan karena hal-hal yang bersifat sakral atau keagamaan tetapi lebih karena persoalan keinginan untuk berkuasa dan semacam ada idiologi Anarkisme di kaum barbar.

Secara etimologis istilah teror dan terorisme sesungguhnya baru mulai populer pada abad ke-18, namun fenomena yang ditunjukannya bukanlah fenomena baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982) mengemukakan bahwa manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Prancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Prancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror, yang menciptakan ketakutan ditengah-tengah masyarakat.

Sementara menurut David C Rapoport(1989), pendiri jurnal ilmiah Terrorism and Political Violence, dalam The Morality of Terrorism membagi teror dalam tiga kategori, yakni (1) Religious Terror, (2) State Terror, dan (3) Rebel Terror. Jika dilihat dari segi pelakunya bisa dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu personal terrorism, collective terrorism, dan state terrorism. Contoh paling mudah untuk memahami religious terror adalah keadaan yang terjadi saat perang salib (1096-1271), contoh state terror atau state terrorism adalah serangan besar-besaran Amerika Serikat terhadap warga sipil Afghanistan (2001) dan Iraq (2003), contoh rebel terror dan atau collective terrorism adalah pemberontakan kelompok radikal dalam suatu negara. Sedangkan contoh personal terrorism adalah Gavrilo Princip yang menembak mati Archduke Franz Ferdinand pewaris tahta kerajaan Asutria Hungaria pada 28 Juni 1914 di Sarajevo.

Diksi terorisme makin populer pada awal abad ke 21 ketika gedung World Trade Centre (WTC) New York yang merupakan simbol kapitalisme dan liberalisme dunia runtuh pada 11 September 2001 lalu. Peristiwa yang bagi bangsa Amerika disebut sebagai the day of infamy yang kedua setelah pengeboman Jepang atas Pearl Harbour pada 7 Desember 1941 silam. Kalau peristiwa Pearl Harbour mendorong Amerika untuk menyerang Jepang dan menghancurkan Jepang pada Perang Dunia II, peristiwa WTC mendorong Amerika memerangi apa yang disebutnya sebagai Terorisme. Celakanya peristiwa tersebut sering dikait-kaitkan dengan agama, satu kesimpulan yang patut dipertanyakan. Benarkah peristiwa WTC itu karena motif Agama?

Logika Teroris

Jika kita bongkar seluruh literatur agama sampai kitab sucinya maka kita akan menemukan bahwa logika teroris itu bukan berasal dari logika agama, sebab tidak ada satu dogma agama satu pun yang mengajarkan terorisme pada penganutnya. Pada titik ini yang justru harus banyak didiskusikan yaitu mencari akar persoalan penyebab munculnya terorisme di dunia, termasuk di Indonesia.

Dalam konteks itu sejumlah pertanyaan patut diajukan. Bagaimana cara ilmuwan menemukan akar persoalan penyebab munculnya terorisme? menggali argumen pelaku teror adalah salah satu solusinya. Cara terbaik menemukan data primer atau data yang bersumber dari pelaku utama teror adalah. melalui salah satu teknik dalam metode penelitian kualitatif yaitu melakukan wawancara mendalam (deept interview) terhadap pelaku teror. Sayangnya sampai saat ini belum ditemukan satupun hasil wawancara mendalam dan utuh terhadap para pelaku teror. Seringkali semua pelaku teror sudah mati sebelum digali logikanya melalui wawancara mendalam oleh para ilmuwan.

Namun demikian ada satu ilmuwan yang penulis baca dan realtif berhasil menemui mantan teroris berjumlah 60 orang, meskipun wawancaranya tidak dijelaskan seberapa mendalam tetapi mampu mengungkap secara psikologis. Tori DeAngelis mengutip temuan satu ilmuwan ini yaitu John Horgan, seorang Psikolog dan Direktur pada Center for Terrorism and Security Studies Amerika Serikat setelah mewawancarai 60 teroris mengemukakan bahwa seseorang memilih jalan melakukan tindakan teror disebabkan karena tujuh hal penting yaitu (1) merasa marah, terasing, dan kehilangan hak; (2) meyakini bahwa keterlibatan politiknya tidak memungkinkan mengubah keadaan; (3) merasakan ketidakadilan; (4) merasa perlu bertindak segera dari pada mendiskusikan masalah; (5) mempercayai bahwa terlibat dalam kekerasan melawan negara merupakan hal yang dimaklumi; (6) ada yang mendukung dan bersimpati terhadap gerakan terorisme; dan (7) mempercayai akan mendapatkan penghargaan sosial dan psikologis (Tori DeAngelis, Understanding Terrorism, American Psychological Association, 2009:60). Alasan-alasan teroris yang ditemukan John Horgan diatas tidak satupun menyebutkan bahwa seseorang melakukan teror karena perintah agama.

Manifesto dan Surat Wasiat

Sebagai akademisi penulis meyakini bahwa masih terus dibutuhkan upaya untuk mengungkap dan mengurai apa yang sesungguhnya terjadi dibalik para teroris. Setiap peristiwa teror yang terjadi di sejumlah negara ternyata memiliki alasan-alasan yang berbeda dan latar belakang yang berbeda. Dalam kesempatan ini penulis coba mencermati dua peristiwa penting dari pelaku teror di dua negara yaitu di Selandia Baru (2019) dan di Indonesia (2021). Pelaku dari dua peristiwa itu sama-sama meninggalkan dokumen. Dari dua peristiwa itu ada data dokumen yang bisa dicermati yaitu dari teroris di Selandia Baru meninggalkan manifesto dan dari teroris di Indonesia meninggalkan surat wasiat.

Pada 15 maret 2019 terjadi serangan terhadap jamaah salat Jumat di Masjid Al Noor dan Mushala Linwood di Christchurch Selandia Baru. Peristiwa teror ini menewaskan 51 orang dan melukai 40 lainnya. Peristiwa ini dinilai sangat kejam diantaranya karena ada satu peristiwa menurut pengakuan terorisnya ia melakukan dua tembakan langsung ke bayi berusia tiga tahun yang sedang memegangi kaki ayahnya yang sudah meninggal. Pelaku teror ini bernama Brenton Tarrant, pria berusia 28 tahun asal Australia. Sebelum melakukan teror ia membuat manifesto setebal 73 halaman yang diberi judul The Great Repalcement. Dari manifesto yang ia buat inilah publik dunia mengetahui motifnya. Setidaknya ada tiga alasan Brenton Terrant melakukan kejahatan kemanusiaan paling kejam di dunia ini, yaitu mengurangi imigran, supremsi kulit putih, dan balas dendam. Alasan yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan global. Di dokumen manifesto tersebut tidak ada alasan perintah agama yang mendasarinya melakukan tindakan teror.

Bagaimana dengan alasan teroris di Indonesia melakukan aksi terornya? Ternyata di Indonesia beberapa kali teroris melakukan aksi terornya selalu meninggalkan surat wasiat. Teroris terbaru yang meninggalkan surat wasiat adalah pelaku teror bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar (28/3) berinisial MLA dan teroris yang melakukan serangan ke Mabes polri (31/3) berinisial ZA. Uniknya surat wasiat yang ditinggalkan terduga teroris tersebut memiliki kemiripan. Di antaranya diawal surat dibuka dengan permintaan maaf ke ibu. Lalu berpesan kepada orangtua agar tidak meninggalkan sholat. Kemudian bagian paling mirip adalah saat menyatakan bahwa dirinya menyayangi ibunya, tetapi Allah lebih menyayangi hambanya. Makanya saya tempuh jalanku sebagai mana jalan Nabi/Rasul Allah. Kedua pelaku juga sama-sama berpesan agar keluarganya berhenti meminjam uang di bank karena riba. Sulit menemukan motif dari surat wasiat yang ditinggalkan para teroris di Indonesia kecuali seolah ia merasa jalan yang ia tempuh itu disayangi Allah.

Fenomena membuat surat wasiat sebelum melakukan teror di Indonesia ternyata tidak hanya dilakukan oleh dua teroris tersebut tetapi juga dilakukan noleh teroris-teroris lainya. Di antaranya teroris yang ditangkap pada 10 Desember 2016 di Bekasi dan yang ditembak pada 25 Desember 2016 di Waduk Jatiluhur Purwakarta.

Pertanyaan yang muncul dibenak penulis adalah mengapa sejumlah teroris di Indonesia banyak yang buat surat wasiat? Mengapa ada yang memiliki kemiripan pada surat wasiatnya? Ada semacam satu pola perintah untuk membuat surat wasiat?. Kesamaan pola ini menunjukkan kemungkinan adanya semacam satu mekanisme yang bekerja. Pada titik ini fenomena kemiripan surat wasiat teroris ini perlu diungkap sebagai salah satu celah untuk menelusuri adakah aktor-aktor kolektif terorganisisr yang memerintahkan atau semacam membuat tata cara melakukan teror. dengan sebelumnya membuat surat wasiat atau bahkan mungkin saja telah disediakan contoh surat wasiat yang harus mereka siapkan.

Untuk mengungkap semua itu perlu melibatkan para ahli yang memahami bahasa, psikologi, dan pola-pola terorisme. Untuk mengungkap terorisme dengan pola buat surat wasiat ini yang terjadi berkali-kali di Indonesia sebaiknya pihak kepolisian segera melibatkan banyak ahli agar ketemu sampai ke akar-akarnya. Apakah benar mereka aktor sendirian atau ada mekanisme kolektif yang bekerja? Lalu siapa mereka?***

[FNN]
Baca juga :