Aksi Jerinx dan Warga Bali Tolak Tes Corona Masuk Akal, Tapi Ada Satu Yang Mereka Lupa....


Saya bisa memahami orang2 demo menolak rapid tes, swab, dll. Menolak pakai masker, dll. Termasuk demo barusan di Bali. Itu masuk akal sekali. Karena Bali sangat tergantung dengan industri pariwisata. Saat turis2 tidak datang, maka dari ujung ke ujung, semua kena.

Hotel sepi. Penjual makanan sepi. Sopir grab/gojek sepi. Apapun sepi. Jutaan kena, penghasilan berkurang drastis, lantas makan dari mana? Mereka pengin turis datang lagi. Tidak perlu pakai ribet, peraturan, dll, yang penting turis kembali. Itu alasan yang sangat masuk akal.

Masalahnya. Ada satu hal yang dilupakan dalam pola pikir seperti ini. Apa? TURIS itu sendiri.

Baik. Katakanlah semua Bali sepakat, kita buka semua, tidak perlu tes, tanpa masker, tanpa social distancing, itu corona cuma konspirasi, dusta, bohong, dsbgnya. Baik, seluruh Bali sepakat membuka wisatanya, bebas sebebasnya. Maka ijinkan saya bertanya: TURIS-nya mau datang tidak?

Elu sudah welcome2, lantas turis-nya baca berita, ada demo menolak rapid tes, foto2 orang yang tidak pakai masker, ramai2 demo di jalanan, tanpa social distancing, dll. Itu turis dari Australia, Jepang, Eropa, Amerika, mereka mau datang tidak? Ayo dijawab dengan logika.

Karena mereka juga mikir. Punya logika sendiri. Mayoritas mereka sih percaya pandemi ini real, nyata, dan membunuh. Maka saat mereka sudah kebelet banget pengin liburan, mereka tetap akan memilih dengan akal sehat. Ngapain datang ke lokasi yang masih dikasih travel warning. Yang penduduknya bodo amat tdk mau pakai masker, dll. Mending ke negara2, lokasi2 wisata yang lebih aman dari virus tersebut.

Fine. Memang masih ada turis yang tetap datang. Tapi perhatikan baik2, yang datang ini adalah turis yang sama2 bodo amat dengan protokol kesehatan, tidak mau pakai masker, dan menggampangkan banyak hal. Cocok jadinya, penduduk lokal tidak peduli, turis juga tidak peduli. Ambyar hasilnya. Berapa jumlah turis bodo amat ini? Kecil. Kalau situ berharap yang datang jutaan, itu sih lebay. Bahkan saat gunung Rinjani Lombok batuk sedikit saja, itu turis habis. Apalagi situasi pandemi begini.

Boleh2 saja punya teori atas pandemi corona ini. Bilang ini cuma persekongkolan. Bebas. Ini jaman demokrasi. Tapi ketahuilah, orang lain juga punya teori. Yang sebaliknya, meyakini pandemi nyata, serius. Apapun teori kita, sst, kita tidak bisa memaksakan teori kita kepada orang lain.

Maka, jika kalian pengin industri pariwisata pulih, mulailah menghormati teori orang lain. Segera pastikan Bali (misalnya), mengirim pesan, kalau di sana aman. Penderita terus berkurang. Ada datanya, ada faktanya. Penduduk di sana juga disiplin dengan protokol kesehatan. Ada datanya, lagi2 ada faktanya. Itu pesan yang dikirim ke seluruh dunia.

Karena ayolah, kita berharap orang lain datang bawa uang, maka pastikan kita menghormati pendapat mereka soal corona. Bukan malah: 'Ayo datang ke Bali, itu corona cuma hoax, konspirasi. Lihat, kami tidak pakai masker, kami menolak rapid tes, dll.' Yang elu suruh datang itu siapa? Mereka mau gitu menghabiskan jutaan untuk tiket, dll, bawa keluarga ke sana?

Dalam situasi susah begini, kita harus berpikir dengan logic of the logic, core of the core.

(By Tere Liye)

*sumber: fb

Baca juga :