Rezim UU Omnibus Cilaka, Masa Depan RI Celaka


Rezim UU Omnibus Cilaka, Masa Depan RI Celaka

Oleh: Haris Azhar

Apa yang akan kita miliki dengan pengesahan Rancangan Undang Undang Omnibus Cipta Lapangan Kerja? Lapangan pekerjaan yang semakin banyak. Investasi semakin lowong masuk karena kemudahan tenaga kerja, kemudahan untuk mengakses tanah dan izin serta berbagai kemudahan lainnya.

Semua kemudahan itu jelas untuk industrialisasi dan bisnis.

Namun kita penting menekankan bahwa industri dan bisnis tersebut akan menjadi milik megabisnis dan industri dengan dana dan pasar besar nan luas. Artinya, kita akan menjadi pabrik. Produsen. Pasti kita bangga jika suatu hari di Eropa orang-orangnya menggunakan baju yang dibuat di Indonesia.

Kita bangga karena Omnibus Law Cilaka--saya lebih memilih istilah ini--akan memperluas pabrik olahan biji besi lalu digunakan untuk pelindung pesawat. Angka produksi emas membumbung tinggi dari Papua dan Kalimantan, bahkan kita bisa lupa diri soal pabrik-pabrik tersebut akan mencetak double profit karena ada uranium di sana.

Kebanggaan tersebut akan dibungkus dengan narasi nasionalisme. Seketika angka dengan gambar panah ke atas bermunculan menandakan 'meningkat'. Dari mulai pendapatan pajak, jumlah produksi, keuntungan dan jumlah serapan tenaga kerja.

Namun bagaimana bisa semua peningkatan dan kebanggaan tersebut memberikan kenikmatan bagi rakyat?

Dengan Hukum Omnibus Cilaka hampir mustahil mendapatkan kegunaan dan kebahagiaan maksimal bagi rakyat. Hal ini dikarenakan posisi tidak imbang antara para pemodal dan warga biasa.

Namun, ada modal esensial yang saya sebut marwah atau dignity yang dimiliki masyarakat. Marwah akan semakin terbangun dan terpelihara jika kebutuhan manusia terus terpenuhi dan membaik.

Sumber marwah tersebut kini justru dirampas lewat Omnibus Law Cilaka. Bagaimana kita membayangkan masyarakat adat tanpa lahan? Petani tanpa sawah? Buruh tanpa jaminan sosial?

Dalam dunia bisnis, jika semua hal di atas, yang bernilai sebagai martabat atau marwah, dirampas, maka setiap individu bakal kehilangan modalnya.

Sampai di sana kita bisa meyakini bahwa Omnibus Law ini justru anti terhadap nilai esensial masyarakat. Nilai-nilai tersebut adalah sumber kehidupan. Para penggagas: pemerintah, partai-partai pendukung undang undang tersebut hanya melihat angka, pertumbuhan, rupiah dan peluang bisnis.Anti Sumber Kehidupan

Mereka menjual martabat dan kehidupan bangsa, yang hari ini dikenal, sebagai Indonesia.

Sejumlah hal terkait dengan lingkungan, misalnya dibabat dalam aturan ini. Pasal 26 yang memuat soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dalam UU Ciptaker justru memangkas keterlibatan masyarakat. Kini, warga tak bisa lagi mengajukan gugatan keberatan terhadap Amdal atas bisnis yang bakal beroperasi di wilayahnya.

Masalah lain dari undang undang ini adalah alasan evaluatif. Selama ini sektor-sektor yang dibahas seperti agraria, ketenagakerjaan, perizinan, pajak, kewenangan daerah tidak pernah dievaluasi dan diperbaiki oleh pemerintah. Justru, semakin memburuk.

Berbagai indeks statistik, survei, menunjukkan penurunan kualitas maupun kapasitas pengelola negara.

Wabah Corona pun semakin menunjukkan 'buruk muka' dan 'kejang otak' kapasitas pengelolaan negara. Dan inilah dilema, kita, mengharapkan perbaikan justru dari pengelola yang gagal. Walhasil UU Ciptaker yang semakin memperburuk. Kegagalan pemenuhan hak-hak konstitusional semakin meluas.

Undang-undang itu sangat gamblang menunjukkan niat jahat operasi jual diri dengan bungkus hukum. Dengan niat jahat itu, segala asupan dan suara publik tidak didengar. Bahkan wabah corona dijadikan alasan untuk meminimalisir peran publik.

Jika rakyat dan partisipasinya ditiadakan, maka sebaliknya penguasa dan DPR terus memanfaatkan kelowongan saat memproses RUU Cilaka, seolah-olah mereka kebal virus. Untuk corona salah rakyat, untuk UU Cilaka rakyat dianggap tiada.

Bagi saya, hanya kerakusan yang melanggengkan UU Ciptaker. Dan hanya dengan marwah rakyat pula, yang terus melawannya. [CNN]

Baca juga :