Toleransi Maryam


[PORTAL-ISLAM.ID] Ponpes Babul Khairat pernah kedatangan tamu dari Inggis. Saya yang menjemput mereka ke Bandara Juanda. Dua orang gadis yang masih muda, kisaran umur 20 tahun-an.

Seorang di antara keduanya adalah perempuan cantik bercadar, namanya Maryam.

Lho, dari mana tahu, kalau Maryam cantik, dia kan bercadar? Tidak susah untuk mengetahui seorang perempuan bercadar itu cantik atau tidak. Karena sorot mata saja sudah bisa mengirim pesan bahwa pemilik mata tersebut berparas ayu.

Bahkan, andai matanya tak tampak sekalipun, tutur kata, bahasa dan sikap sudah cukup memberi kabar akan kecantikan.

Tapi, catatan ini dibuat bukan untuk membahas kecantikan dan indahnya akhlak Maryam. Lantas apa yang akan saya ceritakan? Baca saja sampai tuntas!

Agenda pertama setelah mendarat di Juanda adalah ziarah ke Makan Sunan Ampel.

Senja sudah redup. Waktu menunjukkan 17.00, berarti setengah jam lagi adzan maghrib untuk Surabaya dan sekitarnya akan tiba.

Saya buka Sham FM di radio. Mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al Qur`an. Masuk Jalan Ahmad Yani, kami dijebak macet. Mobil bergerak merambat.

Tepat di depan RSI, adzan di radio pun berkumandang. Setelah berembug dengan seisi mobil, kami sepakat untuk shalat maghrib dan isyak dijamak ta`khir saja.

Namun belum berlalu enam puluh detik kesepakatan yang kami buat, seorang teman memberi tahu bahwa Maryam bermadzhab Hanafi. “Shalatnya tidak boleh dijamak." katanya.

Mengetahui kenyataan itu, saya segera berpikir, mencari masjid terdekat. Biar Maryam bisa shalat sebagaimana mestinya, sementara saya dan yang lain bisa sekalian jamak taqdim saja.

Tapi ternyata justru Maryam yang tidak mau, “Oh, tidak masalah kok, walau madzhab saya tidak membenarkan shalat jamak, tapi gak apa-apa, kalau kalian sudah sepakat jamak ta`khir, saya ikut saja," katanya.

Perhatikan, bagaimana gadis sebelia Maryam mengedepankan toleransi. Satu mobil bersama orang-orang yang bermadzhab Syafi'i ia mengenyampingkan hal furu'iyyah yang diyakininya.

Tapi, justru kebesaran jiwa Maryam tersebut, malah melecut saya, semakin saya membulatkan tekad untuk shalat maghrib saja dulu, sebelum melanjutkan perjalanan.

Kalau Maryam yang masih belia saja mempunyai toleransi yang sedemikian tinggi, kenapa saya yang jenggot sudah mulai memutih, tidak bisa melakukan kebaikan yang sama.

Saya harus mengulang, bahwa sebenarnya kalau urusan toleransi antara kita itu sudah tuntas. Toleransi antara sesama ummat Islam yang berbeda madzhab. Ataupun toleransi antara pemeluk agama yang berbeda-beda.

Terlebih kalau toleransi tersebut masih dalam bingkai bangsa dan negara yang sama. Lha dengan mereka yang berbeda bangsa pun kita tetap dituntut untuk saling toleransi.

Toleransi adalah satu di antara visi besar Islam yang memberikan mandat kepada pemeluknya untuk menjadi khalifah di bumi.

Bumi ini berisi macam-macam. Macam-macam manusia. Macam-macam suku, bahasa, budaya, bangsa dan Negara. Tidak bisa untuk disamakan. Mustahil untuk disatukan. Sebab itu menyalahi sunnatullah.

Maka, tantangan sesungguhnya bagi seorang pemimpin, adalah yang mampu mengelola segenap perbedaan orang-orang yang dipimpinnya dalam sebuah harmoni dan beragam dinamika yang indah.

Bukan pemimpin yang main usir kala berbeda. Bukan pemimpin yang main hukum kala berbeda. Bukan pemimpin yang main tangkap kala berbeda. Sebab kepemimpinan semacam ini adalah warisan Fir'aun!

Jum'at, 06/12/2019

Ustadz Abrar Rusdi Rifai
(Pengasuh Ponpes Babul Khairat, Malang)

*Foto: Ilustrasi

Baca juga :