BUKAN SALAH HUJAN
Oleh: Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar | Pakar Geospasial, Anggota Dewan Penasehat Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)
Ibu awan tak pernah menangis, saat anak-anaknya dijatuhkan angin menjadi hujan. Pada saatnya mereka pasti akan bertemu kembali.
Hujan ada yang jatuh di lautan, di gunung, di hutan, hingga di perkotaan. Hujan yang jatuh di lautan, tak pernah menjadi persoalan. Tetapi hujan lebih diharapkan turun di daratan, tempat petani ingin tanamannya tumbuh subur, tempat manusia ingin sumurnya terisi, tempat PLTA ingin generatornya tetap bisa berputar. Nanti semua air itu akan mengalir ke laut, atau bahkan lebih cepat kembali menguap oleh sinar matahari. Maka siklus hidrologi tertutup.
Hujan tidak pernah menjadi masalah bila ukuran-ukurannya pas sesuai kapasitas alam memutarnya. Bila turun terlalu banyak dalam satu waktu dan satu ruang yang sama, maka banjir menjadi niscaya.
Oleh sebab itu, para perencana tata ruang yang bijak, akan memperhitungkan anomali hujan seratusan tahun. Maka pembukaan hutan di hulu tak boleh melewati angka-angka itu. Saluran drainase, bahkan dam dan pompa juga menyesuaikan. Endapan di sungai juga harus dikeruk, agar kapasitasnya tetap sanggup menyalurkan hujan seratusan tahun.
Namun, kapitalisme yang tak kenal Pancasila, lebih suka memilih investasi murah. Rencana yang mestinya menghiraukan perilaku iklim seratus tahun, diabaikan. Hak Guna Usaha mereka cuma 30 tahun. Belum tentu diperpanjang. Jadi selebihnya itu bukan urusan mereka.
Maka pembukaan lahan di hulu untuk sawit dan tambang diobral. Sedang di hilir, alih fungsi lahan untuk properti lebih dipermudah. Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) mudah disesuaikan. Di UU Cipta Kerja (Omnibuslaw) cukup Peraturan Kepala Daerah. Tak perlu lagi Peraturan Daerah yang perlu persetujuan DPRD. Keuntungan sudah terpola, bahkan sebelum calon mereka dilantik.
Banjir lokal bisa jadi karena orang buang sampah sembarangan. Namun banjir kolosal bisa jadi karena orang kasih ijin investasi ugal-ugalan.
Memang meski hutan digunduli, kalau tak hujan, ya tak banjir. Betul. Ibaratnya, rumah kita, meski pintunya 24 jam dibuka lebar-lebar, kalau tak ada pencuri, ya tak ada yang akan hilang! Tapi tentu kalau kita masih waras, kita akan berikhtiar. Mempersiapkan pintu yang baik, pada saatnya dikunci, sambil berdoa, semoga tak ada pencuri lagi.
Mengapa kita tidak maksimal berikhtiar membuat rencana investasi yang tahan bencana? Berapa PDB yang naik oleh investasi itu? Dan berapa yang musnah seketika begitu ekonomi lumpuh karena bencana kolosal?
Lalu dengan mudahnya kita salahkan hujan? Allah tak pernah salah dalam menurunkan rizkinya berupa hujan. Untuk menguji kita siapa yang lebih baik amalnya (QS Al-Mulk:2). Namun kita sering terlalu malas memikirkan tanda-tanda kekuasaanNya, berupa sunnatullah alam ini. Dan kita terus saja santai bermaksiat, mengabaikan peringatan-peringatan kecil, seolah urusan dunia kita ini tak ada hubungannya dengan Tuhan.
Tuhan bukan hanya tempat menangis dan berdoa saat semua sudah terlambat!
Ibu awan juga tak pernah menangis, karena yakin, anak-anaknya yang jatuh menjadi hujan pasti akan kembali.
(Sumber: Harian Kedaulatan Rakyat, 22-01-2021)