Umat Digiring ke Jalan Buntu

Umat Digiring ke Jalan Buntu

Suka atau tidak suka, persepsi publik tentang prosekusi (prosecution atau tindakan hukum) terhadap Habib Rizieq Syihab (HRS) adalah kebijakan politik yang sengaja ditempuh oleh para penguasa untuk membungkam umat Islam. Singkatnya, prosekusi terhadap Habib kemudian berubah menjadi persekusi (persecution atau pengejaran alias penggencetan alias penindasan).

Mengapa prosekusi terhadap HRS dilihat sebagai persekusi terhadap umat Islam? Tak lain karena HRS belakangan ini dianggap mewakili umat dan merepresentasikan kalangan ulama garis lurus. Kalau ada yang membantah, silakan saja buka catatan tentang kemampuan HRS mengajak umat masuk ke barisan oposisi terhadap kekuasaan.

Para penguasa perlu diingatkan bahwa prosekusi terhadap HRS bisa bergulir menjadi pemicu diskonten yang meluas. Sebab, prosekusi yang kini berubah menjadi persekusi itu bermula dari masalah yang lebih banyak berbentuk “cari-cari perkara” ketimbang proses penegakan hukum murni.

HRS ditangkap, ditahan, dijadikan tersangka dan kemudian didudukkan sebagai terdakwa hanya gara-gara kerumunan Covid-19 yang sebenarnya terjadi di mana-mana dan berulang-ulang. Termasuk kerumunan yang dipicu oleh kunjungan Presiden Jokowi ke Maumere, NTT, belum lama berselang. Banyak kerumunan besar lainnya yang berlangsung tanpa prosekusi –apalagi persekusi.

Kemudian, penguasa mencarikan kasus lain supaya tuduhan dan dakwaan terhadap HRS bisa berlapis-lapis. Beliau dijadikan tersangka swab test di RS Ummi Bogor. Seterusnya, HRS didakwa melakukan penghasutan.

Terkesan pasal-pasal pidana untuk HRS diolah sebanyak mungkin. Dengan tujuan agar pemimpin umat yang didengar oleh puluhan juta orang itu bisa didelegitimasikan.

Tidak hanya dicari-carikan pasal pidana untuk beliau. Para penguasa malah membuka kembali sejumlah kasus yang sudah dihentikan, termasuk kasus chat mesum. Pokoknya, karisma dan wibawa HRS harus direduksi. Dengan segala cara.

Tak cukup sampai di situ, ormas yang dibina HRS, dibubarkan. Hingga entitas pendidikan agama yang berada di bawah arahan Habib pun ikut dijadikan sasaran. Semua ini bertujuan untuk mengerdilkan HRS dan mengamputasi hubungan antara beliau dengan umat yang merasa sejalan dengan sikap kritis Habib yang selalu berpendirian “benar, katakan benar; salah, katakan salah”.

Tindak-tanduk kotor para pemegang kekuasaan terhadap HRS sangat mungkin akan menambah keyakinan bahwa umat garis lurus memang sengaja digencet. Sengaja ditindas.

Ini sangat berbahaya. Sebab, anggapan penindasan yang dilakukan oleh para penguasa itu berbanding terbalik dengan perlakuan ramah dan akomodatif terhadap orang atau kelompok yang jelas-jelas melanggar hukum. Kita sudah lelah menyebutkan contoh-contoh perlakuan diskriminatif itu. Daftarnya terlampau panjang.

Yang mengherankan, para penguasa terlihat menikmati anggapan publik bahwa mereka melakukan penindasan. Menjadi ingin bertanya: mengapa mereka begitu percaya diri melakukan semua itu? Apa sebenarnya yang sedang mereka kerjakan?

Para penguasa pastilah menolak dikatakan melakukan penindasan. Meskipun itulah yang mereka programkan.

Tapi, ada satu hal yang mungkin saja mereka sadari. Atau, bisa jadi juga tidak mereka sadari. Bahwa tindakan mereka memojokkan, membungkam atau menindas itu akan menggiring umat ke jalan buntu.

Ini yang perlu dicermati. Sebab, berada di jalan buntu berarti berada dalam situasi “no choice” (tidak ada pilihan). Di jalan buntu, duduk atau berdiri tegak, sama saja. Diam atau bergerak, tidak berbeda. Bahwa Anda akan menghadapi situasi hidup-mati.[FNN]
Baca juga :