USTAD AHMAD SARWAT DAN OPOSISI

USTAD AHMAD SARWAT DAN OPOSISI

Oleh: Taufik M Yusuf

Sebelumnya, saya ingin  mengakui bahwa saya mendapatkan manfaat yang banyak dari ilmu Ust Sarwat dan Rumah Fiqih yang beliau asuh. Dan banyak teman dan kenalan di LIPIA dulu yang saat ini juga aktif di Rumah Fiqih. Akan tetapi, karena memang seorang manusia tidak maksum dalam setiap apa yang diucapkannya ya saya kira wajar kalau sebuah pemikiran kemudian ditanggapi dan dikritisi. 

Salah satu ciri khas Rumah Fikih dalam menjelaskan sebuah hukum biasanya diawali dengan mengetengahkan semua pendapat para ulama kemudian baru 'mentarjih' apa yang dianggap kuat. Ini berbeda dengan sebagian 'tetangga sebelah' yang ketika menjelaskan sebuah hukum biasanya hanya berdasarkan pandangan satu golongan tertentu seolah pendapat tersebut adalah sesuatu yang disepakati. 

Ciri khas ini justeru hilang dalam tulisan Ust Sarwat tentang oposisi. Dimana beliau menegaskan bahwa: "Para mufassir SEPAKAT bahwa Ulil Amri itu adalah pemerintah yang sah dan berdaulat". 

Padahal Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa para ulama BERBEDA PENDAPAT dalam menafsirkan ulil amri. Kemudian Imam Al Baghawi menjelaskan pendapat yang pertama dari para mufassir seperti Ibnu Abbas, Jabir, Alhasan dan Mujahid bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah para ulama dan fuqoha.

Kemudian, Ust Sarwat juga tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan oposisi, bughot dan khawarij. Walaupun hal ini wajar dalam tulisan ringan seperti di FB, namun menjadi masalah ketika kemudian mengaitkan sikap oposisi yang kritis dengan bughot dan khawarij. Padahal ketiganya mempunyai definisi khusus yang berbeda-beda. 

Meskipun istilah oposisi tidak dikenal dalam sistem presidensial seperti di Indonesia, namun sikap kritis terhadap pemerintah (yang kemudian diistilahkan dengan "oposisi") adalah sikap yang diakui oleh Undang-Undang dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Bahkan Megawati tgl 20/11/2005 menegaskan bahwa "Kita (PDIP) kan menjadi partai oposisi, jadi tentunya akan aktif di legislatif saja."

Dalam tulisannya tentang oposisi Ust Sarwat berkata: "Sikap beroposisi lebih mudah disetarakan dengan bughot dan khawarij." Ini tentunya adalah ucapan yang terlalu berlebihan. Banyak ulama yang membedakan antara definisi khawarij dan bughot tapi rata-rata sepakat bahwa keduanya mempunyai beberapa karekteristik yang sama yaitu 'hamlu as silah/mengangkat senjata atau isti'mal alquwah/menggunakan kekerasan dan as syaukah dan mun'ah artinya baik Khawarij maupun bughot punya kekuatan besar dimana untuk memadamkan pemberontakan mereka, negara butuh kepada pasukan yang banyak. Hal ini tentu sangat jauh untuk diterapkan pada oposisi yang hanya bersikap sebagai pengkritik dan penyeimbang kekuasaan agar pemerintah tidak cenderung absolut dan otoriter seperti dalam sistem monarki.

Memvonis dan menyeret sikap oposisi yang mengkritisi pemerintahan demokrasi negara modern kedalam definisi bughot dan khawarij terhadap sistem kekhalifahan atau kerajaaan di abad pertengahan akan menghasilkan kesimpulan yang sangat berbahaya. Karena akan sangat banyak para ulama salaf yang kritis terhadap penguasa zamannya yang akan terlabel dengan label khawarij. Padahal fiqih abad pertengahan tidak semuanya cocok diterapkan dalam negara modern. 

Dalam kajian Siyasah Syar'iyah definisi Imamah selalu dikaitkan dengan syarat-syarat yang ketat seperti sampainya Imam atau Kepala Negara pada level Mujtahid. Walaupun kemudian para fuqoha juga menurunkan standar dalam keadaan darurat. Karenanya, tidak semua kewenangan para Imam dengan syarat yang ditetapkan para fuqoha dalam kitab mereka bisa diberikan kepada pemimpin modern. Fuqoha Malikiyah misalnya melarang memberikan zakat kepada penguasa zalim yang diketahui bahwa zakat tersebut akan digunakan/disalurkan kepada yang bukan mustahiq. 

Imam Taqiyuddin Alhishni dalam Kifayaul Akhyar juga melarang untuk untuk menyerahkan 'rikaz' atau harta karun yang ditemukan ke Baitul Mal karena para penguasa di zamannya adalah penguasa zalim. 
Syeikhul Azhar silam, Syeikh Ahmad Damanhuri mengarang kitab 'Iqomatul Hujjah albaahirah fi hadmi kanaais Mishr wa Alqahirah' untuk melarang pendirian gereja baru dan merobohkan gereja Mesir. Sementara Syeikhul Azhar saat ini justru memberikan sambutan dalam peresmian gereja baru yang dibangun As-Sisi. Intinya adalah bahwa tidak semua hukum fiqih abad pertengahan seperti hukum ahli zimmah, jihad ofensif dll cocok diterapkan 100% di era nation state. 

Ust Sarwat kemudian melanjutkan: "Siapa yang bersikap oposisi, sebenarnya cuma minta jatah saja. Begitu jatah diberikan, sikap oposisipun selesai". 

Sikap menggeneralisasi seperti ini tentunya jauh dari inshof dan adil serta 'didustai' oleh kenyataan. Gerindra misalnya, meskipun ketua partainya bergabung dalam pemerintahan, tetap ada juga kader-kadernya yang kritis. PKS yang dulu berkoalisi dalam pemerintahan SBY tetap kritis hingga dicap sebagai 'anak nakal'. 

Hal terakhir yang sangat disayangkan dari statemen ust Sarwat adalah perkataan beliau: "Ulama yang suka oposisi itu berarti belum dapat jabatan, kasih jabatan insya Allah tidak oposisi lagi".  

Statemen ini secara tidak langsung seolah-olah memvonis bahwa para ulama yang oposisi/kritis adalah karena belum dapat jabatan. Sikap menghukumi niat seperti ini tentunya sangat tidak layak diucapkan oleh tokoh agama sekaliber beliau. 

Wallahu A'lam.[]

Baca juga :