Kampanya #IndonesiaButuhKerja yang digawangi sejumlah ‘artis’ adalah kampanye asal-asalan yang tidak mendidik. Dipikirnya negara ini 75 tahun merdeka hanya diisi masyarakat haha-hihi untuk membicarakan masalah seserius omnibus law RUU Cipta Kerja.
Pemerintah memang membantah menganggarkan dana kepada mereka sebagai buzzer. Tapi apalah artinya bantahan. Orang sudah banyak tahu seterang tahu air hujan selalu ke bawah. Toh, si ‘artis’ mengaku dapat posting fee.
Mungkin dari Ken Arok!
Tak ada persoalan dengan pekerjaan sebagai buzzer atau influencer. Masalahnya apa yang disuarakan.
Bagi saya lebih baik dibayar untuk berkelahi fisik di ladang kosong ketimbang menulis kesesatan yang dilumat banyak orang. Itu racun yang bakal merambati otak dan hati. Merusak masyarakat. Membikin kelam masa depan anak dan cucu kita.
Saya tidak masuk substansi isi RUU Cipta Kerja. Anda bisa baca sendiri drafnya di situs DPR atau LSM-LSM. Kajian Komnas HAM yang menolak RUU itu juga bagus untuk dibaca.
Belajarlah untuk selalu membaca sumber yang benar dari dokumen yang kredibel. Buang ke tong sampah cuitan-cuitan ngawur dari orang-orang yang menjual banyak follower tapi tidak membawa kebahagiaan nalar.
Kampanye itu jelas bersejajaran momentumnya dengan RUU Cipta Kerja. Siapa yang berkepentingan dalam RUU itu tentu banyak, termasuk pengusaha. Ada negosiasi yang sedang terjadi di level elite. Mengatasnamakan masyarakat yang seolah-olah dibuat seperti mendukung RUU itu di media sosial.
Tapi pertanyaannya, apa bukti dan jaminannya pengesahan RUU Cipta Kerja akan menjawab kebutuhan akan pekerjaan—terutama bagi 6,8 juta pengangguran menurut data BPS terbaru? Pekerjaan yang seperti apa? Bagaimana pengupahannya? Kapan?
Buat apa mendukung omnibus law kalau pada ujungnya investasi yang dijanjikan tidak menguntungkan rakyat kebanyakan tapi hanya memuluskan bisnis segelintir kalangan yang pelukan erat dengan oknum pejabat?
Ekonomi memang butuh sentimen positif. Tapi sentimen tidak bisa dibentuk sembarangan. Ia perlu basis yang kuat, logis, dan kredibel supaya masyarakat percaya. Ia butuh kepemimpinan yang mumpuni supaya publik teryakini secara sosial dan politik.
Ekonomi yang baik tumbuh di atas kepercayaan yang didasarkan pada bukti. Bukan permainan opini dari para pesohor.
Kita tidak dengar pemerintah serius bicara tentang lapangan kerja. Ukurannya sederhana. Kapan Menteri Pertanian di negara agraris ini serius bicara lapangan kerja sektor pertanian? Kapan ia punya gagasan brilian tentang cetak sawah dan teknis-teknis lainnya dengan mata seberbinar ia menawarkan kalung antikorona?
Mana sodoran yang ciamik untuk membangun lapangan kerja sektor kelautan dan perikanan?
Mana bukti menteri bekas aktivis antikorupsi membudidayakan koperasi yang kuat di daerah-daerah?
Arisan ke mana Menteri Tenaga Kerja kita sehingga tidak tunjukkan bukti terobosan-terobosan dahsyat untuk membabat pengangguran?
Pemerintah tidak serius bicara lapangan kerja sehingga tidak patut ‘meledek’ masyarakat dengan kampanye #IndonesiaButuhKerja.
Yang kita perdebatkan melalui media massa saat ini kebanyakan masalah lapangan kerja semu.
Kartu Prakerja tidak bicara tentang kompetensi kerja dan penyalurannya ke mana. Ia bicara bagaimana caranya membeli video pelatihan lewat e-marketplace sebagai pengisi waktu selama ‘libur’ korona. Ia menjamin bisnis perusahaan platform digital yang sebagiannya berbasis venture capital dengan bonus insentif Rp600 ribu bagi masyarakat.
Digitalisasi ekonomi semacam transportasi daring tidak bicara status kepekerjaan sesuai UU Ketenagakerjaan tapi bicara kemitraan. Pendeknya mitra yang bekerja karena ia membeli kendaraan, membayar cicilan, mengasuransikan, membeli suku cadang dari gurita perusahaan yang berada dalam satu garis yang sama sehingga uangnya berputar di situ-situ saja.
Kita tidak bicara pembangunan UMKM tapi bicara bisnis peer-to-peer lending berkedok inklusi keuangan. Buktinya mantan staf khusus presiden pun mempromosikan hal itu sebelum angkat kaki.
Kita tidak bicara bagaimana ketenagakerjaan dibentuk sebagai sistem yang adil dan menyejahterakan rakyat kecil dalam omnibus law. Kita bicara bagaimana RUU itu lolos lalu dijadikan dasar untuk memperpanjang kontrak-kontrak migas, batubara perusahaan-perusahaan yang setidaknya 3 dekade terakhir menggali tanah negara sebagai aset yang bisa dipermak di laporan keuangan dan dijadikan agunan utang.
Kita tidak bicara bagaimana masyarakat berdaya, kuat, dan mandiri dalam ekonomi. Yang dibicarakan adalah konsumsi. Sebab konsumsi mendorong pertumbuhan ekonomi dalam bentuk angka-angka yang bagus disiaranperskan tanpa pernah dimengerti istilah-istilahnya oleh rakyat di warung kopi.
COVID-19 bukanlah kutukan dari Tuhan. Pemerintah tidak boleh hanya menyalahkan COVID-19 sebagai penyebab ekonomi susah bin terkontraksi. Pengaruhnya memang betul ada. Tapi perlu diselidiki juga cara kita hidup dan bagaimana pemerintah menyelenggarakan negara ini.
Dengan mental dan model kepejabatan kita yang awut-awutan, oportunis, dan miskin empati, niscaya ada atau tidak ada COVID-19, kita tidak akan pernah menjadi bangsa yang besar dan maju. Apalagi dengan cara membuat tagar haha-hihi.
Terakhir, saya jadi ingat cerita kawan yang bekerja di salah satu instansi sebagai stafsus. Ia ‘dinasihati’ oleh atasannya karena terlihat hanya bekerja rutin sebagai pegawai 9-17.
“Jangan cuma kerja, coba cari proyek sana...”
Selamat datang di #IndonesiaButuhProyek
Oleh: Agustinus Edy Kristianto
[sumber: fb]