Komisi Pelepas Koruptor
Semula, pengumuman tentang surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus korupsi dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim, terdengar seperti April Mop. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada 1 April lalu, seperti membuat kejutan dengan mengumumkan kabar yang tak benar.
Sialnya, KPK benar-benar menghentikan penyidikan kasus korupsi dalam pemberian surat keterangan lunas kepada Sjamsul sebagai obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang merugikan negara sekitar Rp 4,58 triliun itu. Inilah pertama kali dalam sejarah, KPK mengeluarkan SP3 untuk tersangka korupsi.
Penghentian penyidikan seperti ini hanya mungkin terjadi setelah Dewan Perwakilan Rakyat, bersama pemerintahan Joko Widodo, merevisi Undang-Undang KPK. Selama dua dekade, KPK tak mengenal "gigi mundur” dalam menyidik kasus korupsi. Tapi, berkat revisi undang-undang yang melemahkan KPK pada 2019, komisi antirasuah itu bisa memberikan kado manis SP3 untuk Sjamsul dan tersangka korupsi lainnya.
KPK berdalih SP3 terbit untuk memberi kepastian hukum kepada Sjamsul dan Itjih yang menjadi tersangka sejak 13 Mei 2019. Tapi KPK melupakan bahwa kepastian hukum harus hadir bersamaan dengan dua asas lainnya, yakni keadilan dan kemanfaatan hukum. Keadilan macam apa bila tersangka yang diduga merugikan negara sebesar Rp 4,58 triliun bisa begitu mudah bebas dari tuntutan. Apa pula manfaatnya bagi publik bila kesempatan memulihkan kerugian negara justru menguap begitu saja.
KPK juga beralasan penyidikan kasus ini tak bisa diteruskan karena kekurangan syarat "perbuatan penyelenggara negara”. Sebab, bekas Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung—yang mengeluarkan surat keterangan lunas untuk Sjamsul pada 2004—dinyatakan lepas dari segala tuntutan oleh Mahkamah Agung (MA). Karena Syafruddin lepas, menurut KPK, Sjamsul tak bisa dituntut melakukan korupsi.
Dalih KPK ini tak boleh ditelan mentah-mentah. Fakta di persidangan mengungkapkan, di samping Syafruddin, masih ada penyelenggara negara lain yang diduga terlibat perkara ini. Majelis hakim tingkat pertama menyebutkan Syafruddin melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan bekas Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti--yang telah beberapa kali dipanggil penyidik KPK.
Apalagi, putusan MA tersebut juga mengidap sesat logika. Hakim kasasi menyatakan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan jaksa serta tak menyangkal adanya kerugian negara. Tapi, menurut MA, tindakan Syafruddin itu berada di ranah perdata, bukan pidana korupsi. Soal ini, anggota majelis hakim kasasi sebenarnya berbeda pendapat, apakah masuk ranah pidana, perdata, ataukah administrasi negara. Sementara itu, hakim pengadilan pertama dan banding menilainya sebagai perbuatan pidana.
Putusan kasasi itu juga cacat secara etik. Seorang anggota hakim kasasi, Syamsul Rakan Chaniago, belakangan ketahuan bertemu dengan pengacara Syafruddin di sebuah pusat belanja sebelum menjatuhkan putusan. Karena pelanggaran tersebut, Syamsul dijatuhi sanksi “non-palu” selama enam bulan.
KPK seharusnya tak membuat keputusan soal SP3 berdasarkan putusan hakim yang lemah secara logika dan cacat secara etika. KPK semestinya terus memperkuat bukti dan meneruskan kasus Sjamsul Nursalim ke persidangan.
Nasi telah menjadi bubur. Tapi peluang untuk menuntut Sjamsul belum benar-benar terkubur. Dengan memakai logika MA, KPK bisa mengajukan perkara ini ke Kejaksaan Agung. Jaksa pengacara negara seharusnya bisa menggugat Sjamsul secara perdata untuk mengembalikan kerugian negara.
Celah hukum lainnya, masyarakat yang melihat ketidakadilan dalam penerbitan SP3 bisa mengajukan gugatan praperadilan. Siapa tahu, hakim praperadilan masih punya nurani untuk membuka kembali peluang mewujudkan keadilan dan manfaat hukum dalam perkara ini.*
(Sumber: Editorial Koran Tempo, Senin, 5 April 2021)