DI BALIK DERITA UIGHUR DAN WUHAN

(Petugas keamanan berpatroli di dekat Masjid Id Kah di Kashgar di wilayah Xinjiang)

DI BALIK DERITA UIGHUR DAN WUHAN

Oleh: Dr. Masri Sitanggang

Sejak diisolasi, Wuhan berubah jadi belantara gedung yang lengang. Orang-orang Xian Zhang dan Wuhan cuma bisa pasrah menunggu taqdir. Hidup di alam komunis adalah sebuah keterpaksaan menghadapi tekanan.

Video-video tentang kondisi Wuhan yang diserang virus corona viral di dunia maya. Sejumlah orang, di berbagai tempat, tiba-tiba saja jatuh dan menggelepar di atas tanah atau lantai di mana dia berada. Lorong-lorong rumah sakit penuh sesak dengan pasien. Suara tangis kesedihan para keluarga korban membuat pilu menyayat hati.

Sudah seribu lebih nyawa melayang. Ribuan penduduk terserang. Tapi Itu data resmi pemerintah. Menurut seorang dokter di rumah sakit di Wuhan (sebut saja namanya Ling Ling), yang videonya diunggah berbagai chanel tiga pekan sebelumnya –diantaranya oleh Arrahmah.com, jumlah korban terserang virus corona jauh lebih banyak dari apa yang diberitakan teve. Di rumah sakit tempat dia bekerja saja, setidaknya, seratus ribu orang telah terinfeksi. Setiap harinya, seorang dokter –dari  belasan dokter yang ada, merawat lebih dari seratus pasien. Banyak dari mereka yang tidak selamat.
“Para dokter telah banting tulang sepanjang hari dan akhirnya mereka sendiri pun ambruk”, keluh Ling Ling.  Sambil menahan isak tangisnya yang berat, ia berkata: “Para pasien memohon pada kami dengan putus asa, tapi kami tak bisa berbuat apa-apa hingga mereka sekarat di depan mata kami.” Karena itu, pesannya pada masyarakat: “Tolong ambil langkah apa saja untuk melindungi dirimu sendiri di rumah. Jangan pernah mempercayai pemerintah.” Sungguh, ini pesan yang sangat serius.

Seorang pemuda (sebutlah namanya Ahong), membuat videonya sendiri –karena sulit memosting apa pun akibat pembatasan internet di China daratan—video ini kemudian diviralkan Cordova Media beberapa pekan lalu. Ahong berkata lebih kurang begini: “Rumah sakit penuh sesak. Dokter tidak menyuruh anda registrasi atau apa pun. Anda hanya bisa antri berjam-jam dan tidak mendapat pelayanan. Mungkin awalnya anda baik-baik saja, tetapi setelah antri berjam-jam, anda malah tertular.”

Informasi yang diterima Ahong dari teman-temannya yang bertugas di rumah sakit, pasien hanya diberi obat anti radang dan suntikan hormone, atau, pasien dibiarkan begitu saja. “Jika anda kuat, anda bisa melewati ini dan jika tidak, ya matilah,” ujarnya. Buruknya lagi, katanya, ada yang terinfeksi corona, oleh dokter dikatakan baik-baik saja lalu disarankan pulang dan jangan ke mana-mana. Dengan nada retoris, ia bertanya: “Bukankah dengan begitu berarti pemerintah sedang menyruh pasien itu menyebarkan virus ke tengah masyarakat di segala tempat, mengontaminasi orang lain?”

Sulit memang memverifikasi kebenaran pernyataan Ling Ling dan Ahong. Sama sulitnya dengan memverifikasi kebenaran berita resmi yang dirilis pemerintah Cina. Negeri ini, sebagaimana negeri komunis lainnya, sangat tertutup. Kata Taufiq Ismail (Katastropi Mendunia, 2004), kegigihan orang-orang komunis dalam berdusta sangat menakjubkan. Begitulah, sehingga informasi tentang Wuhan, sebagaimana tentang nasib Muslim Uighur yang yang tertindas, mungkin akan terungkap puluhan tahun mendatang atau tidak sama sekali.

Saat ini sulit mendapat informasi sesungguhnya. Semua pewartaan, sepenuhnya di bawah kontrol pemerintah. Ini adalah satu ciri pemerintahan komunis: mengendalikan pemberitaan untuk menutupi kebohongan. Jadi, dalam hal ini, satu sesi cara komunis mempertahankan kekuasaannya sedang sukses dijalankan. Itu pula yang membuat kita terkesan dengan pesan Ling Ling: “Jangan pernah mempercayai pemerintah”.

Kita perduli dengan Wuhan dan Uighur, karena menyangkut nyawa dan penderitaan manusia. Tetapi hidup dan kematian, bagi pemerintah komunis tidak punya artii apa-apa. Nyawa manusia tidak ada harganya –kecuali nyawanya sendiri, atau nyawa keluarganya. Itu pun terkadang tidak.

“Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang,” kata Lenin satu ketika.

“Kematian satu orang adalah tragedi. Kematian sejuta orang, hanyalah statistik,” begitu teriak Stalin.

“Kita akan sisakan satu juta saja orang Afghanistan yang hidup. Jumlah itu sudah cukup bagi kita membangun Sosialisme,” kata Sayed Abdullah, Kepala Kamp Konsentrasi Pol-E Charki.

Begitulah pernyataan-pernyataan gembong komunis dunia. Masih segudang banyaknya pernyataan yang menggambarkan bahwa bagi komunis nyawa manusia –kecuali nyawanya sendiri atau keluarganya, tidak ada harganya. Dalam sistem pemerintahan komunis, semua aset adalah milik negara. Termasuk rakyat adalah milik negara dan alat produksi negara. Atau, rakyat adalah massa dan massa adalah milik Partai Komunis. Rakyat hanya mengabdi kepada negara. Maka, bila negara merasa terlalu berat menanggung beban menghidupi rakyatnya, atau rakyat dianggap berada pada keadaan tidak produktif, atau ada yang berpotensi tidak sejalan dengan partai atau petinggi partai, kematian atau mematikan adalah jalan penyelesaianya. Menghilangkan berjuta nyawa manusia –apalagi cuma puluhan atau ratusan, secara paksa pun akan dilakukan.  Apalagi jika nyawa itu justeru melayang dengan sendirinya disebabkan bencana, tentulah ibarat pepatah “pucuk dicinta ulam pun tiba”.

Kalimat terakhir itu bisa saja dirasa keji dan menjijikkan. Memang, begitulah. Tidak ada pilihan kata yang dapat disusun untuk menggambarkan prilaku komunis terhadap jiwa manusia kecuali kata-kata menjijikkan itu.
 
Tapi hati nurani tak selamanya mati, memang. Ahong berkata: “Saya hanya berpikir bahwa satu waktu dalam hidup ini akan datang masa di mana anda harus menyampaikan kebenaran”. Ia seperti menguatkan Ling Ling untuk tidak mempercayai pemerintah. Lalu, ia menambahkan: “Sering kali dalam hidup ini, suka tidak suka, anda harus berbohong agar bisa bertahan hidup. Tapi dalam kasus ini saya pikir perlu untuk menyampaikan kebenaran dengan sadar dan sepenuh hati.” Satu ungkapan yang mengisyaratkan betapa hidup di alam komunis adalah sebuah keterpaksaan menghadapi tekanan.

Kita cuma berharap semoga komunis tidak pernah hidup di negara ber-Ketuhanan Yang Maha Esa ini; dan mereka yang terlanjur terpikat pada ajaran komunis lekas sadar: agar tidak menjadi “orang tolol berguna”, useful idiot karena mereka hanya akan dimanfaatkan untuk sesaat.

Wallahu a’lam bisshawab. 

*Penulis adalah Ketua Komisi di MUI Medan; Ketua Gerakan Islam Pengawal NKRI (GIP-NKRI) dan Wakil Ketua Bidang Ideologi Majelis Permusyawaratan Pribumi Indonesia (MPPI).

Baca juga :