Kenapa Masjid-Masjid Kampus Kini Diawasi Ketat?

Kenapa Masjid-Masjid Kampus Kini Diawasi Ketat?

"Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku satu pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." (Soekarno)

Akhir Ramadhan 2019 lalu, saya datang di acara yang dilaksanakan Setara Institute di Hotel Ibis, Jakarta. Waktu itu lembaga yang dipimpin oleh Hendardi itu memaparkan tentang hasil penelitiannya terhadap perkembangan Islam di 10 kampus perguruan tinggi di tanah air.

Yang hadir penuh sesak. Ratusan orang memenuhi tempat yang tidak begitu luas itu. Sorak sorai dan tepuk tangan berderai bila ada sindiran-sindiran terhadap kaum muda Islamis (kaum muda yang menginginkan peradaban Islam yang mulia itu bersemi kembali). Aku yang duduk diantara mereka hanya mengelus dada.

Magrib pun tiba. Aku mengambil makanan sekedarnya. Yang aneh ternyata di samping kanan kiriku banyak yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan itu. Mereka melahap makanan dan minuman sebelum adzan magrib berbunyi. Aku pun mengelus dada kembali.

Setelah makan sekedarnya, aku pun menuju mushola hotel. Sholat magrib dengan beberapa orang di sana. Kuamati tidak ada separuh peserta yang shalat. Mungkin banyak peserta non Muslim, jadi tidak perlu shalat. Di sini aku tidak mengelus dada, hanya sadar bahwa banyak non Muslim yang hadir pada acara ini.

Karena Ade Armando Dosen UI di acara itu menjadi bintangnya, akupun sedikit mengamati dia. Aku tiba di acara itu pas Ashar. Sehingga aku langsung shalat Ashar dengan beberapa orang di sana. Aku tidak mendapati Ade Armando shalat di Mushola itu padahal dia sudah berada di tempat acara ketika dia datang.

Di waktu maghrib pun aku tidak mendapati dia shalat di Mushola itu. Dia asyik ngobrol dengan beberapa wartawan dan koleganya. 

Waktu menjelang Isya, Ade Armando keluar hotel dengan seorang wanita (mungkin istrinya) dan seorang pria bule. Aku buntuti dia dari belakang. Mereka bercakap-cakap nampaknya ingin menikmati makan di luar hotel. Aku lihat Ade cukup hormat terhadap pria bule yang tidak aku kenal itu.

Apakah Ade menjamak shalat dhuhur asar atau magrib Isya di rumah? Wallahu a’lam. Tapi dengan pendapatnya bahwa Al Quran dan Hadits tidak bisa dijadikan landasan hukum, kemungkinan besar ia tidak menganggap shalat itu wajib. Wallahu a’lam. (Aku pernah ketemu langsung dengan Ade Armando di kampus UI dan aku sampaikan bahwa aku menulis beberapa artikel yang mengritik pendapat dia. Dia menjawab bahwa ‘iya tulisan saya harus dikritik’).

Kenapa aku mulai pembahasan pengawasan ketat masjid-masjid kampus ini dengan Ade Armando? Karena dia adalah bintangnya.

Jadi penelitian Setara Institute itu hasilnya bisa ditebak dengan perilaku pelaku utama di organisasi itu, yaitu Ade Armando. Mungkin pembaca ingat bahwa dalam perkuliahan ada mata kuliah perilaku organisasi. Tapi para mahasiswa ilmu politik -kebetulan saya pernah mengambil mata kuliahnya, mendapati juga cara meneliti sebuah organisasi.

Maka yang kedua sebenarnya kalau kepingin tahu, Setara Institute, amati perilaku pendirinya Hendardi. Hendardi selama ini dikenal sebagai tokoh sekuler yang berdiri di barisan depan. Bukalah majalah-majalah  lama atau google untuk mencari perilakunya. Ia misalnya : menentang aksi 212, memperjuangkan KTP tanpa kolom agama, dan lain-lain. Dan kini Hendardi menjadi salah satu ‘pejabat’ yang diperhitungkan di negeri ini.

Kembali ke acara di Hotel Ibis itu. Disitu dipresentasikan bahwa 10 Perguruan Tinggi Negeri tempat asal mahasiswa yang dijadikan penelitian Setara Institute itu adalah UI, UNAIR, Universitas Brawijaya, ITB, UNY, UGM, UNRAM, IPB, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Hasilnya diantaranya : Peneliti merangking10 peringkat kampus dalam kategori 'Fundamentalisme Pendirian Beragama Responden'. Semakin atas peringkatnya maka semakin fundamentalislah mahasiswanya (bukan kampusnya):
1. UIN Bandung
2. UIN Jakarta
3. UNRAM
4. IPB
5. UNY
6. UGM
7. Universitas Brawijaya
8. ITB
9. UNAIR
10. UI

Apakah kebijakan beberapa kampus yang kini cukup ketat terhadap aktivis masjid karena pengaruh penelitian Setara Institute ini (Setara Institute melakukan beberapa kali penelitian tentang radikalisme)? Mungkin. Seperti diberitakan di media massa bahwa pendiri Setara Institute cukup akrab dengan Mendagri Tjahjo Kumolo.

Maka tidak heran kemudian Lembaga Dakwah Kampus Salam UI tidak boleh menempati sekretariatnya di Masjid UI lagi. Ia dipindahkan ke Pusgiwa (Pusat Kegiatan Mahasiswa). Rektor UGM melarang Masjid Kampusnya mendatangkan Ustadz Abdus Somad dan lain-lain.

Tumbuh dan berseminya kegiatan di masjid kampus sebenarnya telah mulai sejak 80an. Saat itu dianggap bahwa pemikiran-pemikiran Islam yang dibawa para ulama Timur Tengah mewarnai kampus-kampus itu. Banyak para peneliti, baik di luar negeri dan dalam negeri yang mengamati perkembangan maraknya dakwah Islam di kampus-kampus negeri saat itu.

Lulusan-lulusan dari kampus-kampus ternama itu kini banyak yang berpengaruh di masyarakat. Ada yang menjadi dosen, peneliti, direktur perusahaan, pejabat negara dan lain-lain. Dan Indonesia pun aman-aman saja dengan banyaknya alumni masjid kampus yang jumlahnya ribuan itu. Mungkin saja dari alumni masjid kampus ini ada yang berbuat salah ---sebagaimana tiap kumpulan ada perilaku yang menyimpang- tapi mayoritas mereka adalah orang-orang yang peduli terhadap bangsanya. 

Mereka telah berbuat dan ingin Indonesia ini menjadi negara besar, Indonesia ini menjadi adil makmur.

Pertanyaannya jadi kenapa kini para rektor seperti paranoid terhadap aktivis masjid kampus? Apakah ada tekanan dari atas? Atau mereka kini termakan racun-racun pemikiran yang dihembuskan kaum Islamofobia bahwa pemuda-pemuda yang Islamis di kampus itu membahayakan kampusnya dan membahayakan negeri ini?

Padahal bila rektor mau merenung, pemuda-pemuda yang cinta kepada masjid itulah yang menjadi harapan bangsa ini. Pemuda-pemuda seperti itulah yang akan membuat Indonesia Adil dan Makmur. Karena mereka ingin meneladani Rasulullah saw yang membuat sebuah bangsa yang dulunya suka berperang antar suku, bodoh, tidak diperhitungkan dunia, dengan ‘polesan tangan’ beliau menjadi bangsa yang hebat dan diperhitungkan dunia. Mereka ingin meneladani Rasulullah, manusia yang terhebat dalam sejarah manusia.

Apakah pejabat kampus mengharapkan mahasiswa-mahasiswa Islam yang tidak cinta masjid? Tidak shalat? Tidak mengamalkan syariat Islam? Bila ia, berarti yang bermain di kampus kini adalah kaum Islamofobia. 

Bila tidak, maka pejabat di kampus harus mengoreksi kebijakannya kembali. Dan merenungkan sebenarnya apa yang diharapkan dari pendidikan di kampus ini. Apa yang dicita-citakan untuk Indonesia ke depan. Dan lebih jauh apa yang dicita-citakan setelah kehidupan dunia ini.

Oleh: Nuim Hidayat
(Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok)
Baca juga :