Antiklimaks Penyelesaian Kasus BLBI

Antiklimaks Penyelesaian Kasus BLBI

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk penyidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim. Ini merupakan SP3 pertama sejak Komisi berdiri. Terbitnya surat ini telah memicu polemik mengenai ketepatan langkah KPK.

Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK memang menyebutkan bahwa KPK "dapat" menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Kata "dapat" ini mengandung hak subyektif Komisi untuk menerbitkan atau tidak menerbitkan SP3. Tidak ada kriteria yang spesifik mengenai penerbitan SP3, selain jangka waktunya. Itu sebabnya mengapa sejak awal penyusunan undang-undang ini rumusan tersebut ditentang oleh banyak kalangan karena berpotensi memunculkan banyak penyimpangan dan subyektivitas dan bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.

Polemik kasus BLBI berpusat pada pertanyaan apakah kasus BLBI masuk di ranah perdata dan/atau pidana. Namun sesungguhnya tampak jelas bahwa kasus ini masuk di ranah pidana dan mengandung unsur korupsi.

Keputusan KPK kali ini berhubungan dengan surat keterangan lunas SKL 01/K.KKSK/03/2004. Unsur pidana sekaligus unsur korupsi pada surat ini adalah adanya tindakan Syafruddin Arsyad Temenggung untuk menutupi fakta mengenai penyelesaian yang sebenarnya. Laporan audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan pada 25 Agustus 2017 tentang penerbitan surat ini menyatakan obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim telah merugikan negara sebesar Rp 4,58 triliun. Unsur pidana dalam kasus BLBI yang berhubungan dengan surat ini terjadi akibat piutang, yang akan dijadikan aset untuk diserahkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melalui mekanisme perdata, telah dinyatakan sebagai kredit macet oleh tim audit uji tuntas keuangan (financial due diligence).

Fakta tersebut diabaikan oleh Syafruddin dan tidak dilaporkan secara transparan pada rapat kabinet dan Komite Kebijakan Sektor Keuangan hingga akhirnya terbit SKL 01/K.KKSK/03/2004 yang menguntungkan Sjamsul Nursalim. Artinya, dalam hal ini misinterprestasi ada pada fakta yang dikesampingkan untuk keuntungan pihak lain dan merugikan negara. Jika hasil audit financial due diligence dari kantor akuntan publik Prasetio Utomo & Co yang ditunjuk BPPN kala itu disampaikan dalam rapat kabinet terbatas dan KKSK, keputusan penyelesaiannya akan berbeda.

Kelayakan SP3

Jika mengacu pada urutan kejadian di atas, sesungguhnya kasus BLBI, khususnya kasus SKL 01/K.KKSK/03/2004 yang melibatkan BDNI dan Sjamsul, jelas mengandung unsur pidana dan korupsi. Maka, agak janggal bila Mahkamah Agung (MA) berpendapat bahwa kasus ini merupakan perkara perdata, bukan perkara pidana, sehingga memutuskan Syafruddin lepas dari segala tuntutan hukum melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1555 K/Pid.Sus/2019.

Penerbitan SP3 bagi Sjamsul oleh KPK saat ini patut disesalkan. Jika kasus ini dilanjutkan, ia dapat menjadi upaya korektif atas putusan Mahkamah Agung, sehingga unsur pidana dalam kasus BLBI dapat diselesaikan melalui penyidikan kasus Sjamsul oleh KPK. Namun KPK tampaknya sengaja menggunakan putusan Mahkamah untuk mengesahkan penerbitan SP3 tersebut. Salah satu alasan KPK dalam penerbitan SP3 itu adalah kepastian hukum. Ironisnya, demi memenuhi kepastian hukum, KPK justru mengabaikan keadilan dan kemanfaatannya.

Gustav Radburch (1984) menyatakan bahwa tujuan penegakan hukum yang paling utama adalah kemanfaatan dan, dengan tercapainya kemanfaatan, keadilan di tengah masyarakat akan dapat diwujudkan. Sebaliknya, jika hukum hanya berorientasi pada kepastian hukum, penegakan hukum akan berfokus pada upaya legalistik tanpa manfaat dan pada akhirnya tiada keadilan yang dapat diberikan kepada masyarakat. Putusan Mahkamah Agung dan SP3 KPK menunjukkan bahwa saat ini penegakan hukum masih belum dapat memberikan manfaat dan keadilan bagi masyarakat luas. SP3 KPK ini bahkan dapat menjadi preseden bagi perkara korupsi lainnya.

Kini, satu-satunya upaya hukum yang masih dimungkinkan dalam kasus BLBI adalah melakukan upaya praperadilan atas terbitnya SP3 KPK tersebut. Parson (1976) menggariskan bahwa, jika penegakan hukum terhambat oleh prosedur legal-formal, masyarakat sendiri yang harus mengusahakan penegakan hukum yang berorientasi pada hadirnya kemanfaatan dan keadilan.

Logika hukum yang dibangun dalam putusan Mahkamah Agung dan SP3 KPK ini benar-benar bertentangan dengan nilai, asas, dan tujuan hukum. Masyarakat perlu memanfaatkan peluang yang diberikan oleh putusan Mahkamah Konstitusi pada 2012 yang menyatakan bahwa masyarakat luas memiliki legal standing untuk melakukan gugatan praperadilan.

Gugatan praperadilan terhadap terbitnya SP3 KPK ini dapat dipandang sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Jika masyarakat tidak mengajukan gugatan, penyelesaian kasus BLBI yang memakan waktu lebih dari 20 tahun itu akan antiklimaks. Penegakan hukum yang terjadi ternyata hanya upaya untuk melepaskan pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab atas kerugian negara dalam kasus BLBI. Selain itu, upaya eksaminasi terhadap putusan Mahkamah Agung dan SP3 KPK perlu diupayakan.

Oleh: Rio Christiawan (Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya)

*Sumber: KORAN TEMPO

Baca juga :