COVID-19 di Indonesia: Masih Puncak dari Gunung Es (23 Mar)


[PORTAL-ISLAM.ID] UPDATE kasus covid-19 di Indonesia per Senin 23 Maret 2020: 579 positif corona, 49 meninggal, 30 sembuh.

Berikut ini tulisan Septian Hartono di akun fbnya. Beliau Assistant Professor di Duke-NUS Medical School, Medical Physicist di National Neuroscience Institute, tinggal di Singapura.

Menurut analisanya: Perlu kebijakan lebih drastis dengan Karantina (lockdown) wilayah Jabodetabek sebagai wuhan-nya Indonesia!

Simak selengkapnya:

COVID-19 di Indonesia: Masih Puncak dari Gunung Es (23 Mar)

Untuk menghadapi suatu persoalan, sangatlah penting memiliki perspektif yang tepat terhadapnya. Dalam hal ini, perspektif yang tepat adalah perang. Kita sedang berada dalam perang sekarang.

Siapa musuh kita dalam perang ini?

Virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit COVID-19.

Bagaimana karakter musuh ini?

Tidak terlihat dan sangat, sangat mudah menular lewat cairan pernapasan. Penyakit akibat virus ini secara umum gejalanya tidak berat bagi orang muda (walau tentunya ada pengecualiannya!), namun mematikan bagi orang tua atau orang dengan imunitas yang compromised.

Summary dalam 4 kata: “Muda menulari, tua mati.” (Ainun Najib)

Dengan kata lain, hayati bahwa perang ini adalah untuk melindungi orang-orang yang tua dan lemah. Camkan hal ini baik-baik.

Apa masalah utama dari perang melawan musuh ini di Indonesia?

Masalahnya adalah virus ini dibiarkan tidak terdeteksi selama lebih dari sebulan di Indonesia, dengan keyakinan bahwa COVID-19 adalah penyakit yang akan sembuh sendiri dan karena itu yang terpenting adalah menjaga imunitas tubuh.

Pemahaman ini sangat menyesatkan karena yang berbahaya dari wabah ini bukan hanya soal tingkat kesembuhan/kematiannya tapi penularannya. Kenyataan bahwa 20% dari pasien akan mengalami gejala serius dan butuh dirawat di RS menunjukkan kalau penyakit ini tidak bisa diremehkan, belum lagi bahwa 5% dari seluruh pasien perlu dirawat di ICU. Jika terlalu banyak orang yang tertular virus ini pada waktu yang bersamaan, sistem kesehatan publik akan kolaps dengan begitu banyaknya orang yang membutuhkan perawatan di RS.

Awalnya mungkin wabah ini masih bisa dianggap "tidak ada" karena yang terkena masih sedikit, namun lama-kelamaan strategi seperti ini akan runtuh juga, simply karena pertumbuhan kasusnya sifatnya eksponensial dan akan segera memenuhi RS-RS, seperti yang sudah terjadi di Indonesia sekarang dimana RS-RS di berbagai kota sudah kewalahan menghadapi membludaknya pasien dengan gejala COVID-19.

Apa akibatnya?

Per 23 Maret, Indonesia memiliki tingkat kematian akibat COVID-19 yang sangat tinggi, yaitu 49 kematian / 579 kasus = 8,46%. Situasi Indonesia sekarang bahkan lebih parah dari Iran di akhir bulan Februari (43 kematian / 593 kasus per 29 Feb). Tidak sulit untuk membayangkan kondisi Indonesia dalam 3 minggu ke depan jika belum ada perubahan kebijakan yang signifikan: Lihat saja Italia saat ini (5.476 kematian / 59.138 kasus = 9,26%).

Tingkat kematian yang sangat tinggi di Indonesia tidak berarti bahwa virus ini tiba-tiba menjadi jauh lebih ganas di Indonesia. Hal ini menandai bahwa masih ada jauh lebih banyak kasus-kasus dengan gejala ringan yang BELUM TERDETEKSI.

Jumlah kasus COVID-19 yang sudah terkonfirmasi di Indonesia masih hanyalah puncak dari gunung es. COVID-19 di Indonesia masih severely underdetected, undertested, underdiagnosed and underreported.

Namun, kasus-kasus yang belum terdeteksi ini tidak bisa dibiarkan begitu saja berkeliaran dimana-mana, karena, lagi-lagi, yang paling berbahaya dari wabah ini adalah penularannya. Jika kasus-kasus ini tidak ditemukan dan diisolasi, maka mereka akan terus menularkan kepada orang-orang di sekitar mereka dan wabah ini akan terus berlipat ganda.

Bagaimana menemukan kasus-kasus ini?

Jadi begini. Kalau Indonesia masih berada dalam fase dimana sebagian besar kasus yang ada sekarang masih bisa ditelusuri jalur penularannya ke kasus-kasus sebelumnya, maka caranya adalah contact tracing yang sangat agresif seperti yang dilakukan oleh Singapura.

Namun Indonesia tidak berada dalam fase ini lagi. Sebagian besar dari kasus-kasus ini sudah merupakan kasus independen yang tidak terhubung dengan kasus-kasus lainnya. Sudah ada penularan lokal dengan skala yang luas di Jabodetabek dan skala yang lebih kecil namun cukup signifikan di kota-kota besar lainnya di pulau Jawa (Bandung, Solo, Surabaya, Malang).

Karena itu, contact tracing sudah tidak cukup lagi dalam konteks Indonesia (bukan tidak perlu, tapi tidak cukup). Perlu ada usaha yang jauh lebih agresif lagi untuk menemukan kasus-kasus yang tidak terdeteksi ini, yang terkait dengan faktor kedua: undertested.

Jumlah sampel yang dites oleh Kemenkes dan sudah ada hasilnya sampai tanggal 23 Maret adalah sebanyak 2.483 sampel. Dengan demikian, rasio antara jumlah kasus positif dibanding jumlah sampel yang dites adalah 579/2.483 = 23,32%. Rasio ini sangat tinggi, yaitu 1 dari 4 sampel itu positif, yang menandai bahwa kriteria testingnya terlalu sempit / kapasitas testingnya terlalu kecil / keduanya.

Sebagai perbandingan, gold standard nya adalah Korsel. Rasio antara jumlah kasus positif dibanding jumlah sampel yang dites oleh Korsel dan sudah ada hasilnya sampai tanggal 23 Maret adalah sebanyak 8.961/324.408 = 2,76% ! Hanya 1 dari 36 sampel di Korsel yang positif, yang menunjukkan bagaimana agresifnya Korsel di dalam melakukan testing.

Hanya dengan testing yang sangat agresif seperti inilah kita dapat menemukan dan mengisolasi kasus-kasus yang tidak terdeteksi selama ini. Dengan cara itulah Korsel berhasil membengkokkan kurva wabah mereka dari fase eksponensial kembali menjadi fase linear (eksponensial: tidak terkendali, linear: terkendali).

Namun kenyataan yang kita hadapi adalah jumlah tes hariannya masih sangat sedikit (rata-rata hanya sekitar 200 sampel/hari selama 6 hari terakhir; rasio positive ratenya bahkan lebih tinggi lagi dalam periode ini: 407/1.228 = 33,14%, i.e., 1 dari 3 sampel itu positif!) dan waktu pemeriksaannya masih terlalu lama, yang dapat dilihat dari banyaknya pasien-pasien yang masih berstatus PDP dan sudah meninggal dunia terlebih dahulu bahkan sebelum mengetahui hasil tes mereka.

Apa masalahnya jika kapasitas testing kita terbatas?

Masalahnya adalah jumlah kasus yang belum terdeteksi ini terus bertumbuh secara eksponensial, bukan linear. Bedanya begini.

Linear itu, jika dari 1 kasus menjadi 2 kasus membutuhkan waktu 1 hari, maka dari 1.000 kasus menjadi 2.000 kasus membutuhkan waktu 1.000 hari.

Sementara eksponensial itu, jika dari 1 kasus menjadi 2 kasus membutuhkan waktu 1 hari, maka dari 1.000 kasus menjadi 2.000 kasus juga membutuhkan waktu 1 hari saja.

Dengan kata lain, sekarang saja kita itu masih mengejar ketinggalan akibat tidak mendeteksi wabah ini selama lebih dari 1 bulan. Karena itu, jika kapasitas testingnya juga terbatas, semakin lama malah semakin jauh ketinggalannya!

Seperti apa?

Anggaplah sekarang jumlah kasus sebenarnya itu 5.000 (skala jumlah kasus sebenarnya di Indonesia sekarang definitely sudah ribuan - model lain bahkan memprediksikan bahwa skalanya bisa mencapai puluhan ribu sekarang seperti tautan berikut).

Dari 5.000 kasus ini, sudah 579 yang terisolasi, jadi sisanya 4.400an yang masih belum terdeteksi.

Dari 4.400 ini, jika kita hanya bisa menemukan dan mengisolasi 100 kasus per hari, maka ada 4.300 yang berpotensi menularkan hari itu. Dengan asumsi tingkat pertumbuhan harian kasusnya itu 20% (yaitu, doubling time-nya tiap 4 hari), maka dari 4.300 ini akan menjadi 5.160 kasus besoknya (+860).

Dengan kata lain, jumlah pertumbuhan harian kasusnya (860) jauh melampaui jumlah kasus yang dapat kita temukan hari itu (100). Hari ini kita memiliki 4.400 kasus yang belum terdeteksi, besok jumlahnya sudah menjadi 5.160, dan begitu seterusnya. Alih-alih berkurang, jumlah kasus yang belum terdeteksinya justru semakin bertambah!

Bagaimana dengan rencana tes masif?

Ini sudah kemajuan dan cukup membantu, tapi tidak ideal, karena tes masifnya menggunakan rapid test yang berbasis antibodi dan rentan terhadap hasil false negative (seharusnya positif tapi hasilnya negatif), dimana setiap orang yang diperiksa dan hasilnya negatif perlu diperiksa ulang kembali beberapa hari kemudian untuk mendapatkan hasil yang definitif. Jadi, untuk sebagian kasus memang akan lebih cepat hasilnya, tapi untuk sebagian lainnya tetap membutuhkan waktu berhari-hari.

Idealnya memang seperti Korsel, yang melakukan tes masif dengan PCR. Di sisi lain, saya juga menyadari bahwa Indonesia tidak memiliki infrastruktur yang cukup untuk melakukan hal ini, baik itu labnya maupun sumber daya manusianya. Mungkin kita tidak bisa melakukan tes PCR sebanyak 10.000-15.000 sampel/hari seperti Korsel, namun menurut saya Kemenkes masih bisa push kapasitas testing PCR-nya lebih lagi sampai batasnya sebisa mungkin. 200 sampel/hari itu sangat, sangat kecil.

Selain itu, cara lain untuk mempercepat proses diagnosanya adalah dengan menggunakan kriteria klinis + imaging (CT/X-ray), seperti yang sempat digunakan di Wuhan/Hubei ketika mereka juga sedang back log proses testing parah-parahnya. Dalam situasi genting seperti ini, lebih baik false positive (seharusnya negatif tapi dinyatakan positif) daripada terlalu ketat memastikan yang positif yang mana. Speed really matters here. Semakin lama proses konfirmasi diagnosanya, semakin panjang pula waktu yang terbuang yang seharusnya bisa digunakan untuk menghubungi dan mengisolasi kontak erat kasus-kasus ini.

Dengan segala keterbatasan ini, apakah Indonesia basically hanya bisa pasrah saja dan menerima kenyataan bahwa jutaan penduduknya akan meninggal dunia akibat wabah ini? Apa yang kita bisa lakukan sebagai warga?

Di sinilah pentingnya social/physical distancing, mengingat karakter lain dari wabah ini yaitu penularannya dari orang ke orang lewat cairan pernapasannya, baik itu secara langsung ketika misalnya kita bercakap-cakap dengan orang yang sudah terinfeksi atau ketika kita menyentuh permukaan dengan cairan tersebut.

Dengan kata lain, jika semua orang diam di rumah saja, maka pertumbuhan wabah ini akan langsung melambat drastis, karena semua kasus-kasus yang belum terdeteksi ini menjadi tidak bisa menularkan ke orang lain (kecuali di rumah sendiri). Selain itu, kasus-kasus dengan gejala ringan juga bisa memulihkan dirinya sendiri di rumah.

Inilah yang dimaksud dengan flatten the curve / melandaikan kurva, yaitu usaha untuk memperlambat pertumbuhan wabah ini sebisa mungkin supaya tenaga medis kita bisa menangani pasien-pasien yang ada dengan lebih baik dan pihak yang berwenang juga bisa mengejar ketertinggalan mereka dalam menemukan dan mengisolasi begitu banyak kasus-kasus lainnya yang belum terdeteksi ini.

Masalahnya adalah, social distancing sukarela dan diam di rumah sebisa mungkin seperti ini sangat sulit untuk direalisasikan, karena masih banyak orang yang perlu pergi keluar rumah untuk mencari nafkah dsb, yang sangat dapat dimengerti. Jumlah orang yang masih perlu keluar rumah jauh lebih tinggi dari orang yang sudah diam di rumah. Misalnya, alih-alih bertumbuh 20% per hari, berkurangnya hanya menjadi 15% per hari. Sudah berkurang, memang, namun masih belum cukup rendah untuk pihak berwenang supaya dapat mengejar ketertinggalannya.

LOCKDOWN

Di sinilah perlunya kebijakan yang lebih drastis. Dari sebaran kasus sekarang, sebenarnya kita sudah tahu dimana pusat penyebaran wabah COVID-19 di Indonesia: Jakarta. Anggap saja Jakarta itu adalah Wuhan-nya dan Jabodetabek sebagai Hubei-nya. Karantina wilayah Jabodetabek dulu saja, tidak perlu lock down seluruh Indonesia. Setelah itu, bisa diikuti oleh karantina wilayah kota-kota lain yang juga sudah menjadi pusat penularan sekunder seperti Bandung, Solo, Surabaya dan Malang jika penyebaran di sana juga semakin tidak terkendali.

Karantina wilayah/lock down memastikan apa yang ingin dicapai oleh social distancing: memberikan waktu bagi pihak yang bewenang untuk bisa melakukan testing, isolasi kasus dan contact tracing yang agresif sementara semua orang tidak bisa kemana-mana di rumah saja sampai wabahnya sudah lebih terkendali.

Karantina wilayah itu adalah sebuah keniscayaan jika outbreaknya sudah terjadi dan kita tidak bisa melakukan tes masif dengan PCR seperti Korsel sejumlah puluhan ribu sampel/hari. Jadi pertanyaannya bukan soal perlu karantina wilayah atau tidak, namun soal kapannya. Lebih cepat, lebih baik.

Sementara itu, saya memohon kepada Anda sekalian terutama yang tinggal di Jabodetabek, diam di rumah dulu saja sebisa mungkin, terutama Anda yang memang memiliki privilese untuk diam di rumah, supaya orang-orang yang keluar rumah memang hanyalah mereka yang perlu keluar rumah demi penghidupan mereka.

Jika Anda adalah seorang pengusaha yang berkecukupan, please, liburkan usaha Anda untuk sementara, namun tetap berikan nafkah kepada karyawan-karyawan Anda. Merugilah untuk sementara sebisa Anda.

Jika Anda adalah pemimpin gereja, tutup gereja Anda dan hentikan segala kegiatan untuk sementara. Tidak ada pengecualian. Sudah banyak kasus yang terkena di atau lewat acara gereja, sama seperti pengalaman di Singapura.

Selain itu, mari kita berupaya bagaimana dapat mendukung tenaga medis kita dengan berbagai kebutuhan seperti alat pelindung diri (APD), masker, ventilator, dsb. Mereka adalah prajurit-prajurit kita di lini depan. Jangan biarkan mereka bertempur tanpa alat yang memadai layaknya misi bunuh diri. Sudah ada beberapa tenaga medis yang meninggal dunia akibat terinfeksi dari pasiennya sendiri. Jangan biarkan jumlah ini bertambah lagi. Cukup sampai di sini saja

Pada dasarnya, bagaimana kita meresponi wabah ini merefleksikan tanggung jawab sosial kita sebagai anggota masyarakat, yaitu bagaimana kita melindungi orang-orang yang lebih rentan di antara kita. Sekian.

Singapura, 23 Maret 2020
Jumlah kasus: 509
Sembuh: 152
Aktif: 355 (kritis: 15)
Meninggal dunia: 2

(Sumber: fb penulis)

COVID-19 di Indonesia: Masih Puncak dari Gunung Es (23 Mar) Untuk menghadapi suatu persoalan, sangatlah penting...
Dikirim oleh Septian Hartono pada Senin, 23 Maret 2020
Baca juga :