Beruntung Vietnam, Tidak Dipimpin Pak Joko


Satu-satunya pasien covid-19 paling kritis di Vietnam (seorang pilot berkewarganegaraan Inggris yang bekerja di maskapai Vietnam) kini sudah agak membaik kondisinya dan (ini yang mengejutkan) sudah negatif covid-19.

Pilot itu --luar biasa-- tidak jadi mati. Padahal Covid-19 sudah membuatnya koma. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Lebih 2 bulan ia koma. Nama sang pilot pun sudah tidak dirahasiakan lagi: Stephen Cameron. Umur: 43 tahun. Kewarganegaraan: Inggris. Pekerjaan: pilot Vietnam Air.

Kondisi sakitnya menjadi perhatian seluruh negeri karena jika sampai ia tewas, maka rekor Vietnam sebagai satu-satunya negara di kolong langit yang terkena covid-19 tapi kematiannya 0 akan runtuh.

Beruntung dia ada di Vietnam, negara berkembang seperti Indonesia, tapi tidak dipimpin oleh Pak Joko Widodo. Pemerintah Vietnam menganggap serius wabah covid-19 ini dari awal, bertindak cepat dan tegas (saya ingat bahkan cara Vietnam mencegah masuknya wabah ini sering dikata-katai orang sebagai otoriterisme gaya komunis). Ketika pilot ini kritis disiksa covid-19, segala daya dan upaya pun dikerahkan untuk menyelamatkannya.

Beruntung dia di sana dan bukan di sini. Di sana satu kematian pun akan dianggap kegagalan, sedangkan di sini, bahkan ada pejabat yang sempat-sempatnya berkata di hadapan rakyat dengan muka datar bahwa angka kematian karena wabah di Indonesia sebagai angka kecil, seraya membandingkannya dengan angka kematian penyakit lain. Seolah ia menganggap kematian hanyalah angka-angka statistik di Excel atau Minitab.

Beruntung juga dia di sana. Orang-orang yang patut diduga tertular dari dia di-tracking dengan serius dan di-test sungguh-sungguh meski jumlahnya sangat banyak. Beruntung juga dalam proses tracking ini tidak kita dengar ada warga yang memasang spanduk penolakan, misalnya: “Kami menolak rapid test dan swab test”. Atau baliho: “Hentikan sandiwara kalian wahai dokter dan nakes!”.

Nah, teman-teman. Vietnam menganggap bahaya wabah ini serius dari awal, lalu mereka bertindak cepat dan baik (seperti tindakan pencegahan masuknya virus dari luar negeri, tracking, karantina dan sebagainya) hingga tak ada korban jiwa seorang pun di sana dan berhari-hari terakhir ini tak ditemukan lagi penambahan orang positif covid-19 serta kemungkinan roda ekonomi juga akan cepat berjalan normal lagi di sana (apalagi mereka ketiban untung, banyak perusahaan asing yang pindahkan pabrik dari China ke Vietnam). Hari esok terlihat lebih cerah.

Bandingkan dengan Indonesia yang ketika awal-awal dihantam wabah justru terkesan meremehkan bahaya covid-19, tindakan responnya kurang cepat dan kurang tepat. Akibatnya hingga bulan keempat ini, korban wabah yang tewas di kita sudah 2000-an orang. Konfirmasi penambahan kasus baru: seribuan orang per hari. Ekonomi ancur-ancuran dan masyarakat kecil menjerit kesusahan dan kesulitan nafkah.

Bayangkan! Sesudah kita berantakan begini lalu teman-teman masih sempat-sempatnya share tulisan atau meme yang tidak jelas yang intinya mengajak masyarakat untuk lebih meremehkan wabah dengan tuduhan bahwa wabah ini hanya konspirasi atau wabah tak bahaya dan bumbu-bumbu teori konspirasi lainnya?

Sadarkah teman-teman bahwa kelakuan begitu berpotensi membuat korban wabah akan semakin banyak dan wabah di kita akan semakin berlarut-larut? Tidak seperti Vietnam yang wabah bisa selesai lebih cepat dan kehidupan normal mungkin bisa lebih cepat pula kembali?

Pertanyaan terakhir dari saya. Apakah Vietnam (yang menganggap wabah ini serius hingga akhirnya berhasil mengatasi covid-19) itu adalah negara korban konspirasi karena mereka menganggap covid-19 itu berbahaya bahkan menganggapnya bahaya itu mereka lakukan sedari awal?

Atau justru sebaliknya, teman-temanlah yang jadi korban konspirasi karena meski kita sudah babak belur, tapi justru malah berharap negeri ini untuk lebih meremehkan wabah dengan menyebarkan keyakinan bahwa wabah ini tak ada, hanya kebohongan dokter dan tenaga kesehatan atau menyebarkan keyakinan yang bertentangan dengan data bahwa wabah ini tak bahaya sama sekali?

Penulis: Ibnu Zaini Atmasan

Baca juga :