"Hidden Agenda" di Balik isu Klepon


Diskusi Kecil Geopolitik: KEMANA ISU KLEPON BAKAL BERLABUH?

Oleh: M Arief Pranoto

Selain latar kegelisahan, semoga tulisan ini tidak tergolong respon "nyinyir" yang larut pada isu klepon, karena secara filosofi, isu tersebut sekedar kegaduhan di hilir (persoalan) bangsa. Bisa saja. Entah test the water, entah pengalihan isu di tengah kompleksitas permasalahan bangsa, atau jangan-jangan isu klepon (haram) merupakan "sandi" sebuah operasi dari golongan tertentu? Entahlah.

Yang jelas, tatkala isu klepon ditebar ke publik bukanlah hal kebetulan, sebab dalam geopolitik tak ada kebetulan tetapi semua langkah adalah by design. Niscaya terdapat sesuatu di dalam sesuatu. Ada yang tersirat di balik hal tersurat.

Nah, diskusi kecil ini mencoba menguak hidden agenda di balik isu klepon.

Secara histori, klepon merupakan salah satu jenis jajanan Jawa berbahan dasar (pokok) ketela, parutan kelapa, dan gula kelapa cair dst. Tidak ada aneh apalagi haram baik bahan-bahannya, proses pembuatan, maupun rasa. Enak menurut lidah Jawa.

Local wisdom (kearifan lokal) Jawa memberi isyarat, bahwa klepon ialah potret wong Jowo mengajari anak cucu agar tidak mengecap (berbunyi) saat makan. Kenapa? Karena makan berbunyi itu tidak sopan. Tak beretika.

Dalam perspektif lebih dalam lagi, klepon adalah akronim dari "Kanti Lelaku Pasti Ono." Arti bebasnya ialah, jika orang mau melakukan lelaku (usaha lahir batin) pasti ada jalan keluar, atau tujuan akan tercapai.

Nah, ternyata makna klepon, selain beresensi proses manajemen, juga sebuah ajaran hidup dan kehidupan bagi masyarakat Jawa melalui simbol - simbol.

Ya. Klepon itu simbol kelembutan, keuletan, kesabaran, ketelitian, ketepatan dll. Membuat Klepon, contohnya, mutlak harus dengan bahan yang baik. Maknanya ialah, jika ingin "lelaku" tidak boleh asal-asalan. Itu poin intinya. Ada persyaratan dan ketentuan. Butuh keuletan, kesabaran, kelembutan, teliti dan ketepatan. Hay, bukankah semua itu mekanisme manajemen dan ajaran hidup untuk manusia?

Sekali lagi, melalui klepon, para leluhur ingin mengajarkan filosofi kehidupan terhadap anak cucu tentang etika, ajaran soal kesabaran hidup, kelembutan, ketelitian, ketepatan dst. Retorika pun muncul, "Adakah yang haram pada bahan, proses pembuatan, maupun ulasan makna tentang klepon di atas?" Hampir tidak ada. Bahkan dari perspektif filosofi dan local wisdom, makna klepon justru merupakan ajaran mulia para leluhur kepada anak cucu tentang bagaimana mencapai tujuan atau meraìh maqom tertentu dalam hidup serta kehidupan.

Jadi, ketika isu klepon ditebar ke publik, sepertinya bukan bertujuan menyudutkan klepon itu sendiri, tetapi geopolitik mengendus sebagai "sandi operasi" yang tengah digelar. Ini asumsi. Entah sandi operasi macam apa. Boleh percaya, tidak percaya pun no problem.

Lantas, apa akromim dan makna klepon dari perspektif "sandi operasi" sesuai dugaan dan asumsi geopolitik di atas, dan kemana isu hendak berlabuh?

Tak boleh dipungkiri, si penebar isu klepon seperti tengah berselancar di tengah gelombang VUCA. Ya, itu ciri serta kharakter dalam Revolusi Industiri (Era) 4.0 yang ditandai kondisi mudah bergejolak (volatility), muncul ketidakpastian (uncertainty) di sana-sini, ada kompleksitas (complexity) persoalan serta ketidakjelasan (ambiguity) atas situasi yang berkembang.

Kita mundur sejenak. Memang. Usai perang ideologi antara komunisme versus kapitalisme ---Cold War--- yang dimenangkan oleh kapitalis dengan runtuhnya Uni Soviet, maka kapitalis dianggap ideologi unggul di muka bumi dengan ciri demokrasi liberalnya (baca: "Clash of Civilzations and the Remaking of World Order"-nya Samuel P Huntington dan "The End of History and the Last Man"-nya Francis Fukuyama).

Pada kedua buku di atas tersirat hidden agenda, bahwa musuh kapitalis usai perang dingin adalah Islam (radikal), karena kapitalis sebagai akhir evolusi ideologi di dunia.

Lantas, skenario WoT (War of Terror) pun digelar berpintu 911/WTC. Dunia gaduh karena WoT. Namun ketika WoT tutup layar dengan "matinya" Osama bin Laden (2011) di Pakistan, ia pun berganti menjadi isu ISIS. Dan tatkala ISIS pun kalah di Syria maka isu diganti lagi menjadi radikalisme. Itulah pola "stigma bergerak" yang kerap dijalankan oleh Barat cq Amerika/AS di panggung (geo) politik global.

Irak contohnya, ia diserbu Barat melalui isu senjata massal. Ketika Saddam terguling dan Irak diduduki oleh Barat, stigma pun diubah menjadi isu menegakkan demokrasi, dst hingga terakhir ber-isu menjaga stabilitas keamanan ketika Saddam sudah digantung.  Semua isu di atas disebut stigma bergerak sedang ujungnya adalah menduduki sumur-sumur minyak atau mencaplok geoekonomi Irak.

If you would understand world geopolitics today, follow the oil, kata Deep Stoat, pakar strategi AS. Jika ingin memahami geopolitik, ikuti kemana aliran minyak. Kenapa? Karena akan terlihat manuver para adidaya bersinergi bahkan beradu kuat guna menguasai sumber-sumber minyak.

Kembali ke isu klepon. Bahwa Perang Peradaban antara Barat versus Islam (radikal) sebagaimana skenario "Clash of Civilizations"-nya Huntington dimana kerap melalui perpanjangan tangan dan mengambil proxy war ---medan tempur--- di negara-negara mayoritas muslim kecuali negara tersebut sudah menjadi "satelit"-nya. Ya. Ada satelit total baik pemerintah, sistem, maupun rakyat berkiblat sepenuhnya ke Barat. Ini yang kemudian disebut dengan istilah Negara Sekuler dimana agama hanya boleh di ruang privacy tak dapat/dilarang dibawa ke ranah publik. Namun ada juga yang separuh-separuh, misalnya, pemerintahnya (semi) sekuler, tetapi rakyatnya justru ogah-ogahan. Mereka tetap ingin membawa agama di ruang publik, juga ingin berpolitik melalui lembaga agama.

Lantas, apa hubungan narasi di atas dengan isu klepon?

Geopolitik kuat mengendus dan menduga, isu klepon merupakan sandi operasi bagi kelompok serta golongan bermazhab Huntington dan Fukuyama guna melemahkan Islam dari sisi dalam. Ya. Bagi penganut mazhab di atas, klepon itu akronim dari "KLE-lepno PON-dok" alias tenggelamkan pondok-pondok pesantren. Kenapa? Jasmerah, kata Bung Karno (BK). Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.

Tak dapat dielak, pondok pesantren (ponpes) merupakan epicentrum pergerakan Islam di Indonesia dan bernuansa tradisional, kendati ada yang mengklaim sebagai ponpes modern namun sebatas peralatan dan kurikulum yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Secara filosofi, terdapat ciri khusus yang kuat melekat di ponpes yakni ketaatan tanpa batas serta loyalitas tak bertepi kepada para guru dan kyai. KH Hasyim Ashari, misalnya, melalui "Resolusi Jihad"-nya telah mampu menggerakkan sumber daya ponpes dan rakyat guna mengusir sekutu dari Surabaya. Beliau dari Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Nah, epicentrum inilah yang dikhawatirkan para penganut Huntingtönisme dan Fukuyamaisme. Artinya, selama ada ponpes, skenario Clash of Civilizations tidak bakal dimenangkan Barat. Oleh karenanya, ponpes mutlak harus ditenggelamkan dengan sandi "klepon", klelepno pondok (pesantren).

Geopolitik pun beretorika, seandainya Indonesia hanya penghasil ketela rambat, mungkinkah akan muncul isu klepon haram di publik; seandainya Papua cuma produsen batu akik, adakah OPM masìh eksis di sana?

Pointers dan simpulan (sumir) diskusi ini bukanlah Kebenaran. Apalagi pembenaran. Dan tak ada maksud menggurui siapapun terutama para pakar dan pihak yang berkompeten. Terbuka untuk kritik dan saran guna menyempurnakan tulisan ini.

Terima kasih.

__
*Sumber: fb penulis

Baca juga :