STOP! JANGAN JADI AGEN PENYEBARAN VIRUS COVID-19


Virus ini makhluk yang butuh inang. Butuh reservoir untuk hidup. Butuh agen. Butuh nempel di makhluk hidup agar dia bisa eksis.

Maka virus tanpa inang akan mati. Tanpa menempel di inang ia akan selesai. Waktu bertahan tanpa inang berbeda pendapat antar ilmuwan. Rata-rata menyebut 14 hari.

Hanya 15 persen positif Covid-19 ketahuan gejalanya. Mungkin batuk, sesak nafas dan demam. Ini gejala umum, kata orang medis. 85 persen, gak ada tanda-tandanya.

Jika angka positif Covid-19 day to day naik drastis, karena mereka memang tak dikenali gejalanya. Tahu-tahu parah. Dua-tiga hari, pek dan mati. Terutama mereka yang daya tahan tubuhnya (imun) lemah.

Usia 0-40 tahun, umumnya relatif kuat daya tahan tubuhnya. Meski tak menjamin. Di atas usia 40 tahun, rentan. Kenapa petinju disarankan pensiun usia 40 tahun, karena fisik sudah mulai melemah.

Di atas usia 50, 60, 70 tahun, jauh lebih rentan. Ini bicara kondisi secara umum. Artinya, di atas usia 40 tahun mesti lebih waspada. Jaga stamina, hidup sehat dan lebih disiplin lagi.

Usia 0-40 tahun? Tak menjamin fisik anda semuda usia anda. Apalagi jika anda perokok, suka begadang, jarang olah raga, asupan makanan tak bergizi, kerja lelah atau stres, maka akan rentan juga.

Yang sehat? Jangan jadi agen virus. Anda kuat, dan daya tahan tubuh anda bagus, tapi anda membawa virus kemana-mana. Anda menularkan virus ke banyak orang. Diantara mereka mati gara-gara tertular dari anda.

Dosakah? Pasti! Apapun agama anda, itu dosa sosial. Itu dosa kemanusiaan. Karena anda sengaja berkeliaran di luar, berinteraksi dengan banyak orang, bersalaman dan nongkrong yang tak perlu.

Jika kita cinta bangsa ini, jangan menjadi agen virus. Caranya? Stay di rumah. Diem di rumah. Kecuali ada urusan dan kebutuhan super urgent. Itupun mesti dilakukan dengan cara-cara sehat.

Apa cara yang sehat? Jangan bersentuhan dengan orang lain, meski salaman. Jaga jarak 1,5 meter. Upayakan pakai masker. Ini baru betul-betul "Pancasilais dan pro NkRI".

Masker susah dan harganya selangit. Itu ujian bagi bangsa ini. Di saat-saat sulit selalu ada "iblis kapitalis". Bukannya nyumbang, malah cari keuntungan. Berharap pemerintah menertibkan. Lebih baik membagikan dengan gratis. Tidak sekedar janji. Duit dari mana? Pajak rakyat sudah dibayarkan pak!

Cara murah dan paling aman memang stay di rumah. Keluar rumah hanya untuk keperluan yang sangat penting. Tapi, bagaimana dengan para pedagang kecil, uangnya hanya untuk hidup satu-dua hari?

Dilematis! Memang, betul-betul dilematis. Pilih nyawa atau makan? Gak makan, mati juga. Disini pemerintah harus hadir. Sinergi pemerintah pusat dan daerah. Atasi mereka.

Dari mana anggarannya? Dari pagu kegiatan lain. Batalkan, atau setidaknya kurangi anggaran-anggaran untuk kegiatan lain. Perjalanan dinas, studi banding, pembelian kebutuhan yang bisa ditunda tahun depan, hentikan pembangunan infrastruktur, dan seterusnya. Alokasikan dana-dana itu untuk tangani para pasien covid-19 dan dampak ekonominya. Termasuk untuk para perdagang asongan itu.

Gak melanggar aturan? Rubah aturan. Jangan rakyat mati karena kakunya aturan. Aturan dibuat untuk selamatkan dan sejahterakan rakyat. Bukan untuk bunuh rakyat!

Kalau anggaran sudah disiapin, paksa rakyat stay di rumah. Bukan himbauan lagi. Instruksikan! Pemerintah buat aturan dan mekanismenya. Detail, lengkap, jelas dan pastikan tersosialisasikan ke rakyat. Dan yang terpenting, dijalankan!

Hari kemarin (Sabtu, 21/3) sudah 450 terinveksi, 38 mati. Entah besok dan besoknya lagi. Tak banyak waktu bagi pemerintah untuk "istikharah" politik. Itu nanti. Lebih baik lakukan ikhtiar kesehatan. Selamatkan dulu rakyat dengan merumahkan mereka untuk sementara waktu, sehingga tidak menjadi agen penyebaran dan korban covid-19.

(Tony Rosyid)

Baca juga :