Hagia Sophia, Proklamasi Erdogan Atas Kemerdekaan Turki dari 'Keterjajahan' Pihak Manapun


Hagia Sophia, Proklamasi Erdogan Atas Kemerdekaan Turki dari 'Keterjajahan' Pihak Manapun

By: Ahmad Syauqi

Hagia Sophia sudah bolak-balik bertukar fungsi. Awalnya difungsikan sebagai Basilika (gereja utama) di era Bizantium, lalu dialih fungsikan menjadi Masjid di era Usmani, lalu disekulerkan oleh Atatürk menjadi museum, dan yang terbaru dikembali-fungsikan sebagai masjid oleh Erdogan.

Perdebatan tak dapat terelakkan, masalah ini memantik api perdebatan lintas agama dan lintas teritori. Yunani mengecam keras langkah Turki mengubah Hagia Sophia menjadi masjid. Alasannya karena fungsi original dari bangunan tersebut adalah Basilika, dan Yunani memandang ada hak nasab atas Hagia Sophia.

Dikubu Islam dan Turki sendiri isu itu ditepis dengan argumen bahwa bangunan tersebut telah dibeli secara legal dan sah oleh Ottoman Empire, dan surat-menyurat pembelian tersebut terarsip rapi di Ankara.

Liberalis-Sekularis juga terbakar dengan policy Tuan Erdogan. Mereka sedikit banyaknya merasa memiliki kewajiban memperjuangkan apa yang bapak ideologis mereka, Atatürk, telah perjuangkan; Mengubah fungsi Hagia Sophia menjadi Museum.

Kembali lagi, perdebatan tidak akan bisa disudahi, karena setiap stakeholder punya misi dan preferensi. Tapi hemat saya ada hal yang tak kalah menarik dan lebih enak diperbincangkan daripada hanya bereuforia dalam kondisi yang saya anggap episodik; sebab faktanya telah terjadi berkali-kali peralihan fungsi dari Hagia Sophia, dan bahwa supremasi politik memiliki kekuatan untuk memaksa bangunan bersejarah ini merubah fungsinya. Dan tentu atas kesadaran data dan sejarah itu, maka tidak tertutup kemungkinan suatu saat Hagia Sophia akan dialihfungsikan lagi.

Nah, diantara beberapa hal yang menarik untuk ditelisik adalah:

Pertama, strategi dan kekuatan politik bisa merubah apapun.

Tentu bagi sekularisme dan liberalisme fanboy, tak terlintas di kepala mereka bahwa dalam fase yang relatif singkat, Tuan Erdogan mampu mengacak-acak prestasi Ataturk yang berhasil menceraikan agama dari lini-lini sentral kehidupan masyaraat Turki. Dikembalikannya adzan berbahasa Arab, dibolehkannya hijab dalam institusi formil pemerintahan, dan sebagainya, tidak akan bisa dihasilkan dari jalur lain, kecuali dari lajur politik. Dan itu mengapa mempelajari politik di era ini tak kalah wajibnya dari belajar ilmu syariat lain. Semua arus kepentingan, digodok dan diselesaikan di meja politik.

Kedua, berhenti mempermasalahkan embel-embel politik.

Yang mengikuti perjalanan AKP dan Erdogan tentu sangat familiar dengan tagline yang mereka bawa. Diawal perjalanan tidak ada jargon-jargon keislaman yang kental dan tidak ada ‘jualan’ agama. Mereka dianggap sekuler bahkan. Tapi ‘sekulerisme’nya Erdogan lah yang banyak bersuara untuk kepentingan muslim global ketimbang sebagian pemimpin Arab yang katanya berIslam kaffah.

Ketiga, Apa yang Tuan Erdogan bidik?

Mungkin ini adalah hal yang paling penting untuk terus dibahas, karena ini sangat rekat efeknya dengan rotasi geopolitik dekade mendatang.

Paling tidak secara kasat-kasat kita bisa mengeja misi Hagia Sophia Tuan Erdogan sebagai proklamasi.

Proklamasi kemerdekaan Turki dari ‘keterjajahan’ dan ketergantungan dari Eropa dan dunia. Itu tersirat dari dari pidatonya ketika dia berujar kepada dunia, “Its a domestic issue, we expect the same understanding from others.” Ini masalah kami, sudah jangan campuri masalah kamar kami. Begitulah lantangnya.

Proklamasi kekuatan kepada lawan politik domestik dan internasioanal, bahwa dia punya kekuatan besar untuk melakukan apapun. “Turkey has much more to say,” dentum Erdogan.

Erdogan ingin menaikkan level main Turki. Hagia Sophia adalah proklamasi kekuatan Turki kepada dunia. Misi Hagia Sophia adalah pesan Erdogan untuk semesta, “If you are in the way of my goals and dreams, I suggest you move” (Jika Anda menghalangi tujuan dan impian saya, saya sarankan Anda menyingkir).[]

Baca juga :