Terbacanya Skenario Hadang Anies Maju di Pilpres 2024


[PORTAL-ISLAM.ID]  Beberapa hari lalu Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta, Muhammad Taufik mengatakan bahwa Undang-undang Ibu Kota Negara akan keluar pada bulan Juni 2020.

Menurutnya, undang-undang itu akan mengakhiri stasus Jakarta sebagai ibu kota negara."Insyaallah bulan Juni, Jakarta tamat sebagai ibu kota negara.

Undang-undang (ibu kota baru) akan keluar bulan Juni," kata Taufik saat sambutan Rapat Kerja Daerah Partai Gerindra DKI Jakarta, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Minggu (26/1/2020).

Ada yang menilai bahwa pernyataan Taufik ini menjadi salah satu rangkaian peristiswa yang erat kaitannya dengan suksesi kepemimpinan nasional tahun 2024 mendatang.

Bahkan peristiwa itu menjadi benang merah adanya upaya untuk menghadang majunya Anies Baswedan sebagai Capres di 2024, benarkah demikian ?. Peristiwa peristiwa apa saja yang menunjukkan bahwa Anies Baswedan memang sengaja jadi target untuk dijegal ?

Menjadi Ancaman

Diakui atau tidak nama Anies semakin popular saja. Baik karena cara dan pilihan kerja maupun kemampuannya menyampaikan kata-kata. Seiring waktu, rakyat makin suka dengan penampilannya.

Situasinya terasa ketika Anies diperlakukan tidak semestinya, rakyat bangkit membelaya. Mereka mengatakan bahwa Gubernurnya sedang di dizalimi "terdzalimi" untuk sebuah kesalahan yang tidak diperbuatnya.

Perlakuan yang tidak adil alias penzaliman kepada Anies sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Sejak ia dicopot sebagai Menteri menyusul kemudian keinginannya untuk maju sebagai Gubernur DKI Jakarta, cukup kentara tangan tangan yang mencoba menghentikan langkahnya.

Sebagai contoh majalah Tempo edisi 25 Maret 2018 halaman 30, menulis berita yang cukup mengejutkan. Tergolong sangat berani untuk ukuran media yang hidup di bawah rejim yang sekarang berkuasa.

Tulis tempo: ada "tim khusus" yang bertugas memastikan Anies tidak maju di Pilpres 2019.Sebelumnya, juga santer kabar bahwa ada dua petinggi negara datang ke seorang pengusaha pribumi.

Pesannya sama : minta agar tidak mendorong Anies nyapres. Dua berita ini memberi kesimpulan; Anies yang paling diperhitungkan.

Berita Tempo seolah mengingatkan publik atas sejumlah tragedi yang pernah menimpa Anies sebelumnya. Saat nyalon gubernur, istana dianggap sangat transparan mendukung lawannya.

Selanjutnya ada tragedy GBK dimana Anies dihadang paspampres saat mau menemani tim Persija menerima piala. Nama Anies pun dicoret panitia menjelang penyerahan piala.

Kabarnya, banyak cerita model ini yang tidak diketahui publik. Ada pihak-pihak yang secara sistematis berupaya membonsai Anies agar tak muncul ke publik. Dengan begitu, Anies tak punya kesempatan "ngebrand" sehingga tidak berpeluang nyapres nantinya.

Terhadap perlakuan perlakuan tidak adil tersebut, para pendukung rupanya tidak tinggal diam namun mengambil sikap membela.Pembelaan didunia medsos yang dilakukan oleh pendukungnya semakin terasa setelah Prabowo tidak lagi menjadi icon perlawanan kepada penguasa.

Memang sebagian rakyat nampaknya mulai menggantungkan “perlawanan” kepada rejim penguasa melalui sosok Anies Baswedan yang kini menjadi Gubernur Jakarta.

Fenomena tersebut tentu saja membuat pihak istana menjadi khawatir, takut dan gundah gulana. Sebab, Anies berpotensi menjadi ancaman serius bagi calon pemimpin yang disiapkan penguasa pada pilpres di 2024.

Sejumlah survei telah menominasikan Anies sebagai pesaing terberat bagi para kandidat yang akan bertarung di Pilpres nantinya. Status Anies sebagai Gubernur DKI menjadi "branded media darling" dimana hampir semua media menyorotnya.

Ini faktor suplai popularitas yang tak bisa dihalangi oleh siapapun juga. Bahwa siapapun yang menjadi gubernur DKI, wartawan akan selalu mengubernya.

Fakta bahwa Jokowi nyapres ketika masih menjabat sebagai Gubernur DKI dianggap telah membuka jalur baru Anies menuju ke istana. Itulah sebabnya sebagai Gubernur DKI saat ini, banyak pihak mendesak Anies nyapres supaya menjadi orang nomor satu di Indonesia .

Apalagi, Anies punya latar belakang yang jauh lebih baik dari sisi kualitas. Pendidikan S3 (doktor), mantan rektor dan pernah menjabat sebagai menteri pula. Background pendiri "Indonesia Mengajar" ini lebih menjual jika dibandingkan dengan kandidat lainnya.

Pendeknya, popularitas adalah pintu bagi seseorang untuk mendapatkan suara ketika pemilu digelar untuk menentukan pilihannya . Mengenai disukai atau tidak, dipilih atau tidak sangat bergantung pada performance atau kinerjanya.

Namun sejauh ini, Anies sebagai Gubernur Jakarta telah menampilkan dirinya sebagai sosok menarik untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Pertama, cerdas. Baik dalam konsep maupun kerja. Ok Oce, DP 0% dan kampung Aquarium adalah contoh dimana Anies, dibantu Sandi, mampu menyajikan sesuatu yang berbeda dalam menata kota Jakarta.

Posisinya dalam membela rakyat kecil sudah ditunjukkan dengan pembelaannya pada kepentingan pedagang kecil di Tanah Abang maupun menyetop penggusuran penggusuran yang gencar dilakukan oleh gubernur sebelumnya.

Pembelaannya terhadap abang becak, menyetop proyek reklamasi adalah bagian dari keberpihakan yang nyata dan terasa. Anies fokus bekerja untuk memenuhi janji janji kampanyenya. Cara kerja ini dinilai cocok untuk di adopsi ke tingkat Nasional menjadi Gubernur Indonesia.

Kedua, pola komunikasinya. Cara bicaranya tertata, jelas dan tegas, santun dan sesuai dengan fakta yang ada. Tidak ada kesan arogansi dan defensive untuk melarikan diri dari fakta yang ada. Apalagi kata kata kotor yang menyakiti lawan lawan politiknya.

Ketiga, tingkat emosional (kesabaran)-nya. Dalam hal ini terlihat Anies cukup matang emosinya. Tidak meledak ledak meluapkan emosi semau maunya. Hal ini berbeda dengan pejabat sebelumnya yang dikenal agak arogam dan sok kuasa.

Tingkat emosi ini sangat penting sebagai salah salah satu syarat bagi seorang pemimpin untuk naik kelas ke jenjang berikutnya.

Berbagai tragedi politik, mulai dari pencopotan Anies sebagai menteri, proses pencalonannya di pilgub, acara pelantikan dan pidato perdananya, kasus reklamasi sampai tragedi GBK, Anies menghadapi perlakuan yang tidak semestinya.

Semuanya menjadi modal dasar yang sangat diperhitungkan lawan ketika Anies maju menantang jagonya petahana.Kesabaran Anies menghadapi tekanan itu justru menjaring empati dan mendapatkan respon positif publik sehinga banyak orang bersimpati kepadanya.

Kesempatan Anies untuk maju menjadi salah satu Capres di 2024 makin terbuka manakala Ketua Umum Nasdem Surya Paloh terang terangan akan menjagokan Anies untuk bertarung pada pilpres mendatang menantang jago yang di usung kubu petahana.

Namun untuk diketahui, Anies yang merupakan produk Pilkada 2017-2018, tidak akan bisa langsung bertarung memperpanjang jabatannya karena mereka akan digantikan penjabat sampai digelarnya pemilu serentak pada 2024.

"Untuk mengisi jabatan kepala daerah yang habis masa jabatannya hingga 2022 dan 2023, hingga pilkada serentak 2024 diangkat penjabat kepala daerah. Bukan Plt, tapi Pj," ujar komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi saat dihubungi detikcom, Kamis (25/7/2019).

Pernyataan Pramono tersebut mengacu pada Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016. Dalam UU itu disebutkan untuk mengakomodir keperluan Pilkada Serentak, maka setelah selesainya masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2017-2018, maka tidak akan langsung dilakukan Pilkada.

Penjabat kepala daerah akan memimpin pemerintahan daerah untuk sementara waktu sampai 2024.

Hal itu sesuai dengan bunyi pasal 201 ayat 9 UU No. 10 Taun 2016, bahwa : Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.

Adapun masa jabatan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan akan berakhir pada 16 Oktober 2022 mendatang bersamaan dengan para Gubernur,Bupati dan Walikota daerah lain yang tela dipilih pada pilkada 2017/2018.

Berbagai Upaya Penjegalan

Sejak dicopot dari jabatan menteri, Anies dipahami publik sebagai ancaman buat istana. Ketika gagal dihentikan di pilgub, nama Anies justru makin berkibar saja . Inilah yang menjadi faktor utama mengapa istana makin gusar kepadanya.

Karena itu Anies bagaimanapun harus dihentikan langkahnya. Terutama langkah untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia. Siapa gerangan yang berusaha menghentikannya ? Publik sudah tahu dan bisa memahaminya.

Ada tangan-tangan profesional yang telah bekerja. Sebenarnya dalam politik hal itu biasa biasa saja karena dalam politik berbagai strategi memang lazim dilakukan agar dapat memenangkan sebua laga. Cuma caranya kadang tidak elok karena menyalahi moral dan etika.

Upaya penghadangan terhadap Anies Baswedan untuk maju menjadi Capres sebenarnya bukan hanya terjadi untuk pencapresan tahun 2024 mendatang tapi juga pada waktu pencapresan tahun 2019 yang telah dimenangkan petahana. Adapun beberapa upaya yang dilakukan untuk menjegal Anies itu diantaranya adalah :

1. PP Tentang Gubernur Nyapres

Kita masih ingat pada waktu menjelang digelarnya pemilu serentak dan pilpres 2019 yang lalu dimana santer muncul isu bahwa pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait dengan ketentuan bagi seorang Gubernur yang akan maju sebagai capres.

Waktu itu terbitnya PP tentang kewajiban kepala daerah mengantongi ijin presiden jika ingin nyapres sebagai perwujudan pemerintahan dalam menjegal politik di Pilpres 2019.

Direktur Eksekutif Vox Pol Center, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan salah satu pejabat politik saat itu adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pangi menengarai PP di arahkan pada Gubernur DKI Jakarta yang di isukan mau nyapres di 2019.

"Mengarahnya ke sana (ke Anies Baswedan). Orang awam tahu tahu itu," ujar Pangi seperti dilansir dari SINDOnews, Rabu (25/7/2018).

Mungkin PP itu muncul sebagai bentuk kekhawatiran berkaca pada peristiwa sebelumnya dimana Joko Widodo (Jokowi) yang kala itu belum genap satu periode sebagai Gubernur DKI Jakarta, harus mendapat izin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk nyapres.

"Kalau dulu Pak Jokowi enggak bisa memberi tahu SBY, mana bisa nyapres," kata Pangi.

Pangi percaya ini, menghalalkan berbagai cara dalam menjegal lawan politik bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi kita."Seharusnya cara-cara seperti ini, penerbitan peraturannyang jegal lawan politik, tidak lagi. Ini cara usang," tegas Pangi.

2. Jakarta Seperti Kampung

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian secara terbuka di hadapan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyindir Jakarta tak ubahnya seperti kampung.

Tito menilai kesemrawutan tata kota Jakarta tak ada apa-apanya dibanding dua kota di China, yakni Beijing atau Shanghai.

Sindiran Tito itu dinilai bermuatan politik. Seperti dikatakan pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin bahwa Tito sudah menjadi pejabat politik di mana setiap komentarnya bermuatan politis.

"Pernyataan Pak Tito terhadap Pak Anies bisa saja motifnya politik. Karena bagaimanapun Pak Tito hari ini sudah menjadi pejabat politik," ujar Ujang kepada CNNIndonesia.com, Rabu (27/11).

Ujang menuturkan muatan politik di balik komentar Tito diduga terkait dengan potensi Anies jadi salah satu capres dan cawapres potensial di 2024.

Dia menilai Anies berupaya dijegal di tengah jalan lewat berbagai kritik negatif agar popularitas atau elektabilitasnya memudar pada 2024 mendatang.Berdasarkan hal itu, Ujang menduga ada upaya sistematis terhadap Anies.

Upaya itu tak hanya bisa dilihat dari sindiran Tito semata, tapi juga manuver Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan parpol oposisi di DPRD DKI yang berusaha menggembosi Anies.

Adapun kebijakan Jokowi menempatkan Tito sebagai Mendagri, juga memiliki tujuan dan maksud tertentu. Dia menduga ada kemungkinan niat dari Jokowi atau pihak lain menjegal Anies lewat Tito.

3. Influencer Jokowi Susun Strategi Jegal Anies Jadi Capres 2024

Pegiat media sosial, Rudi S Kamri meminta para pendukung dan relawan Presiden Joko Widodo membangun strategi menguatkan barisan di Pilpres 2024.  Rudi mengakui Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merupakan sosok yang paling potensial pada pilpres 2024.

Lebih lanjut, Rudi membeberkan strategi yang harus dijalankan pendukung Jokowi agar kompak menghadapi Anies jelang Pilpres 2024. Salah satunya adalah membuat kriteria calon yang pas untuk kompak diusung dalam Pilpres 2024.

Dihubungi terpisah, pegiat media sosial lainnya, Muanas Alaidid menyampaikan bahwa para pendukung Jokowi khawatir bila Anies maju sebagai calon presiden 2024.

Sebab, kata dia, Anies sendiri merupakan sosok yang identik dengan penggunaan isu politik identitas saat maju di Pilkada 2017 silam.

"Kemudian kalau orang menyatakan dia menjadi gubernur sarat dengan politik identitas dan SARA, sangat berbahaya bila bila jadi presiden. Nah di survei Denny JA itu unggul Anies bisa jadi presiden," kata Muanas.

Ramai upaya menjegal Anies mulanya terungkap dalam salah satu potongan video yang viral di media sosial Twitter @lawan077. Video itu diketahui diambil saat acara pertemuan relawan Jokowi.

Turut tampak aktivis perempuan Nong Darol Mahmada, Dosen UI Ade Armando, pegiat media sosial Eko Kuntadhi, Denny Siregar, Rudi S Kamri dan pengacara Muannas Alaidid.

"Kemarin saya ketemu dengan Denny JA, kalau pemilu diadakan hari ini, pemenangnya siapa? Anies Baswedan. Tidak apa-apa. Itu kenyataan. Kenyataan yang membuat kita harus segera, apa namanya, evaluasi diri," kata Rudi dalam video tersebut.

Selain itu, Rudi menyatakan calon kandidat Pilpres 2024 dari kubu Jokowi jumlahnya lebih dari satu dan belum jelas. Sementara di kubu lainnya, jumlahnya hanya satu dan solid.

Rudi juga mengingatkan bahwa langkah ke depan bagi barisan pendukung Jokowi tidaklah mudah. Terlebih lagi, mantam wali kota Solo itu tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai presiden.

4. Demo Menuntut Anies Mundur

Banyak pihak yang menilai bahwa demo Anti Anies yang menuntut Anies Baswedan mundur dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta itu jelas bernuansa politik untuk men-down grade kinerja Anies selama menjabat Gubernur DKI Jakarta itu. Arahnya jelas: menjegal Anies nyapres pada 2024!

Sehingga, dengan moment “Banjir Jakarta”, 1 Januari 2020 lalu itu dimanfaatkan untuk down grade Anies bahwa dia tidak bisa bekerja. Adanya bukti, pendemo yang dibayar Rp 40 ribu itu menjawab bahwa ada “bandar” yang gelontorin duit untuk aksi itu.

Siapa dia yang bandarin mereka ini, tentu hanya mereka korlap yang tahu. Jika jeli, pasti kita bisa menyibak tirai bandar itu.

Bahwa pada 2024 nanti akan ada gelaran Pilpres 2024. Salah seorang tokoh yang digadang-gadang untuk maju Pilpres 2024 diantaranya Anies Baswedan. Rival yang bakal dihadapinya tidak jauh dari saat Pilkada DKI Jakarta 2017. Siapa mereka?.

Kabar yang beredar diantaranya adalah Agus Harimurty Yudhoyono (AHY), Andika Perkasa (KSAD), dan Ahok. Mereka ini disokong oleh “oligarki jenderal” yang selama ini sebenarnya berada di belakang pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Kabarnya, AHY atau AP akan dipasangkan dengan Ahok sebagai Capres-Cawapres 2024. Rencana Geng “oligarki militer” ini sudah tercium yang mendorong Ahok (Zhang Wan Xie) sebagai cawapres AHY atau AP yang maju capres pada 2024 nanti.

Rencana ini pasti terwujud jika presiden Amerika Serikat terpilih pada 4 November 2020 itu berasal dari Partai Demokrat. Sehingga duet Duet AHY atau AP – Zhang Wan Xie 2024 akan unstoppable, tidak bisa dicegah!

Bagi Anies sendiri, yang harus dicermati: Pilpres 2024 bareng dengan Pilkada Serentak 2024. Masa jabatan Anies sampai 2022. Yang 2 tahun Pj atau Plt yang diatur oleh Kemendagri.

Jadi kalau mau nyapres/nyagub Anies harus istirahat dulu 2 tahun.Siapkah Anies dan pendukungnya rehat selama 2 tahun sebelum nyapres 2024? Sementara, calon rivalnya dengan dana tak terbatas sudah running duluan.

5. Soal Pemindahan Ibukota

Pemindahan ibukota adalah pekerjaan besar dan sakral. Jokowi sudah mengumumkan permintaan ijin ke DPR RI pindah ibukota dalam pidato kenegaraan, 16 Agustus lalu.

Dalam pidato diistana beberapa hari lalu, Jokowi juga mengumumkan lokasi baru ibukota Indonesia, yakni di Kutai Kartanegara dan Penajem Paser Utara, Kaltim.

Mengapa Jokowi tidak memasukkan agenda besar negara ini dalam NAWACITA? sebagai acuan gagasan besarnya selama periode 2014-2019. Anehnya juga selama debat pilpres 2019 juga Jokowi tidak memasukkan agenda pindah ibukota dalam narasi besarnya.

Jika melihat alasan standar pemindahan ibukota yang dikeluarkan pemerintahan, itu merupakan alasan teknis rasional di mana beban Jakarta sudah tidak mampu lagi menopang keberadaan ibukota.

Pertanyaannya adalah apakah langkah sampul Jokowi ini sudah ada sejak 2014?. Sepertinya tidak, bahkan, Jokowi kala itu masih meyakinkan rakyat Indonesia bahwa urusan Jakarta akan mudah dibangun setelah dia menjadi Presiden.

Kemungkinan besar Jokowi menemukan ide pindah ibukota lebih tepat jika dikaitkan dengan kekalahan sekutu Jokowi, Ahok dalam pilkada DKI.

Lalu, tindakan Gubernur Anies memberhentikan reklamasi teluk Jakarta, sebuah skala bisnis ribuan triliun, tidak sejalan dengan pemerintahan Jokowi yang ingin hal itu terus berlangsung.

Sosok Anies di Jakarta dengan Jakarta sebagai ibukota, akan menciptakan "matahari kembar" pada rakyat Indonesia, seolah di ibukota ada dua pemimpin besar.

Dengan ibukota di Kaltim dan Jokowi di sana sebagai figur tunggal, maka kepemimpinan Jokowi akan maksimal.

Lalu, apabila Jakarta dihilangkan statusnya sebagai ibukota, maka Anies sebagai Gubernur akan kehilangan "kewibawaan legalnya", yang kemudian eksistensinya akan juga seperti kota kota provinsi lainnya yang diatur oleh UU Pemerintahan Daerah sajaMotif utama Jokowi memindahkan ibukota sudah dijelaskan pemerintahan secara resmi. Namun, dampak politik bagi Anies Baswedan akan segera terasa.

Pengumuman ibukota baru yang dilakukan Jokowi baru batu ini telah mendelegitimasi keberadaan Jakarta sebagai ibukota. Istilah Irman Putrasidin tentang kesakralan ibukota Jakarta akan meredup. Selanjutnya, UU Ibukota akan dicabut dan DPR yang didominasi rezim Jokowi akan membuat UU Ibukota di Kaltim tersebut.

Dengan rezim UU Pemerintahan Daerah, Anies tidak mengontrol lagi Jakarta seperti saat ini. Jakarta akan mempunyai kepala daerah tingkat II, yang dipilih langsung.

Izin reklamasi nantinya bisa saja dilakukan setingkat walikota bukan Gubernur. Dari sisi politik, Anies akan kehilangan derajat lebih tinggi dari gubernur-gubernur lainnya. Biasanya Gubernur DKI akan dominan dalam forum antar gubernur.

6. Pembentukan Pansus Banjir

Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah menilai, pembentukan Pansus oleh DPRD DKI Jakarta diduga merupakan kebijakan politik demi menjatuhkan citra Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan tujuan untuk menjegalnya agar tidak mencalonkan diri di Pilpres 2024.

"Banjir di awal Januari 2020 kemarin tidak hanya terjadi di Jakarta, juga terjadi di sejumlah daerah di Jawa Barat dan Banten. Di sana banjir bahkan lebih parah dibanding banjir di Jakarta, tapi kenapa DPRD di Jawa Barat dan Banten tidak membentuk Pansus Banjir?" katanya kepada dekannews.com, Minggu (12/1/2020).

Ia menegaskan, banjir di Jakarta, Jawa Barat dan Banten pada awal 2020 disebabkan oleh curah hujan yang oleh BMKG disebut sebagai curah hujan terekstrem dalam 24 tahun terakhir.

Bahkan curah hujan di kawasn Cawang, Jakarta Timur, yang mencapai 377 mm/hari, dinilai merupakan yang terekstrem dalam 154 tahun terakhir.

Dengan alasan yang seperti itu, menurut penilaian Amir, DPRD di Banten dan Jawa Barat pasti paham bahwa ini bencana alam, bukan semata-mata karena masalah drainase.

Apalagi karena posisi geografis Jakarta lebih rendah dari Bogor, dan Jakarta juga dialiri 13 sungai yang mengalir dari Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

"Jadi, kuat sekali dugaan kalau pembentukan Pansus lebih karena alasan politis, karena fraksi-fraksi yang menggagas pembentukan Pansus itu kan fraksi-fraksi yang partainya mengusung Ahok-Djarot pada Pilkada Jakarta 2017. Mereka agaknya belum mampu menerima kekalahan dan belum mampu move on. Padahal, menang kalah dalam kompetisi itu biasa," katanya.

Meski demikian, ketua Budgeting Metropolitan Watch (BMW) ini juga melihat kalau sepertinya ada kaitan antara Pembentukan Pansus Banjir dengan video yang beredar beberapa waktu lalu, di mana dalam video itu tergambar jelas adanya upaya untuk menjegal Anies agar tidak maju pada Pilpres 2024, sehingga Anies diserang dengan berbagai penjuru dan berbagai isu yang di antaranya terbukti hoaks.

Seperti isu pembelian pohon pelastik, pembelian bak sampah dari Jerman, penangkapan 5 ambulan milik Pemprov DKI Jakarta yang membawa batu dan bensin untuk dipasok kepada demonstran di DPR pada September 2018 silam, dan lain-lain.

Seperti diketahui, tujuh dari sembilan fraksi di DPRD DKI Jakarta sepakat untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) Banjir guna mempermasalahkan banjir yang melanda Jakarta pada awal Januari 2020 .

Ketujuh fraksi yang mendukung pembentukan Pansus Banjir selain NasDem adalah Golkar, PDIP, PSI, PAN, PKB dan Demokrat. Sementara dua fraksi yang menolak pembentukan Pansus adalah Gerindra dan PKS.

Senada dengan Amir, kebanyakan publik pun menilai kalau pembentukan Pansus itu bersifat politis. Setidaknya ini terbaca dari cuitan warganet berikut ini:


7. Jokowi Sodorkan nama Sandiaga

Presiden Jokowi tentu tidak ingin polarisasi kekuatan itu terjadi di saat pemerintahan periode keduanya baru dimulai. Bukan hanya akan mengganggu stabilitas sosial dan politik, namun juga membuat risih. Siapa pun tentu tidak nyaman jika sedang bekerja direcoki dengan isu-isu terkait penggantinya.

Jika tidak segera dipecah, isu semacam itu akan menggumpal dan mengalihkan perhatian masyarakat sehingga program kerja yang dicanangkan mungkin saja tidak efektif. Terlebih terhadap program-program yang dianggap merugikan jagoannya dan menguntung pihak yang sudah dipersepsikan sebagai lawan.

Sepertinya Jokowi, juga Badan Intelijen Negara (BIN) sudah "membaca" hal itu. "Dukungan" terhadap candaan Jokowi yang dilakukan Kepala BIN Budi Gunawan, tentu bukan kebetulan. Kita bisa saja membacanya sebagai grand design untuk memecah kekuatan pendukung Anies Baswedan.

Mengapa Sandiaga Uno?. Karena Sandiaga adalah sosok yang juga mempunyai maknet untuk menjadi salah satu Capres mendatang. Mengingat keduanya juga pernah berduet pentas Pilgub DKI 2017 .Sebagai sebuah kemungkinan, tentu tidak bisa dinafikan.

8. UU Omnibus Law Sebut Mendagri Bisa Berhentikan Gubernur ?

Beredar sebuah narasi di media sosial bahwa ada ketakutan terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi Presiden RI. Ketakutan itu tercermin dari upaya pembuatan Undang-Undang (UU) yang bertentangan dengan demokrasi.

Adalah akun facebook Maulidin Ismail pada Kamis 23 Januari 2020 membagikan sebuah link pemberitaan Detik.com berjudul "Tito Dicecar DPR soal Mendagri Bisa Pecat Gubernur di Draf Omnibus Law."

Akun Maulidin Ismail menambahkan sebuah narasi bahwa rancangan UU itu dibuat lantaran ada ketakutan terhadap Anies untuk maju sebagai Presiden.

Adapun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Lapangan Kerja masuk dalam program Omnibus Law. Dalam draf RUU tersebut diatur hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) bisa memberhentikan kepala daerah yang tak menjalankan program strategis nasional. Hal itu sebagaimana tertulis dalam draf RUU Cipta Lapangan Kerja BAB VIII Dukungan Inovasi dan Riset Pasal 520 dan 521.

Dalam pasal 520 dan 521 ayat 1 sampai 3, diatur tentang kepala daerah baik gubernur maupun bupati dan wali kota bisa diberikan sanksi mulai dari teguran tertulis, diberhentikan sementara selama tiga bulan, hingga diberhentikan permanen, jika tidak melaksanakan program strategis nasional atau kewajibannya.

“Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah telah selesai menjalani pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap tidak melaksanakan program strategis nasional, yang bersangkutan diberhentikan sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah” demikian bunyi ayat 3 dalam pasal tersebut.

Pemberhentian gubernur akan dilakukan oleh Mendagri, sedangkan bupati dan wali kota dilakukan oleh gubernur selaku perwakilan pemerintah pusat di daerah.

Kalau memang draft RUU-nya seperti itu maka hal ini boleh dikatakan sebagai sebuah kemunduran. Menjadi ngawur ketika RUU Omnibus Law justru ditumpangi semangat untuk mengebiri sistem demokrasi yang sudah berjalan.

Sedangkan wacana mengembalikan pemilihan gubernur ke tangan DPRD saja masih pro-kontra, sekarang justru mewacanakan untuk menempatkan gubernur sebagai "anak buah" Mendagri dan bupati/wali kota di bawah ketiak gubernur.

Pertanyaan paling mendasar, apa gunanya pemilihan langsung oleh rakyat jika hasilnya, produknya, dapat dengan mudah dicopot oleh pembantu presiden!Terlebih dasar yang digunakan sangat subjektif. Ada dua hal yang perlu dikritisi terkait poin keenam dari pasal 519 itu.

Pertama, apa yang dimaksud dengan program strategis nasional? Apakah yang termasuk dalam rencana pembangunan jangka menengah/panjang (RPJM/P)? Atau semua proyek pemerintah pusat di daerah? Batasan terkait definisinya sangat longgar.

Kedua, bagaimana jika pemerintah daerah menolak karena merasa tidak cocok dengan kepentingan daerahnya? Sebagai contoh, "penolakan" Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X terhadap rencana pembangunan jalan tol yang membelah Kota Yogyakarta.

Apakah kemudian Mendagri akan melengserkan Sri Sultan?

Jika demikian, jangan-jangan nanti seperti masa Orde Baru di mana daerah harus selalu sendiko dawuh terhadap pemerintah pusat.

Lalu apa gunanya desentraliasi yang kita gelorakan di awal reformasi? Kepala daerah yang paling tahu kebutuhan daerahnya yang diselaraskan dengan aspirasi rakyatnya.

Pemerintah pusat tidak boleh menggunakan tangan besi untuk memaksakan kehendaknya karena mungkin saja program yang ditawarkan tidak sesuai dengan kondisi setempat, baik geografis maupun kultur masyarakatnya.

Karena adanya keanehan keanehan itu sehingga banyak yang curiga bahwa UU Omni Buslaw yang didalamnya juga mengatur soal pemberhentian Gubernur/ Bupati dan Walikota hanya dijadikan sebagai alat untuk menghentikan langkah pejabat daerah yang tidak “sejalan” dengan keinginan Pusat.

Termasuk tentunya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan atau Gubernur Sumatera Utara, benarkah demikian? Wallahu a’lam.

Penulis: Ali Mustofa
Baca juga :