Majalah Papan Atas Dunia, The Economist Melabeli Jokowi Tidak Kompeten Menangani Krisis Covid


Covid Memburuk, The Economist Labeli Jokowi Inkompeten

Oleh: Jusman Dalle

Majalah ekonomi papan atas dunia, The Economist melabeli Jokowi tidak kompeten menangani krisis Covid. Dalam laporannya yang terbit akhir Agustus, The Economist membagi empat kluster pemimpin dunia dalam menangani krisis Covid-19.

Kluster pertama, mereka yang menyangkal ada masalah. Seperti respons Gurbanguly Berdymukhamedov dari Turkmenistan, yang mendenda rakyatnya karena memakai masker.

Kelompok kedua, mereka yang mengakui ancaman tersebut. Melawannya dengan upaya maksimum dan keras. Terlepas dari kebebasan sipil. Hal ini misalmnya dilakukan Xi Jinping di Tiongkok dan Nguyễn Phú Trọng di Vietnam.

Kelompok ketiga, mencakup sebagian besar negara demokrasi. Berusaha kompromi antara menangani virus dan tetap menimbang segala dampak sosial ekonominya.

Kelompok keempat, mencoba bertindak keras. Namun melakukannya dengan tidak kompeten. Di kluster terakhir inilah Presiden Joko Widodo ditempatkan. Kebijakan yang tidak solid sejak awal, justru memperburuk situasi.

Keinginan memaksakan Pilkada, dipastikan bakal memperparah pengendalian Covid-19 di Indonesia. Rencana Pilkada ini, mirip dengan ketergesa-gesaan pemerintah menggenjot ekonomi.

Di level masyarakat, seruan Pilkada ditunda semakin kencang. Dua ormas terbesar di Indonesia, NU & Muhammadiyah kompak menyerukan Pilkada diundur. Para tokoh, pakar dan pengamat juga menyuarakan aspirasi senada.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, secara tegas meminta pemerintah menunda Pilkada hingga vaksinasi Covid19 selesai.

Opsi penundaan Pilkada amat beralasan. Agar pesta demokrasi lima tahunan itu, tidak menjelma jadi pesta kematian. Situasi penanganan Covid-19 yang amburadul memendam bom waktu. Akan terjadi ledakan Corona yang sangat mengerikan jika agenda Pilkada tetap dipaksakan.

Di masa-masa kampanye, pengumpulan massa skala besar ribuan orang tak bisa dihindari. Sudah terlihat pada proses pendaftaran para kandidat kemarin. Bakal calon kepala daerah bahkan tidak mampu mendisiplinkan tim sukses dan pendukungnya. Berkerumun mengabaikan protokol kesehatan.

Penyelenggara pemilu, juga melakukan pembiaran atas pelanggaran protokol kesehatan itu. KPU bahkan membolehkan konser musik ketika kampanye.

Perlu di catat, KPU memegang rekor sebagai lembaga negara paling mematikan. Tahun 2019, sebanyak 894 petugas KPPS gugur karena kelelahan mengurus Pemilu.

Tahun ini, potensi angka kematian petugas KPPS bakal lebih besar. Karena tingkat ancamannya bertambah. Selain karena kelelahan, juga akibat Corona yang siap menerkam kapan saja.

Bagi Jokowi, menunda atau melanjutkan Pilkada memang dilematis. Bahkan bak menelan buah simalakama. Jika dilanjutkan, tingkat kematian dan penyebaran Covid-19 bakal semakin menyeramkan.

Bila ditunda, ongkos politiknya tidak kecil. Kredibilitas pemerintah jatuh. Buah simalakama. Inilah rentetan akibat, sedari awal Jokowi dan jajarannya tidak tegas merespons Covid-19.

(Selengkapnya Video)
Baca juga :