BAU AMIS PROYEK RP 5,6 TRILIUN PELATIHAN PRA KERJA


Saya mengenang tahun 2008.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, dan mantan Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi diganjar penghargaan bergengsi Bung Hatta Anti-Corruption Award.

Saat itu, saya masih Direktur Publikasi dan Pendidikan Publik YLBHI. Saya dan rekan semasa wartawan, Edy Can (Tempo, sekarang CNN TV), terlibat dalam tim yang membantu dewan juri menelusuri rekam jejak calon penerima penghargaan. Teten Masduki (salah satu pendiri ICW) ikut juga.

Pak Busyro dan Pak Amien, saya tahu kesehariannya sejak saya meliput di KPK dan Komisi Yudisial. Kijang merah marun Pak Amien yang—maaf—kurang bagus, saya tahu. Dua nama itu memang saya rekomendasikan dari awal sebagai penerima penghargaan.

Ketika itu, Tempo menulis begini:

“Dewan juri menilai mereka sebagai pribadi yang bersih serta bertindak nyata dan efektif dalam membasmi korupsi.”

12 tahun berlalu...

Bu Sri Mulyani jadi Menkeu. Kang Teten jadi Menteri Koperasi dan UKM. Pak Busyro jadi Ketua PP Muhammadiyah bidang Hukum dan HAM. Pak Amien jadi Komisaris Utama PLN.

Saya pikir, sekarang saat yang tepat bagi para penerima penghargaan itu untuk membuktikan apa yang ditulis Tempo di atas.

Bu Sri Mulyani adalah ‘penerbit’ Peraturan Menkeu yang menjadi dasar pencairan dana beli video Rp5,6 triliun. Kang Teten bertanggung jawab atas nasib UMKM.

Keduanya ada di dalam kekuasaan.

Kang Teten sudah berkomentar di media bahwa dana Rp5,6 triliun itu tidak tepat. Tapi kelihatannya, Presiden Jokowi tidak menggubris pendapat mantan Kepala Staf Kepresidenan itu.

Saya lampirkan transkrip pembicaraan Presiden Jokowi saat di Mata Najwa beberapa hari lalu, yang menunjukkan Presiden masih belum mengerti inti dari protes Rp5,6 triliun.

Bu Sri Mulyani, saya tidak dengar ‘gugatan’ dan ‘daya kritisnya’ terhadap potensi bom waktu Rp5,6 triliun itu. Ada apa?

Dalam kesempatan ini saya juga memohon supaya Pak Busyro dan Pak Amien bersuara lantang menentang Rp5,6 triliun itu. Agar tergenapi apa yang ditulis Tempo itu. Agar penghargaan antikorupsi menjadi punya arti.

Sekarang, mungkin, situasi belum berpihak pada kita. Program beli video Rp5,6 triliun yang membonceng nomenklatur “biaya pelatihan” terus berjalan. 7 juta calon peserta mendaftar.

Manajemen Pelaksana, kemarin, menyebar advertorial di media: “Mudah dan Bermanfaat, Inilah Fakta Kartu Prakerja”.


Manajemen Pelaksana, platform digital, bahkan Presiden, sama narasinya, bagai paduan suara.

“Kuasa penuh ada pada konsumen untuk memilih jenis pelatihan.”

Ada alasan dari Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana mengapa insentif Rp600 ribu/bulan tidak ditaruh di depan.

“Insentif diberikan di belakang agar pelatihan tetap dimanfaatkan secara optimal. Jangan sampai peserta hanya mengejar insentif tanpa benar-benar memanfaatkan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas diri. Uang pelatihan sebesar Rp1 juta juga tak bisa dicairkan secara tunai.”

Pikiran paling awam sekali pun akan menangkap ada kehendak yang kuat sekali untuk mempertahankan skema ‘bisnis’ prakerja berwujud TRANSAKSI JUAL-BELI video Rp5,6 triliun melalui platform digital.

Bahkan dengan perkataan Presiden bahwa prakerja saat ini menjadi semi-bansos pun tidak mengubah kebijakan untuk menempatkan insentif Rp600 ribu sebagai ‘prioritas’.

Pokoknya transaksi Rp1 juta harus terjadi. Di depan!

Dalam ilmu politik, ada tiga sifat negara: memaksa, monopoli, dan mencakup semua. Jika prakerja adalah program negara untuk kepentingan orang banyak maka tidak masuk akal alasan bahwa pelatihan tidak akan dioptimalkan jika insentif Rp600 ribu diberikan di depan. Negara punya sifat memaksa.

Tapi Manajemen Pelaksana berpikir seperti layaknya orang berdagang. Jika tidak ada diskon, orang tidak membeli. Jika sudah terima Rp600 ribu, video pelatihan tidak akan laku.

Makin terang, bisnis transaksi Rp1 juta adalah kepentingan segelintir orang yang sedang mati-matian dipertahankan.

Bahkan dengan ‘sekadar’ membalik proses penyalurannya pun mereka terusik. Apalagi jika Rp5,6 triliun itu dihapus alokasinya.

Ada lagi pengakuan terungkap dari Manajemen Pelaksana. Pelatihan daring dasarnya adalah Perpres 36/2020. Sementara prakerja dasarnya Inpres 4/2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.

Semakin terkekeh-kekeh masyarakat membacanya.

Perpres 36/2020 terbit 26 Februari 2020 sebelum COVID-19. Artinya dari awal memang pelatihan harus melalui platform digital. Apapun bentuknya (online/offline), kapan saja dilakukan (sekarang/nanti), siapa saja vendor pelatihannya, transaksinya adalah jual-beli lewat platform digital.

Inpres 4/2020 terbit 20 Maret 2020. Manajemen Pelaksana dibentuk 17 Maret 2020 (sama dengan tanggal perubahan akta terakhir Ruangguru).

Di dalam Inpres 4/2020, Presiden menginstruksikan Menkeu untuk “memfasilitasi proses revisi anggaran secara cepat, sederhana, dan akuntabel.”

Presiden juga menginstruksikan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk melakukan pendampingan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dalam penanganan COVID-19. Suatu hal yang janggal, karena belakangan LKPP menyatakan tidak tahu gagasan program prakerja, tidak tahu alokasinya, tidak tahu jenis pengeluarannya dalam APBN.

Dari kronologi itu tergambar. Program beli video daring adalah ‘harga mati’, ada atau tidak ada korona. Desainnya sudah ada sejak lama, anggarannya sudah diketok sejak sebelum ada korona. Bisa jadi apa yang disebut biaya pelatihan itu jumlah alokasinya lebih dari Rp1 juta, sebelum ada korona.

Ketika ada korona, menurut Presiden sendiri, dalam 1,5 bulan, desain berubah total.

Bukan desainnya yang berubah, dugaan saya, melainkan angkanya turun jadi Rp1 juta. Tapi, transaksi di platform digital tetap terjadi.

Dan itu saja sudah setara Rp5,6 triliun.

Selain masalah kebijakan, ini juga masalah nalar dan kewarasan.

Jangan beralasan lagi soal pentingnya sertifikat. Fakta di lapangan, hanya dengan menyelesaikan 3 dari 5 video, sertifikat bisa keluar. Kompetensi macam apa yang mau direbut dengan model seperti itu, selain sebagai gimmick belaka.

Pemerintah dan Manajemen Pelaksana sebaiknya sadar. Posisi sudah skak-mat.

Tidak ada argumen yang kuat dan masuk akal untuk mempertahankan program beli video Rp5,6 triliun itu. Stop dan rombak total adalah keharusan.

Semakin jauh dilakukan pembenaran, semakin terang masyarakat melihat bangkai di dalamnya.

Salam 5,6 Triliun.

(By Agustinus Edy Kristianto)

Saya mengenang tahun 2008. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, dan mantan...
Dikirim oleh Agustinus Edy Kristianto pada Jumat, 24 April 2020
Baca juga :