KESAKSIAN Pasien Suspect Covid-19: Indonesia Tak Siap Hadapi Corona karena SOMBONG!


[PORTAL-ISLAM.ID]  Seorang pasien suspect covid-19 alias corona membagikan pengalaman dan keresahannya ketika ia memeriksakan diri ke salah satu RS Rujukan di Jakarta.

Melalui akun twitternya, Fachri Muchtar membagikan kisahnya tersebut.
Baru aja semalam gua dinyatakan sama dokter sebagai pasien suspect corona. Gejala yang gua alamin ya demam, batuk, sesak nafas, pilek, sakit tenggorokan sama lemas. FYI gua lagi karantina mandiri di rumah, setelah sebelumnya dirawat di ruang isolasi IGD.

Jadi gua masuk RS tuh kemaren sore, setelah sakit sesak dan batuk gua ga kunjung membaik padahal udh minum obat dokter. Akhirnya gua putuskan buat pergi ke RS Rujukan. Sampe sana langsung masuk IGD buat diperiksa, mulai dari ditanya-tanya, cek darah sampe rontgen paru.

Habis gua rontgent paru, gua dipindahkanlah ke ruang dekontaminasi, itu isinya orang batuk semua. Pokoknya batuk, mau dia terindikasi corona atau enggak digabung disitu. Satu ruangan bisa berisi 4-5 orang dengan ukuran ruangan yang gua kira paling 2x3 meter.

Di ruangan itu, ada 3 pasien tidur di ranjang pasien dan 2 orang duduk di kursi roda karena ga muat.

Nah, setelah nunggu beberapa jam (mungkin sekitar 1-2 jam), gua dikabarkan kalo gua adalah pasien suspect Covid-19 berdasarkan gejala dan riwayat perjalanan gua. Akhirnya gua dipindahkan ke ruang khusus isolasi pasien Covid-19.

Mau tau gimana kondisi ruangannya? ruangan isolasi ini diisi sama 6 orang pasien dengan kriteria sakit beda-beda. Mulai dari yang keliatan sehat sampe yang batuknya sering tuh ada, dicampur di ruang itu. (Baca: Satu Malam "Berkerumun" di Ruang Isolasi RSUD Pasar Minggu...) selengkapnya lu bisa baca berita kompas itu.

Oiya, di ruangan itu cuman ada 3 bed kasur, sedangkan pasiennya ada 6. Jadi terpaksa sebagian harus duduk di kursi roda. Gua sendiri duduk di kursi roda dari di ruang dekontaminasi sampe baru dapat kasur tadi pagi.

Lanjut ya, dari 6 orang tersebut, 2 diantaranya malam itu langsung dirujuk ke RS Rujukan yang lain. Sedangkan sisanya menunggu kamar isolasi rawat inap kosong atau ada RS Rujukan lain yang mau nerima, sedangkan kondisinya semua RS Rujukan tuh penuh.

Akhirnya gua dan 3 orang lainnya cuman bisa saling ngobrol aja sambil nunggu kepastian kapan kita di tes swab (tes corona) dan kepastian ruangan.

Akhirnya, sekitar jam 11 siang kita di tes swab oleh tim dokter. Hasil tes swab baru bisa diketahui paling cepet 3 hari. Lama banget ga tuh? Mangkanya ga heran di mata najwa Gub DKI sama Gub Jabar pengen tes mandiri. Soalnya kalo nunggu pusat lama banget.

Oiya, setelah tes swab kita semua dianjurkan untuk pulang dan karantina mandiri di rumah sambil nunggu hasil. Kalo positif, ya kita bakal dijemput pake ambulans. Ini juga dilakukan karena jumlah ruang isolasi terbatas, sedangkan jumlah pasien suspect dan positif terus nambah.

Tadi gua sempet ngobrol juga sama dokternya, dan dia mengakui kalo Indonesia tuh ga siap ngadapin corona. Sangat gagap bahkan dalam pelayanan medis. Dengan metode tes swab yang kayak sekarang, ga heran kalo banyak yang underdiagnosed.

Kenapa gua bilang banyak yang underdiagnosed (Jumlah angka official jauh lebih kecil dr jumlah kasus real di lapangan) ? ya karena ga semua orang bisa ngecek dan mau ngecek. Fasilitas kita masih sangat terbatas, bahkan petugas medis yang nanganin pasien aja gabisa tes swab.

Kenapa sih ini semua bisa terjadi? ya karena Indonesia tuh SOMBONG! Sangat meremehkan virus ini ketika pertama kali muncul di Wuhan. Alih-alih mempersiapkan dengan serius, kita malah jadikan bahan bercandaan dan menantang riset havard yang bilang virus ini sudah ada di Indonesia.

Pada awal-awal virus ini muncul, kita lebih memilih buat bayar influencer 72M dan kasih diskon pesawat. Disaat negara lain serius memandang corona, negara ini malah meremehkan. Jangan heran kalo sekarang kita gagap menangani ini. Karena kita ga siap!

Bahkan ketika Covid-19 sudah mulai mewabah di Indonesia, Menkes kita masih sempat-sempatnya mengedepankan hal simbolik, seperti pengangkatan Duta Imunitas Corona Sejati, daripada konkret membenahi masalah pelayanan kesehatan kita.

Sekedar informasi, pelayanan kesehatan kita buat mengatasi Covid-19 masih belum siap. Di Indonesia, anda bisa tes corona adalah sebuah privilege, karena ga semua orang bisa tes! Kenapa sih gua bilang privilege?

Ya karena kalo lu ga pernah keluar negeri/kontak dengan pasien positif besar kemungkinan ga bakal di cek. Tapi walaupun begitu, RS RS Rujukan tetap aja kewalahan menangani jumlah suspect dan pasien positif. Padahal, mungkin banyak dari kita yang gatau apakah pernah berpapasan....

....atau berada di lokasi yang sama dengan pasien positif karena data yang ga terbuka dengan jelas. Beda dengan singapura yang kita bisa tau riwayat perjalanan si pasien. So far petanya cuman menerangkan lokasi asal dari pasien dan suspect.

Akhirnya banyak orang juga yang gak aware buat meriksa, padahal meriksa itu penting dan semakin banyak sampel semakin mendekati keakuratan. Selain itu, juga kemenkes harus mengizinkan daerah buat melakukan pengetesan sendiri, untuk memotong waktu.

Malah kalo bisa kayak di korea selatan, bisa ngecek via drive thru. Dengan pembukaan data dan pengecekan yang lebih massif, justru membuat rakyat lebih siap daripada dengan sikap kayak sekarang dengan dalih biar rakyat ga panik. Justru rakyat panik karena ketidakpastian data.

Setelah gua melihat bagaimana ketidaksiapan pelayanan kesehatan kita yang dikomandoi oleh kemenkes. Gua semakin resah ketika melihat sosial media, Isu corona ini ternyata masih belum menjadi isu yang menyatukan kita. Bahkan kita masih terpolarisasi secara politik!

Bayangin, di isu yang seharusnya kita bersatu untuk melawannya karena terkait dengan kemanusiaan. Masih ada akun-akun yang menggunakan isu ini untuk kepentingan politik. Seharusnya kita mendukung segala bentuk kebijakan yang dilakukan oleh kelompok manapun....

..... dalam rangka melawan corona dan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang ngaco. Bukan memperdebatkan satu kebijakan yang tepat dan menyerang dari sisi personal. Bukan pula melindungi kesalahan pemerintah dari kritik-kritik yang ada.

Persoalan tentang corona tidak berhenti di sana. Tapi bagaimana kita mengedukasi masyarakat kelas menengah kebawah agar sadar dengan isu ini. Karena bagi mereka, kepastian untuk hidup di hari esok lebih menakutkan dibandingkan Covid-19.

Padahal kelompok kelas mengeah kebawah ini lah yang menjadi kelompok paling rentan apabila positif terinfeksi Covid-19. Bagi orang kaya, mereka bisa mengisolasi diri di salah satu kamar di rumahnya. Bagaimana dengan keluarga yang makan, tidur, kumpul di ruangan yang sama?

Tentunya lebih berisiko karena mereka gada ruang untuk isolasi mandiri. Apalagi lingkungan pemukiman mereka juga padat penduduk. Gak jarang mereka juga tinggal di gang senggol. That's why gua bilang kelompok menengah kebawah ini adalah kelompok yang sangat rentan.

Kelompok menengah kebawah ini juga kadang gak aware dengan kesehatannya dan isu covid-19 ini. Kalo mereka merasakan gejala, ya mereka ga bakal periksa paling cuman bakal bilang "ah paling masuk angin". Bayangin aja, penyebaran virus bakal lebih sulit kedeteksi.

Beda banget dengan kelas menengah yang mungkin akan meriksain kesehatan mereka, karena mereka punya kesadaran dan terpapar informasi yang cukup. Mangkanya #GerakanSosialDistancing tuh perlu banget buat mencegah hal begini!! tapi tentu prakteknya ga semudah itu.

#GerakanSosialDistancing dan gerakan #dirumahaja emang bagus banget. Tapi jangan menghakimi mereka yang tetep pergi kerja hari ini. Karena ada diantara mereka yang dapat penghasilannya harian, kalo gak kerja artinya gada penghasilan . Sebagian lagi terpaksa bekerja....

....karena kapitalisme tidak peduli dengan wabah pandemi seperti corona, yang penting cuan aman. Mangkanya butuh intervensi lebih dari pemerintah pusat dan daerah buat atasin masalah ini. Karena social distance ga bakal berjalan sesuai harapan.

Buktinya ya membludaknya penumpang MRT dan TJ ketika pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan armada.

Nah, Kunci untuk memaksimalkan #GerakanSosialDistancing ya dengan memaksa pemerintah untuk melakukan lockdown/isolasi. Kuncinya ada di pak @jokowi karena masalah lockdown ini sepenuhnya wewenang pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah.

Hal ini sesuai dengan amanat UU No.6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan. Di pasal 55 disebutkan bahwa pemerintah pusat yang memiliki wewenang untuk melakukan karantina wilayah (lockdown) dan wajib memenuhi kebutuhan penduduknya.

Cuman masalahnya, sampai hari ini UU tersebut ga punya PP sebagai peraturan turunan. Ayo kita colek pak @jokowi buat segera memutuskan dan membuat PP terkait karantina wilayah. Sudah dua tahun lho pak sejak Bapak tanda tangani. hehehe

Akan tetapi, lockdown punya konsekuensi yakni matinya kegiatan ekonomi. Mangkanya pemerintah harus memberikan jaminan dan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha. Tapi ini worth it kok untuk mencegah menyebarnya Covid-19, sebelum menjadi outbreak.

Selain itu, pemerintah juga harus menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Supply makanan dan bahan pokok jangan sampai putus. Pemerintah juga harus menangguhkan pembayaran segala bentuk kredit jika bisa. Tapi ingat, ga semua warga Indonesia itu rumahnya nyicil.

Malah banyak juga rakyat Indonesia yang rumahnya masih kontrak. Ini juga menjadi PR ketika diberlakukan lockdown.

Kalo pertambahan pasien corona terus meningkat dan respon pemerintah masih lamban, dan dunia usaha juga enggak memberlakukan Work From Home, mungkin kita perlu gerakan digital yang lebih massif lagi. Agar pemerintah lebih serius menangani wabah Covid-19 ini. Gak hanya gimmick!!!

Thank you buat kalian yang udah mau baca thread gua yang panjang ini. Terima kasih juga atas doa doa baik kalian. Semoga Allah Swt membalas doa baik kalian. Oiya, kalo ada yang mau diskusi soal Covid-19. Jangan sungkan yaaa untuk langsung reply atau DM. GBU!

Oiya, gua melakukan pengetesan ini atas inisiatif pribadi, Karena bagi gua, disaat respon negara yang lama. Kita sebagai warga negara harus pro-aktif. Gua gamau tanpa disadari menjadi penyebar Virus Covid-19. Kalo gua positif, ya pada akhirnya gua bisa tracing....

....dan melindungi orang-orang disekitar gua dengan gua isolasi dan menyuruh mereka cek juga. Akhirnya makin banyak kan yang di cek, dan makin bagus. Kalo pun negatif ya alhamdulillah.

Alasan gua buat thread ini juga ya biar orang-orang waspada sih dan gua pengen nunjukin, bahwa menjadi suspect Covid-19 bukanlah sebuah aib. Kita harus melawan stigma. Mungkin next time, kalo gua positif gua bakal bagiin riwayat perjalanan gua.

Biar semakin banyak yang aware, waspada dan akhirnya mau meriksain dirinya.

Ada hal yang perlu saya garis bawahi, agar tidak salah paham dengan thread saya di atas. 1. Saya tidak bermaksud untuk menyudutkan pihak RS tempat saya di isolasi. Saya membeberkan itu untuk memberikan gambaran bagaimana belum siapnya fasilitas kesehatan kita menghadapi Covid-19.

Sekaligus menunjukan betapa rentannya tenaga medis kita, karena mereka sendiri belum bisa tes swab. Pihak RS tentu sudah mencapai batasannya, karena sulit menambah ruang isolasi mendadak disaat jumlah pasien meningkat.

Mangkanya diperlukan intervensi dari pemerintah pusat dan daerah untuk sama-sama membangun fasilitas kesehatan yang siap menangani Covid-19 ini. Jangan sampai keterbatasan lapangan ini didiamkan.

2. Bukan bermaksud untuk menyalahkan pak jokowi. Tapi memang beberapa kebijakan hanya beliau yang bisa keluarkan, sesuai amanat UU. Seperti kebijakan lockdown dan tentu ada konsekuensi yang harus dipenuhi jika lockdown dilaksanakan seperti yang telah saya jelaskan di atas.

Pemerintah daerah juga bukan berarti pasif. Sudah seharusnya pemda lebih proaktif dalam beberapa hal, misalnya proaktif untuk mengajukan tes di daerahnya seperti DKI dan Jabar, atau bisa juga proaktif meningkatkan kualitas pelayanan di lapangan....

...dan mengusulkan daftar RS Rujukan tambahan di wilayahnya ke kemenkes. 3. Jangan enggan untuk memeriksakan diri mu. Dengan banyak yang ketauan statusnya, makan akan lebih mudah melakukan tracing penyebaran Covid-19 di masyarakat.
Baca juga :