[PORTAL-ISLAM.ID] Myanmar diadili di Mahkamah Internasional di Den Haag dan harus menjawan tuduhan bahwa militer di negara tersebut "melakukan genosida atau pembunuhan besar-besaran" terhadap warga minoritas Muslim Rohingya.
Ribuan minoritas Rohingya dibunuh dan lebih dari 700.000 terpaksa melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh dalam operasi militer tahun 2017 di negara berpenduduk mayoritas Buddha ini.
Pemimpin de facto Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, menjawab sendiri tuduhan tersebut dalam sidang hari Rabu (11/12/2019).
Suu Kyi dan timnya harus terbang ke Den Haag -- dan menjadi pusat perhatian masyarakat internasional -- setelah Gambia, negara di Afrika, membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional.
"Hari ini Republik Gambia meminta Anda untuk mendengar tangisan genosida dan tangisan permintaan tolong ini," kata Aboubacarr Tambadou, yang juga menteri kehakiman Gambia, memulai argumennya dengan kata-kata penuh emosi di Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ), Selasa (10/12/2019).
"Saya berdiri di hadapan Anda hari ini sebagai wakil dalam perselisihan dengan negara Myanmar untuk membangkitkan hati nurani dunia dan membangkitkan suara komunitas internasional. Seperti perkataan ahli filsafat dunia Edmund Burke: 'Satu-satunya hal yang diperlukan untuk kemenangan kejahatan adalah orang-orang baik yang tidak melakukan apa-apa'," ungkap Aboubacarr Tambadou.
[Video - Pernyataan Aboubacarr Tambadou]
Tuduhan genosida terhadap pemerintahan Myanmar ini mendapat dukungan dari 57 anggota negara organisasi konferensi Islam (OKI) dan satu tim pengacara internasional, tetapi Tambadou inilah yang menjadi motor penggerak utama.The Gambia has taken Myanmar to court to defend the Rohingya pic.twitter.com/DBuuvR36tL— IlmFeed (@IlmFeed) December 12, 2019
Tindakan tentara Myanmar dan pemimpin de facto mereka Aung San Suu Kyi selama ini banyak mendapat kritik. Beberapa bahkan mendesak komite Nobel untuk menarik kembali hadiah yang pernah diberikan kepada Suu Kyi.
Namun negara yang memimpin langkah hukum ini adalah Gambia, negara kecil di Afrika Barat yang jaraknya lebih dari 11.000 km dari Myanmar.
"Kenapa kita harus menunggu yang lain untuk mengambil tanggung jawab ini?" kata Aboubacarr Tambadou.
"Hukum internasional tidak hanya untuk negara kaya dan berkuasa, ini adalah untuk semua negara berdaulat. Kita tak perlu punya militer dan ekonomi yang kuat untuk mengejar keadilan, untuk melakukan hal yang benar," katanya kepada BBC World Service.
Pengacara yang beralih jadi politisi ini dikenal karena pernah menuntut penjahat yang terlibat dalam genosida di Rwanda.
"Gambia mengutuk genosida yang dilakukan Myanmar terhadap warganya sendiri. Saya rasa komunitas internasional harus melakukannya. Dunia sudah gagal terhadap Rwanda tahun 1994. Kini kita gagal lagi terhadap Rohingya."
Ini untuk pertama kalinya negara tanpa hubungan langsung dengan kejahatan yang dituduhkan membawa kasus seperti ini ke Mahkamah Internasional dengan menggunakan keanggotaan mereka dalam Konvensi Jenewa.
Tambadou mengunjungi Bangladesh bulan Mei 2018 dan mengunjungi kamp pengungsi Rohingya. Ini memotivasinya berjuang untuk para pengungsi.
"Ketika saya dengar kisah-kisah pengungsi di kamp, saya bisa mencium aroma genosida dari Myanmar," ujarnya.
Ia marah ketika melihat dan mendengar langsung dari pengungsi, kemudian ia bertekad untuk mengambil tindakan mengakhiri penderitaan saudara-saudara muslminya itu.
"Saya langsung berpikir, sesuatu harus dilakukan," katanya.
Ia mendengar cerita tentang ketidakberdayaan warga Rohingya menghadapi pembunuhan massal, pemerkosaan dan penyiksaan massal, serta anak-anak dibakar hidup-hidup ketika sedang "berlindung di dalam rumah dan tempat ibadah".
Di Mahkamah Internasional, diungkap dokumen yang memperlihatkan pembunuhan massal di kota Maungdaw di negara bagian Rakhine, di mana militer Myanmar, yang dikenal dengan nama Tatmadaw, memerkosa dan membunuh ratusan warga sipil minoritas Rohingya.
Pengadilan juga mendengar kesaksian dari perempuan yang berhasil melarikan diri dari serangan. Kesaksian ini dihadirkan di pengadilan melalui penasehat hukum untuk Gambia, Andrew Loewenstein.
Bicara kepada BBC, ex Kepala Badan Kemanusiaan PBB Zeid Raad al-Hussein mengatakan Gambia telah mengajukan kasus yang kredibel tentang adanya niatan untuk melakukan genosida.
"Ada dua unsur yang jelas terbukti. Salah satunya adalah pembatasan yang jelas yang dikenakan kepada etnis Rohingya: pembatasan untuk menikah, untuk punya anak, pembatasan untuk berpindah tempat, kamp penahanan dan seterusnya. Satu lagi adalah terus menerus memperlakukan Rohingya secara tidak manusiawi dan menjelek-jelekkan mereka," katanya.
Tambadou ingin Myanmar mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara dan menjamin keamanan mereka yang ingin kembali ke kampung halaman mereka di negara bagian Rakhine.
"Yang Gambia inginkan adalah agar Myanmar berhenti membunuh orang-orang Rohingya," tegas Tambadou.
Keputusan akhir mahkamah internasional soal tuduhan genosida yang dilakukan negara Myanmar ini mungkin akan memakan waktu bertahun-tahun. Namun, Gambia sudah memulai langkahnya menyadarkan dunia.
Sumber: BBC, dll
Rakyat Gambia mengapresiasi Mahkamah Internasional dgn diadilinya Myanmar atas genosida umat muslim Rohingya— Lambe Murah (@BambangPeha) December 11, 2019
Gambia adalah negara yg menggugat Myanmar di Mahkamah Internasional atas pembantaian suku Rohingya
. pic.twitter.com/CeRes8sjBq