Abdullah Hehamahua: RUU HIP Melahirkan Debat 'Pancasila atau Negara Islam'?


RUU HIP Melahirkan Debat: Pancasila atau Negara Islam?

Oleh: Abdullah Hehamahua

“BILA negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka….” tegas Buya Hamka dalam sidang konstituante, Bandung, 15 November 1957.

“Kalau Pancasila itu adalah sebagai suatu ajaran, dari manakah sumbernya dan bagaimana pula saluran serta pedoman-pedomannya,?” tanya tokoh NU, KH Achmad Zaini (14 Nopember 1957) dalam sidang Konstituante. Beliau mengaitkan Pancasila dengan ajaran Islam, kemudian melanjutkan: “… sehingga masing-masing dari kelima sila itu benar akan merupakan suatu pokok rumusan yang mempunyai perincian-perincian dengan dasar yang kokoh serta kuat yang bersumberkan Al Qur’an, dan Al Hadist, Al-Qias, dan Al-Ijmak.“

KH Achmad Zaini dengan tegas mengatakan: “Saudara Ketua yang terhormat, jelaslah kiranya saudara Ketua bilamana Nahdatul Ulama beserta partai Islam lainnya menuntut hanya dasar Islamlah yang harus dijadikan Dasar Negara kita.”

Islam atau Pancasila?

RUU HIP yang dipaksakan sekarang, mengingatkan saya akan perdebatan keras dalam Sidang Konstituante ketika membahas dasar negara: “Apakah Islam atau Pancasila/UUD 45” (seperti ilustrasi yang dikemukakan di atas). Jalan tengah disepakati berupa voting terhadap pilihan: UUD 45 dengan dimasukkannya kembali Piagam Jakarta atau UUD 45 tanpa Piagam Jakarta. Partai-partai Islam setuju UUD 45 dengan dimasukkan kembali Piagam Jakarta. Partai-partai sekuler mau UUD 45 tanpa Piagam Jakarta.

Voting pertama (29 Mei 1959), dari 470 anggota yang hadir, 201 suara mendukung Piagam Jakarta. Anggota yang menolak sebanyak 265 suara. Absen, 4 suara. Voting dilakukan kembali (30 Mei) dengan hasil: 269 anggota setuju Piagam Jakarta. Anggota yang menolak, 199 suara. Voting kali ketiga (1 Juni), 264 orang anggota setuju dan 204 menolak. Voting kali terakhir, (2 Juni), 263 orang anggota setuju dan 203 menolak.

Maknanya, mayoritas anggota parlemen menyetujui Piagam Jakarta yang berarti, setuju Islam sebagai dasar negara. Namun, UUD yang berlaku waktu itu (UUD 1950) menetapkan, harus 2/3 suara anggota yang hadir setuju. Kedua kubu, Islam dan sekuler, sama-sama tidak mencapai 2/3 suara. Sidang Konstituante ditunda. Kondisi tersebut dimanfaatkan Soekarno (tentu dengan hasutan PNI dan PKI) dengan menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959, membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 45 (dengan dijiwai Piagam Jakarta).

Andaikan, drama tersebut dilakukan kembali di MPR saat ini, inshaa Allah kubu Islam menang. Sebab, di Badan Konstituante waktu itu, ada 39 kursi PKI. Pada pilpres sebelumnya masa reformasi, tidak ada fraksi emak-emak dan alumni 212. Sebelum peristiwa 212, masjid dan mushalla sepi. Sekarang, inshaa Allah, selalu ramai. Pengajian seperti jamur di musim hujan. Muslimah yang berpakaian syar’i ditemukan di mana-mana. Jadi, golongan sekuler di Indonesia, janganlah membangunkan macan yang sedang tidur, tertidur atau yang ditidurkan.

Hal ini dibuktikan dalam Plikada DKI, 2017. Ahok yang didukung Jokowi, kabinetnya, tujuh parpol dan disuplai dana tidak terbatas dari Sembilan Naga, keok juga. Penyebabnya, aqidah Islam. Sebab, menjadikan Pancasila menjadi ekasila, terkategori sebagai perbuatan syirik. Itulah dasar pemikiran, mengapa KH Hasyim As’ari mengeluarkan fatwa jihad melawan penjajah yang akan memurtadkan umat Islam di Indonesia.

PKI Gaya Baru

Tahun 1968, kembali dari berdakwah di pulau Seram, saya ditangkap Koramil Kecamatan Lease, Maluku Tengah. Tuduhannya, mau mendirikan negara Islam. Padahal, saya baru mahasiswa tingkat dua Fakultas Teknik Unhas, Makassar. Pakaian saya dilucuti (tinggal celana dalam) dan penyiksaan dilakukan bertubi-tubi selama kurang lebih dua jam dengan menggunakan palang pintu, langsung oleh Komandan Koramil. Tiga hari disekap di ruang tahanan dalam Benteng Dourstede, kota Saparua, bekas markas tentara Belanda.

Di sinilah pertama kali saya berijtihad untuk shalat tayamum. Sebab, saya hanya dibenarkan keluar tahanan pada pukul enam pagi untuk mandi dan urusan toilet. Ruang tahanan itu berukuran 1,5 x 2 meter, tanpa jendela dan ventilasi. Satu-satunya ventilasi adalah lobang kunci pintu.

Hari keempat, dengan mengenderai motor boat, saya dibawa ke kantor Kodam Pattimura di kota Ambon. Asisten Intel menghubungi mitranya di Kodam Hasanuddin karena mereka tau saya kuliah di kota Angin Mamiri. Saya dibebaskan setelah melalui proses pemeriksaan selama setengah hari. Tidak ada penyiksaan. Bahkan, asisten intelnya minta maaf atas perlakukan bawahannya.

Saya kembali ke kampung, Iha, yang sekarang sudah tidak ada karena kerusuhan tahun 1998 – 2001. Ayah terpaksa menjual sebidang tanah kebun untuk biaya perjalanan dan perkuliahan di Makassar. Maklum, ayah cuma seorang pandai besi.

Sebelum meninggalkan Ambon menuju Makassar, saya diinformasikan oleh orang Kodam Pattimura bahwa, Komandan Koramil yang menangkap dan menganiaya saya, sudah ditangkap. Beliau anggota PKI. Inilah contoh PKI gaya baru.

Tahun 2015, saya diundang Panitia Senior Course satu organisasi mahasiswa Islam untuk menjadi Pemateri. Selesai shalat dzuhur berjamaah di masjid, salah seorang instruktur pelatihan tersebut meminta saya menegur peserta dari Makassar karena mereka tidak mau shalat. “Mengapa?” tanya saya. Para seniornya mendoktrinkan bahwa, tidak perlu shalat. “Mungkin mereka syiah,” sergah saya. “Kalau syiah, mereka juga shalat, meski cuma tiga kali sehari,” bantah anggota panitia lainnya. “Kalau begitu, mereka adalah anggota PKI gaya baru,” respons saya.

Tahun 2005, di salah satu universitas Islam terkemuka, sejumlah mahasiswi demonstrasi melepaskan jilbab. Kawan Penasihat KPK, di kantor, menanyakan pendapat saya mengenai hal tersebut. “PKI gaya baru,” jawab saya spontan. Dugaan saya tersebut semakin kuat ketika terbit buku, “Aku Bangga Jadi Anak PKI.” Bahkan, Penulisnya menjadi anggota legislative. Jadi, ketika muncul RUU HIP, indera keenam saya mengatakan, inilah konsep PKI gaya baru.
Pancasila, Ekasila, dan Astung.

Soekarno memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila. Itulah gotong royong. Maknanya, Pancasila di mana Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai kausa prima terhadap empat sila lainnya, diperas menjadi gotong royong. Berarti, Ketuhanan-nya Soekarno adalah ketuhanan yang berkebudayaan. Aqidah Islam dijadikan bagian dari budaya. Saya lalu mafhum, mengapa Buya Hamka mengatakan, “menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara sama dengan menuju neraka.”

Soeharto mau kalahkan Soekarno dengan menyebut dirinya sebagai penggali Pancasila yang lebih dalam dari budaya Indonesia: Hanacaraka yang dalam sebutan orang Jawa, honocoroko. Lahirlah asas tunggal Pancasila. Ia tidak hanya merupakan dasar negara, tetapi juga asas bagi semua ormas dan orpol. Tidak menggunakan asas Pancasila, dibubarkan. Muncul perlawanan dari Petisi 50. Hak-hak sipil mereka dimutilasi, tak ubahnya yang dialami ulama, tokoh, dan aktivis saat ini.

Bagi Soeharto, menolak asas Pancasila dalam ormas atau parpol, dituduh anti Pancasila dengan tuduhan subversib. Turunannya, diterapkan PMP (Pendidikan Moral Pancasila) di SD sampai SMU. Umat Islam bereaksi. Peristiwa Tanjung Priok (12 September 1984) pun terjadi. Menurut Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak), tidak kurang dari 400 orang tewas dalam tragedi berdarah itu. Lanjutannya, dalam kendali Hendropriyono, seperti dilaporkan majalah Tempo (edisi 18 Februari 1989), sebanyak 246 pengikut Warsidi tewas dibantai secara biadab di Talangsari, Lampung dengan tuduhan mendirikan negara Islam. Pola tersebut berlanjut sampai tahun 1993 yang dikenal dengan peristiwa Haur Koneng.

Teringat saya atas peristiwa penyerangan terhadap pengunjuk rasa oleh aparat keamanan pada peristiwa tanggal 21 – 22 Mei 2019 yang menelan belasan korban nyawa. Persamaannya dengan orde lama dan orde baru, mengeritik Jokowi, sama dengan anti Pancasila/NKRI. Inilah beberapa ilustrasi ketika Pancasila disalahtafsirkan demi memertahankan kekuasaan, baik politik, ekonomi maupun harga diri. mulai dari orde lama, orde baru sampai orde reformasi sekarang.

MUI, NU, Muhammadiyah dan Umat Islam, Menyatu

Pertama kali dalam ingatan saya, inilah pernyataan MUI yang paling tegas, bahkan keras dan menohok jantung pemerintah. Penyebabnya, komunis. Sebab, RUU HIP, bukan sekedar urusan politik dan ekonomi di antara Jokowi dengan lawan politiknya. Bukan pula sekedar pertarungan AS dan China dalam mengendalikan pemerintahan Jokowi. Pertarungan kali ini sudah menyentuh jantung ajaran Islam, aqidah. Ketika umat Islam, pemuda, pelajar, dan mahasiswa bersatu, Soekarno dan Soeharto pun jatuh. Apakah Jokowi akan mengalami hal serupa. Wait and see!

Jika tidak ingin dipenjarakan, Jokowi dengan koalisinya harus menarik RUU tersebut tanpa ada negosiasi atau tawar menawar apa pun. Persoalan selesai? Belum. Sebab, salah satu butir tuntutan MUI, usut siapa inisiator RUU HIP ini. Apakah aparat penegak hukum juga sudah kemasukan anasir PKI gaya baru? Kita tunggu tindakan mereka terhadap kasus ini. Semoga !!!***
Maklumat MUI (12/6/2020)

Baca juga :