KPK Minta Kartu Prakerja Dihentikan Dulu
Program kartu prakerja benar-benar merembet ke ranah hukum. Kemarin (18/6/2020) KPK meminta program tersebut dihentian sementara. Pemerintah harus mengevaluasi pelaksanaan gelombang I hingga III yang terlanjur bergulir.
Hal itu merujuk hasil kajian KPK yang dilakukan selama tiga pekan. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan pihaknya mengidentifikasi sejumlah persoalan dalam empat aspek terkait pelaksanaan prakerja.
Empat aspek dimaksud adalah proses pendaftaran, kemitraan dengan platform digital, materi pelatihan dan pelaksanaan program.
Terkait proses pendaftaran, Alex menyebutkan, sejatinya ada 1,7 juta pekerja yang terkena PHK. Data itu berasal dari Kemenaker dan BPJAMSOSTEK. Dari jumlah pekerja terdampak itu, hanya 143 ribu yang mendaftar prakerja. Sebaliknya, 9,4 juta pendaftar hingga gelombang ketiga dinilai bukan target yang disasar program prakerja. Dengan demikian, penggunaan fitur face recognition senilai Rp 39,8 Miliar untuk kepentingan pengenalan peserta dalam proses pendaftaran itu menjadi tidak efisien. "Penggunaan NIK dan keanggotaan BPJAMSOSTEK sudah memadai," paparnya.
Terkait kemitraan platform digital, KPK mengidentifikasi kerja sama dengan 8 platform digital (Ruangguru cs) tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa (PBJ). Penetapan platform digital sebagai mitra resmi pemerintah yang dilakukan Komite Cipta Kerja pada 9 Maret 2020 itu juga tidak sesuai pasal 35 dan 47 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020. Sebab, penetapan dilakukan sebelum manajemen pelaksana terbentuk.
KPK juga mengidentifikasi adanya konflik kepentingan pada 5 platform digital dengan lembaga penyedia pelatihan (LPP). Itu mengingat sebanyak 250 dari 1.895 pelatihan adalah milik LPP yang memiliki konflik kepentingan dengan platform digital.
Menurut Alex, platform digital tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan LPP.
"Dengan demikian, 250 pelatihan yang terindikasi (konflik kepentingan) harus dihentikan," tuturnya.
KPK juga merekomendasikan Komite Cipta Kerja agar meminta legal opinion dari Jamdatun Kejaksaaan Agung tentang kerja sama dengan delapan platform digital itu. "Apakah (delapan platform digital) itu termasuk dalam cakupan PBJ pemerintah?" imbuh dia.
KPK juga menyoroti materi pelatihan yang tidak dilakukan dengan kompetensi memadai. Bahkan, pelatihan yang memenuhi syarat, baik materi maupun penyampaian secara daring, hanya 24% dari 1.895 peatihan. Juga, hanya 55% dari 457 pelatihan yang dapat diberikan secara daring. Bukan hanya itu, dari 327 sampel pelatihan, ditemukan 89% (291) tersedia secara gratis di internet.
(Sumber: Koran Jawa Pos, Jumat 19 Juni 2020)