Ustad Yunahar: dalam Memori Pegiat (Post-)Harakah


Ustad Yunahar: dalam Memori Pegiat (Post-)Harakah

Oleh: Yusuf Maulana

Interaksi intensif dengan Ustad Yunahar Ilyas adalah saat saya bekerja di Dompet Sosial Ummul Qura' (DSUQ), cikal bakal Rumah Zakat Indonesia. Kala tahun 2000-2001 itu, DSUQ bekerja sama dengan harian Bernas menampilkan rubrik tanya jawab agama bersama Ustad Yunahar selama Ramadhan. Tanggung jawab berurusan dengan naskah yang ditanyakan, dan menjemput jawaban sang narasumber, itulah tugas saya.

Masa itu komunikasi tidak secanggih hari ini. Saya mengontak buat janjian mengambil naskah jawaban lewat telepon kantor dan/atau telepon seluler generasi awal yang sekadar berbasis teks. Seingat saya, jawaban atas pertanyaan pembaca diketik di komputer dan dicetak. Nah, jawaban di kertas itulah yang saya ambil. Memang kadang Ustad Yunahar sesekali mengirimkan jawaban lewat pesan singkat; tentu saja menjadi banyak karena dibatasi karakter penulisan di ponsel.

Meski sebulan ada percakapan, lebih sering kami melakukannya dengan tidak langsung. Hanya beberapa kali saja bersua beliau di rumahnya yang dekat dengan pondok pesantren mahasiswa Budi Mulia. Teks jawaban sudah dititipkan ke orang rumah; biasanya istri ataupun anak beliau.

Sebenarnya beberapa bulan sebelum jalani rutinitas kantor, saya pernah bertandang ke rumah beliau. Waktu itu bersama teman-teman pengurus Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam Indonesia (KAMMI) Yogyakarta, kami silaturahmi ke Ustad Yunahar . Agendanya: memohon beliau menjadi penasihat KAMMI Yogyakarta. Hasilnya, beliau berkenan.

Sedianya nama Ustad Yunahar (waktu itu masih bertitel Drs, Lc., dan M.A.) tak asing bagi kami, di lingkungan epistemik Ikhwan Yogyakarta. Berdasarkan informasi dari para senior, beliau punya tempat tersendiri lantaran turut bertanggung jawab mengenalkan manhaj Ikhwanul Muslimun yang diinteraksi ketika kuliah di Saudi. Beberapa asatidz Ikhwan Yogyakarta, terutama yang berlatar kampus negeri, merupakan binaan beliau.

Tapi, Ustad Yunahar sekadar memperkenalkan. Menjadi semacam mentor tapi tak melupakan habitus asal: warga Muhammadiyah. Bukan, beliau bukan hendak main dua kaki. Apalagi kapasitas utamanya lebih sebagai ulama cum intelektual ketimbang aktivis pergerakan yang berhasrat ke ranah siyasi. Pada konteks ini, posisi wibawa Ustad Yunahar kelak ketika jadi "pembesar" Muhammadiyah tak larut untuk menjadi pembenci kelompok tertentu yang bernaung di partai yang dipersoalkan keras oleh koleganya. Asbabnya: Muhammadiyah dianggap dirongrong oleh harakah cum partai tersebut, hingga direspons keras melalui putusan selevel Muktamar Nasional.

Tak begitu tampak sikap lugas Ustad Yunahar (yang telah menyandang predikat doktor) waktu di perhelatan di Malang (ke-45) hingga di Makassar (ke-47) dalam arus mengecam isu infiltrasi kalangan garis keras ke organisasinya. Ustad Yunahar sepertinya paham, isu ini kuat yang awalnya bernuansa politik memilih presiden (2004) meluas jadi arena menghabisi keberadaan kalangan konservatif di Muhammaddiyah. Kalangan konservatif, yang biasanya "bercokol" Majelis Tabligh dan Dakwah Muhammadiyah memang relatif lebih moderat bahkan acap berinteraksi dengan kalangan yang dituduh garis keras tadi. Di sisi lain, anasir tokoh di majelis ini berbeda arus pemikiran memajukan umat Islam dengan koleganya di Majelis Tajdid dan Pemikiran yang "dikuasai" kala itu oleh kelompok terlabel liberal (Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan, untuk menyebut dua nama tokohnya).

Dua buah pena Ustad Yunahar,  "Kuliah Aqidah Islam" dan "Kuliah Akhlak Islam", tak sekadar buku laris di pasaran tapi juga diakses kalangan di luar Muhammadiyah. KAMMI termasuk yang menggunakan kedua buku ini sebagai daftar bacaan para kadernya. Satu judul lagi, "Kesetaraan Gender dalam al-Quran" juga dipelajari banyak senior dan kawan saya di KAMMI. Walhal, jangan ditanya berapa kerap penulisnya mengisi acara KAMMI.

Malah, sejujurnya, dalam benak saya ketika Ustad Yunahar masih belum setenar pada periode hidup berikutnya, beliau lebih "dimiliki" KAMMI ketimbang organ mahasiswa Muhammadiyah sendiri: IMM! Saat Muktamar Nasional KAMMI tahun 2000 di Yogyakarta, Ustad Yunahar juga tampil sebagai pembicara justru saat Amien Rais yang jadi anggota kehormatan KAMMI absen. Jauh sebelum itu, dan hari-hari berikut, nama Ustad Yunahar juga masih tertera sebagai penceramah di Masjid Mardliyah, selatan RSUP DR Sardjito UGM, baik sebagai khatib Jumat ataupun pensyarah di kajian rutin Sabtu pagi.

Memang ketika Ustad Yunahar kian sibuk dan menasional amanahnya, intensitas kehadirannya di Mardliyah tak seperti sebelum tahun 2004. Di lingkungan UGM, pendengar setianya juga bisa menyimak ketika memberikan khutbah Jumat dan ceramah tarawih Ramadhan di Masjid Kampus. Tentu saja ini temporer. Tapi bagi yang sudah lama mengikuti, kajian tafsir Quran di PP Muhammadiyah (selatan Bundaran UGM) saban Kamis pagi merupakan ajang menyambung ilmu dan silaturahmi bersama Ustad Yunahar.

Pada 2017 ketika para generasi awal HMI MPO bermaksud membuat buku bagi pentolan pentingnya, yakni Dr Masyhudi Muqorrobin, didapuk nama saya sebagai penyunting, menggantikan seorang editor senior yang juga alumnus aktivis gerakan mahasiswa ini. Almarhum Pak Masyhudi adalah sahabat Ustad Yunahar, baik di lingkungan akademis UMY maupun PP Muhammadiyah. Di buku ini, lagi-lagi, bertemu dengan Ustad Yunahar untuk urusan teks. Beliau diminta pihak keluarga almarhum buat endorsement. Dan pada hari-H pemakaman Ustad Yunahar jua yang memberikan ceramah pelepasan jenazah.

Satu kesempatan menyimak khutbah Jumat tepat setahun lalu, Januari 2019, saat pelbagai musibah banjir terjadi di banyak daerah, saya duduk di saf ketiga area selatan Masjid Kampus. Menyimak Ustad Yunahar berikan khutbah Jumat dari layar televisi, membincang hakikat musibah. Dan namanya lebih sering diikuti dari media sosial melalui layar ponsel pintar. Termasuk ketika beliau beberapa bulan lalu masuk rumah sakit. Namanya tersebutkan juga di kelas kuttab anak saya. Buah pena yang baru saya ketahui dari Ustad Yunahar bercerita tentang Nabi Muhammad. Ustad anak saya menyarankannya sebagai senarai di tiap keluarga santri kuttab. Sayangnya, saya belum sempat ke toko buku Suara Muhammadiyah, dan saat surya baru beberapa jenak berganti hari kabar penulisnya wafat seolah peneman hujan deras yang turun di kota kami.

Ustad Yunahar Ilyas bagi saya memang lebih dekat sebagai guru di level teks, setelah fase menjadi inspirasi di pergerakan mahasiswa (itu pun terbatas). Teks-teks dari buah pena beliau tak lekang dalam ingatan walau penulisnya tiada. Dan saat teks itu jadi amalan, otomatis ia menjadi jariyah bagi penulisnya. Di sisi ini legasi besar Ustad Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag. Begitu juga dengan pendekatan wasathiyah yang membekas ketika menyimak ceramah beliau, merupakan inspirasi amat berharga buat saya dalam keterlibatan di gerakan Islam zaman dewasa ini. Yakni melalui pos-islamisme dan pos-harakah yang kini lebih mencorakkan sebagai sosok Muslim Demokrat.  Nama dan manhaj boleh berubah tapi pesan beliau yang ditulis di majalah Garuda "colours" edisi April-Juni 2019 membekas kuat. Dan ini berlaku ketika sesiapa ingin bersiap berkuasa. "Semakin menipis keimanan seseorang, semakin pudar pula sifat amanah pada dirinya," begitu tulis Ustad Yunahar.

Memegang dan mengamalkan isi teks dan ceramah beliau kiranya jadi cara bersahaja saya menghormati dan mencintai ulama. Agar amal baik dari hasil mencerna pikiran almarhum berbuah kebaikan mengalir padanya di alam kubur. Sisanya: tugas anak muda yang masih hidup untuk menyalakan pesan pikiran seorang alim penting Minangkabau yang besar di Kota Budaya. []

Baca juga :