ADAT MINANGKABAU LEBIH MEMULIAKAN WANITA DARI PADA KONTES PUTERI INDONESIA
Oleh: Anton Permana, Datuak Hitam
(Niniak Mamak Nagori Koto Nan Ompek Kota Payokumbuah - Sumbar)
Terkesan judul tulisan di atas sombong dan tinggi hati. Tetapi hal ini mesti penulis sampaikan agar ada pemahaman yang benar terkait status sosial perempuan dalam kaca mata adat Minangkabau dengan kaca mata (cara pandang barat) yang termanifestasikan kedalam bentuk kontes-kontes kewanitaan seperti salah satunya kontes putri Indonesia yang sudah berjalan puluhan tahun.
Bermula dari kisruh nominasi pemilihan puteri indonesia 2020 dimana dalam salah satu sequelnya menampilkan wawancara salah satu peserta yang ‘katanya’ mewakili provinsi Sumatera Barat bernama lengkap Louise Kalista Wilson Iskandar berasal dari Bukittinggi blasteran china dan Amerika.
Ada adegan tanya jawab yang pas kebetulan ketika ketua MPR RI Bambang Soesatio bertanya kepada Kalista untuk menyebutkan Pancasila secara utuh. Disinilah semua berawal, karena ternyata Kalista tidak hafal Pancasila. Dan hanya betul menyebutkan sila pertama, kedua, dan ketiga. Ketika menyebutkan sila ke empat dan kelima langsung belepotan tak jelas. Sontak insiden ini mendapat respon sorak sorai dari hadirin di tempat acara. Berbagai macam teriakan bernada cemoohan jelas terdengar di televisi.
Dan ternyata, insiden nominator 6 besar pemilihan puteri Indonesia ini berlanjut terus sampai keluar ruangan dan sosial media. Yang paling gregetan dan heboh itu adalah respon dari netizen yang berasal dari Sumatera Barat. Tentu insiden ini dianggap mencoreng dan memalukan daerah Sumatera Barat yang beliau wakili. Dan persolan ini terus bergulir bak bola salju sampai terbongkarlah ternyata Kalista ini adalah blasteran tidak original orang Minangkabau apalagi ditambah beliau bukan Islam.
Melihat kurenah netizen yang beragam tentang pro dan kontra status Kalista yang dianggap sebahagian besar orang Minang tidak layak, tidak cocok, tidak pantas, seolah tak ada lagi perempuan Minang yang lain.
Sampai Wagub Sumbar juga menyayangkan hal ini terjadi. Sehingga membuat malu Sumbar yang terkenal kuat adat dan agamanya. Lalu kita mau salahkan siapa? Panitia? Yang rekrut? Yang beri rekomendasi? Personality-nya? Atau bisa justru acara dan kegiatan ini?
Dari pada kita berdebat tentang beberapa pertanyaan diatas. Lebih baik, penulis mengajak kita semua fokus membahas tentang status antara perempuan Minangkabau dengan status perempuan dalam kaca mata kontestasi puteri Indonesia diatas sebagai berikut ;
1. Dalam adat dan budaya Minangkabau, pondasi dasarnya adalah Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah. Syarak Mangato Adat Mamakai. Artinya ; Apapun bentuk adat budaya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau harus tunduk kepada tuntunan Agama. Ini adalah prinsip utama (akidah) orang Minangkabau.
2. Perempuan dalam adat Minangkabau adalah satu-satunya yang mengatur kemuliaan seorang perempuan begitu paripurna. Jadi kemuliaan seorang perempuan Minangkabau sudah didapatkannya sejak si perempuan lahir di dunia. Yaitu berupa soko, pusako, yang diturunkan secara garis keturunan ibu untuk ‘hak pakai’ selama mereka hidup.
3. Bedakan dengan kontes puteri Indonesia, yang hanya dimuliakan kalau menjadi nominator dan pemenang puteri Indonesia. Itupun berlaku hanya satu tahun sampai ada lagi nominator tahun selanjutnya. Karena event puteri Indonesia ini dilaksanakan satu kali dalam satu tahun.
4. Perempuan dalam Minangkabau ibarat limpapeh rumah gadang. Kalau dalam kedudukan kaum dan suku adalah Bundo Kanduang yang mempunyai hak ‘penguasaan’ atas harta pusaka tinggi kaum. Untuk siapa yang akan jadi Datuak (kepala kaum) juga diambil dari rahim perempuan Minangkabau. Jadi perempuan Minangkabau itu ibarat komisaris dalam sebuah perusahaan.
Lalu bagaimana posisi lelaki ? Posisi lelaki (tungganai) dalam adat Minangkabau hanya sebagai pengelola dan penjaga kehormatan kaum dan suku. Dan lelaki Minangkabau itu ibarat direksi dalam perusahaan.
Bayangkan betapa kaya rayanya perempuan Minangkabau. Sedari dulu dari sejak nenek moyang mereka sudah dibekali dengan harta pusaka tinggi berupa sawah, ladang, kolam, kebun, dan rumah gadang sebagai identitas suku.
Bedakan dengan puteri Indonesia yang hanya mendapatkan fasilitas itu hanya dalam waktu satu tahun.
5. Dalam tatanan adat Minangkabau sangat menjaga kehormatan perempuannya. Kalau belum menikah ada mamak yang menjaganya. Secara kaum ada dubalang yang mengamankannya. Dan kalau sudah menikahpun, ada para tungganai bahkan tambah lagi ‘induak bako’ (keluarga dari ayah) yang menjaga anak kemenakan perempuan Minangkabau.
Jangankan belum menikah, sudah menikahpun secara halus adat juga masih memberikan ‘perangkat lunak’ adat berupa gelar dan tata cara kedudukan (komunikasi) sebagai “sumando” dalam kaum. Diaman sumando inipun dibagi menjadi empat yaitu ; sumando niniak mamak, sumando lapiak buruak, sumando lango hijau, dan sumando kacang miang. Dimana tingkatan sosial sumando ini tergantung kepada prilaku dari sumando itu sendiri. Tergantung kepada baik atau buruknya prilaku sumando.
Makanya jangan coba ganggu dan permainkan perempuan Minang. Karena akan mengalami banyak masalah dan ribet. Karena perempuan Minang tidak akan pernah gentar dan takut kalau di tinggalkan oleh suami yang kurang baik. Sistem adat sudah menyiapkan langkah langkah antisipasinya. Artinya ; secara adat tak akan ada perempuan Minang akan terlantar dan miskin. Kalau adat dan budayanya di kampung masih dijalankan.
6. Dalam adat Minangkabau, tidak perlu eksploitasi aurat tubuh wanita, lenggak lenggok diatas catwalk agar terpilih dan menang kontes selanjutnya dapat mahkota kemuliaan. Setelah dapat mahkota kemuliaan atau peran duta wisata, duta narkoba, atau apalah namanya. Syukur kalau ada produsen iklan yang lirik baru dapat tambahan honor. Denikianlah ritme dan sirkulasi karier seorang puteri Indonesia.
Beda dengan pola adat Minangkabau. Perempuan Minangkabau sedari kecil sudah dididik dalam ikatan adat yang kuat. Makanya tak heran lahir tokoh-tokoh wanita hebat dari Minangkabau seperti Rohana Kudus, Rasuna Said, Siti Manggopoh, Siti Rahmah yang berkiprah sesuai bidangnya yang kala itu masih dianggap tabu oleh perempuan lain di Indonesia.
Para tokoh hebat asal Minangkabau itu tak perlu lenggak lenggok dan pamer aurat diatas catwalk. Bagi mereka adab, prilaku, kecerdasan, integritas, dan kinerja lebih utama dari pada eksploitasi fisik.
7. Perempuan Minangkabau sejati, pasti tidak akan mau ikut apapun bentuk kontestasi perempuan yang berbasis eksploitasi aurat. Karena, secara agama tentu hal ini sudah haram dilakukan. Dan secara budaya ; perempuan Minangkabau dari dulu sudah terlatih menghadapi agenda liberalisme dan sekulerisme seperti ini. Para perempuan Minangkabau akan tahu ‘alun takileh lah takalam’ bahwasanya ajang puteru Indonesia ini tak lebih dari agenda perang budaya kelompok sekuler untuk mencabut akar budaya bangsa ini dari akarnya.
Dan penulis yakin, keterwakilan Kalista Iskandar ini dari Sumbar semua sudah by design agar muncul stigma atau framing wajah Kalista sebagai ikon Sumbar yang baru. Jadi wajar kejadian ini membuat masyarakat Sumbar marah dan bereaksi keras.
Jadi menurut hemat penulis, tak perlu lagi kita permasalahkan Kalista tak hafal Pancasila. Karena yang lebih penting itu adalah kita meminta dan menghimbau kedepan kalau perlu tak ada lagi utusan dari Sumatera Barat untuk kontes yang menurut penulis sudah banyak lari dari agenda budaya sebelumnya.
Kontes puteri Indonesia hari ini bukan lagi kontes budaya dan pemersatu, tetapi tidak lebih kepada ajang hedonisme dari agenda liberalisme untuk menggeser prilaku budaya asli bangsa kita menjadi ikut-ikutan liberal.
Kalau untuk masalah kehormatan dan kemuliaan, masih bayak cara yang lebih beradab dari ini. Dan khusus bagi orang Minangkabau, harus percaya diri, dan beritahukan anak kemenakan kita bahwasanya, sistem adat Minangkabau sudah jauh hari bahkan dari sebelum negara ini ada sudah menyiapkan software adat untuk memuliakan perempuan dalam kehidupan sosial dan agama. InsyaAllah.[]