Ditengah Gaduh Teriakan Tagihan Listrik Naik, PLN Mengeluh Rugi 38,8 Triliun


[PORTAL-ISLAM.ID]  PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN melaporkan kinerja keuangan merah di sepanjang kuartal I 2020. Perusahaan setrum milik negara ini mencatatkan rugi di Januari-Maret 2020 sebesar Rp 38,88 triliun.

Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, kerugian tersebut diakibatkan sempat tertekannya kurs rupiah terhadap dollar AS pada Maret 2020. Total kerugian yang diakibatkan mata kurs mata uang asing mencapai Rp 51,97 triliun.

"Pada saat itu nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp 16.367 per dollar AS. Dibandingkan dengan 31 Desember 2019 sebesar Rp 14.244 per dollar AS, maka berdasarkan PSAK 10, perusahaan berkewajiban untuk mencatat selisih kurs sebesar Rp 51,97 triliun," tuturnya dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR RI, Rabu (17/6/2020).

Hal tersebut mengakibatkan kinerja keuangan perseroan pada kuartal I-2020 mengalami rugi sebesar Rp 38,88 triliun.

Kendati demikian, Zulkifli menyebutkan, pihaknya masih mampu membukukan laba usaha Rp 6,81 triliun, EBITDA positif Rp 16,93 triliun dan EBITDA margin 19,78 persen.

Selain itu, Zulkifli juga melaporkan, pendapatan perseroan pada kuartal I-2020 masih tumbuh 5,08 persen atau Rp 3,4 triliun dari Rp 66,85 triliun pada kuartal I-2019 menjadi Rp 70,25 triliun.

Keluhan pelanggan soal tagihan naik

Sejak beberapa pekan lalu, banyak pelanggan PLN yang mengeluhkan membengkaknya kenaikan tagihan listrik. Mereka yang keberatan tagihannya membengkak menilai, kenaikan tagihan tak sesuai dengan jumlah pemakaian.

Zulkifli menegaskan, lonjakan tagihan listrik yang dialami sejumlah pelanggan bukan diakibatkan adanya kenaikan tarif listrik ataupun praktik subsidi silang untuk menambal insentif yang diberikan perseroan.

"Sebelumnya kita sampaikan bahwa lonjakan kenaikan tagihan listrik tidak disebabkan oleh adanya kenaikan tarif listirk maupun adanya subsidi silang dalam tarif listrik," tuturnya.

Lebih lanjut, Zulkifli menjelaskan, kenaikan tarif listrik hanya bisa dilakukan oleh pemerintah bersama dengan anggota DPR. Dimana terakhir kali tarif listrik mengalami kenaikan ialah pada bulan Januari tahun 2017.

"Dan PLN berada dalam posisi menjalankan misi tersebut," katanya.

Menurutnya, kenaikan tagihan listrik murni diakibatkan skema pencatatan tagihan dan meningkatkan konsumsi pelanggan.

Pencatatan tagihan listrik dengan penghitungan rata-rata 3 bulan terakhirr yang sudah mulai diterapkan untuk rekening April, mengakibatkan adanya perbedaan dengan konsumsi listrik sebenarnya.

"Sebagian besar realisasi lebih besar dari tagihan yang diberikan. Selisih tersebut diberikan setelah melakukan catat meter," ujar Zulkifli.

Oleh karenanya, untuk merespon keluhan kenaikan tagihan listrik, PLN memberikan skema cicilan pembayaran besaran kenaikan tagihan selama 3 bulan.

Berpotensi Langgar UU Perlindungan Konsumen

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai, PLN berpotensi melanggar salah satu pasal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal itu terkait kenaikan tagihan listrik yang dialami sejumlah pelanggan.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, komunikasi atau sosialisasi yang dilakukan PLN mengenai penghitungan tagihan rata-rata selama 3 bulan terakhir tidak maksimal.

Tulus menjelaskan, PLN sebenarnya memberikan opsi kepada pelanggan untuk mengirimkan foto kWh, sebagai acuan penghitungan tagihan listrik.

Namun, mayoritas masyarakat dinilai tidak mengetahui informasi tersebut, sehingga tagihan listrik dihitung dengan penggunaan rata-rata selama 3 bulan terakhir.

"Kalau itu dikirim, tidak ada lonjakan tarif seperti sekarang. Tapi karena informasi tidak sampai, konsumen tidak mengirimkan stand kWh meter lewat foto," ujarnya.

Menurutnya, seharusnya PLN memberikan informasi secara komprehensif kepada seluruh pelanggan pascabayar. Hal tersebut dinilai mampu meminimalisir terjadinya keluhan kenaikan tagihan listrik.

Namun, Tulus menilai dengan komunikasi yang kurang maksimal tersebut, PLN berpotensi melanggar Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 1999.

Salah satu poin dalam pasal tersebut menyebutkan, konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa.

"Kalau merujuk UU perlindungan konsumen, maka patut diduga melanggar Pasal 4 hak atas informasi. Terjadi semacam asimetris informasi antara konsumen dan juga pln, yang tidak menyampaikan itu dengan baik," tutur Tulus.

(Sumber: KOMPAS)

Baca juga :