AGENDA JAHAT DI BALIK RUU HIP


AGENDA JAHAT DI BALIK RUU HIP

Oleh: Smith Alhadar

Menghadapi kekuatan sekuleristik komunis yang hendak mendistorsi Pancasila hasil kesepakatan semua elemen bangsa, Dewan Pimpinan MUI Pusat dan Provinsi seluruh Indonesia mengeluarkan maklumat Nomor: Kep-1240/DP-MUI/VI/2020. Isinya, antara lain, MUI menganggap RUU Haluan Ideologi Pancasila yang tengah dibahas di parlemen telah mendistorsi substansi dan makna nilai-nilai Pancasila sebagaimana termaktub dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.

MUI memaknai dan memahami bahwa pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya telah memadai sebagai tafsir dan penjabaran paling otoritatif dari Pancasila. Maka, adanya tafsir baru dalam bentuk RUU HIP justru telah mendegradasi eksistensi Pancasila. Ini karena RUU itu tidak mencantumkan TAP MPRS No XXV/1966 tentang pembubaran PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Indonesia dan larangan setiap kegiatan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunis/Marxisme-Leninisme. Ini dianggap MUI sebagai pengabaian terhadap fakta sejarah yang sadis, biadab, dan memilukan, yang pernah dilakukan PKI, sehingga sama artinya dengan persetujuan terhadap pengkhianatan bangsa tersebut.

Maklumat MUI ini hanya salah satu dari sekian banyak protes yang datang dari individu maupun organisasi terhadap RUU HIP. Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyatakan sejak dari aspek  filosofis, RUU ini telah catat. Demikian juga argumen yuridis dan sosiologisnya. Juga perlu dipertanyakan prosedur pembahasan yang sangat cepat di tengah situasi wabah covid-19. Mantan Ketum Muhammadiyah Din Syamsuddin meminta Jokowi menghentikan pembahasan RUU yang telah men-downgrade Pancasila.

Dari NU, Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas meminta DPR tak tergesa-gesa membahas RUU itu. Bahkan, sejumlah pengurus pondok pesantren yang berkumpul di Ponpes Madinatul Ulum Cingkrang Jenggawah, Jember, yang diasuh KH Lutfi Ahmad pada 13 Juni mendeklarasikan penolakan mereka terhadap RUU HIP. Intelektual Muslim Yudi Latif, mantan Ketua BPIP, malah menilai RUU itu ngawur. Bahkan, nama RUU-nya saja sudah salah. Belum lagi soal substansi.

Purnawirawan TNI dan Polri melalui Try Sutrisno mendesak dicabutnya RUU itu. Mereka menilai RUU itu akan menimbulkan tumpang tindih dan kekacauan dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan. Memang keliru kalau indeologi Pancasila sebagai landasan pembentukan UUD diatur dalam UU.

Protes terhadap RUU HIP, ditambah banyak persoalan bangsa, membuat daya dukung Indonesia makin lemah menghadapi pandemi covid-19 yang memukul kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat bagai angin puyuh. Sementara rezim Jokowi terus memproduksi sejumlah kebijakan yang tidak populer, kontroversial, dan tidak kondusif, bagi keamanan, ketertiban, dan keadilan sosial.

Di tengah masih tingginya penularan covid-19 di tanah air, rezim Jokowi memberlakukan kebijakan new normal dengan mengabaikan nasihat saintifik dari para pakar. Sementara DPR tak menggubris keberatan publik atas sejumlah RUU yang berorientasi pada kepentingan oligarki. Bahkan, dalam Perppu No 1 Tahun 2020, DPR melucuti fungsinya sendiri dengan menyerahkan hak-haknya kepada presiden dalam menangani covid-19.

Padahal rezim ini telah terbukti inkompeten, ngawur, dan tak dapat dipercaya untuk dibiarkan berjalan tanpa kontrol. Malah, DPR menambah kegaduhan dan kecemasan di masyarakat dengan menggulirkan RUU HIP. Pasalnya, materi yang tertuang dalam RUU HIP adalah materi penting berkenan dengan pemaknaan Pancasila, sehingga bisa dikata tafsir atas Pancasila.

Maka, sudah seharusnya materi itu dibicarakan dan dikaji dulu secara mendalam dengan melibatkan seluas mungkin spektrum politik, sehingga terpenuhi proses pembentukan hukum yang aspiratif, akomodatif, partisipatif, dan kolaboratif. Faktanya, hal itu tidak terjadi. Bahkan terkesan anggota parlemen  memanfaatkan covid-19 untuk meloloskan agendanya. Seperti bis yang mengejar setoran.

Menurut Forum Penegak Kedaulatan Rakyat, penjabaran Pancasila yang terkandung dalam Mukadimah UUD 1945 harus dicantumkan dalam batang tubuh UUD 1945, atau di dalam TAP MPR, tidak boleh dituangkan dalam bentuk UU karena akan mendegradasi Pancasila sebagai sumber hukum.

Mengingat Konstitusi 1945 yang berlaku sekarang adalah UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka tafsir Pancasila harus memperhatikan dekrit itu. Pertimbangan substantif terpenting yang secara eksplisit dinyatakan di dalam dekrit itu adalah mukadimah  menjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Karenanya, setiap upaya dan kebijakan berkenan dengan pemaknaan dan pelaksanaan UUD 1945 pada umumnya dan Pancasila pada khususnya dijiwai oleh nilai-nilai agama, khususnya Islam. Bukan malah menihilkannya.

Memang tampaknya RUU HIP tidak dimaksudkan untuk mengatasi problem riil yang serius, yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia saat ini. Malah, menjauhkan bangsa dari nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam RUU HIP tidak terbaca adanya deskripsi faktual yang diungkapkan dengan jujur, dan dengan semangat memperbaiki kondisi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang sedang dialami, yang justru semakin memprihatinkan dan nyaris tak ada sisa kedaulatan rakyat dan negara.

Ini bisa jadi disebabkan kedekatan rezim Jokowi dengan negara komunis Cina. Juga lantaran terpuruknya perekonomian nasional di tengah lautan utang, merosotnya moralitas penyelenggara negara dan korupsi yang semakin merajalela, meluasnya pengangguran, membanjirnya tenaga kerja Cina, dominasi produk impor mulai dari produk industri sampai pertanian. Produk UU yang tidak berpihak pada rakyat, penegakan hukum yang diskriminatif dan sederet lagi hal yang memilukan dan menyulut kemarahan rakyat.

Perlu juga ditekankan di sini bahwa mempertentangkan Pancasila dan agama merupakan hal yang berbahaya karena di negara ini terdapat beragam agama, termasuk Islam. Bagi umat Islam, hubungan agama dan Pancasila sudah final sejak Dekrit Presiden 1959. Jangan jadikan Pancasila sebagai alat untuk memojokkan agama sebagaimana yang tersirat dari RUU HIP. Bahkan terkesan RUU ini sengaja disusun untuk memberi jalan bagi akomodasi terhadap komunisme. PDIP, yang punya hubungan historis dengan PKI, merupakan satu-satunya partai yang paling gigih menolak masuknya Tap MPRS No XXV/1966 sebagai konsideran atau rujukan RUU HIP.

Mengherankan, kendati  mendapat penolakan luas, parlemen tetap membahas RUU HIP. Berakumulasi dengan banyaknya persoalan bangsa dan negara saat ini, RUU itu akan mempercepat pembusukan rezim. PDIP seperti tidak belajar dari sejarah. Akibat konsep Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) -- yang lahir dari akomodasi terhadap komunisme sebagai kekuatan politik yang sah -- Indonesia dilanda huru-hara dan teror politik tak berkeputusan yang berpuncak pada tragedi G30S 1965. Tak heran, Maklumat MUI meminta fraksi-fraksi di DPR mengingat sejarah yang memilukan dan terkutuk yang dikakukan PKI pada 1948 dan 1965.

MUI mencurigai konseptor RUU HIP adalah oknum-oknum yang ingin membangkitkan kembali faham komunis dan PKI. Karena itu, pihak berwajib patut mengusutnya. Selanjutnya, MUI Pusat dan Provinsi mengimbau umat Islam Indonesia agar bangkit bersatu dengan segenap upaya konstitusional untuk menjadi garda terdepan dalam menolak komunisme dan berbagai upaya licik. Kalau Maklumat MUI ini tidak diindahkan, bukan tidak mungkin ketegangan negara yang terus bereskalasi saat ini dapat berujung pada turbulensi sosial dan politik yang sangat dahsyat.

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education.


Baca juga :