Apa Makna Bahasa Diplomatis Dubes Esam?


Apa Makna Bahasa Diplomatis Dubes Esam?

Oleh: Haz Pohan
(Mantan Dubes RI untuk Polandia, Pemred Daily News Indonesia)

ADA yang menarik ketika Menko Polhukam Mahfud MD menerima kunjungan Dubes Kerajaan Saudi Arabia (KSA) untuk Indonesia, Esam A. Abid Althagafi, Senin (25/11), berkaitan dengan masalah pencekalan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Imam Besar Habib Rizieq Shihab (HRS).

Sebagai latar-belakang, pejabat Indonesia hampir seragam mengatakan bahwa HRS tidak bisa kembali ke Indonesia karena menghadapi masalah dengan KSA di negeri pengasingan sukarelanya sejak lebih dari dua tahun yang lalu.  HRS adalah salah satu ulama besar terkemuka di Indonesia yang aktif memimpin umat Islam untuk menyuarakan kebenaran.

“Silahkan beliau menyelesaikan masalahnya dengan Pemerintah Saudi yang melakukan pencekalan terhadap dirinya.  Pemerintah Indonesia tidak mencekal beliau, kata Dirjen Imigrasi, Menlu, dan bahkan Menko Polhukam.

Benarkah isi penjelasan Pemerintah Indonesia ini?

Dubes Kerajaan Saudi Arabia untuk Indonesia, Esam A. Abid Althagafi, mengatakan secara diplomatis ketika ditanya wartawan bahwa ‘bola masalah’ HRS ada di pihak Indonesia, dan bahwa masalah itu sedang dinegosiasikan petinggi kedua negara.

Diplomat faham arti bahasa itu. Ketika pertanyaan diarahkan ke Menko Polhukam, Mahfud mengesankan tidak disertakan dalam negosiasi itu.

“Negosiasinya tidak [melibatkan] saya,” kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (25/11/2019).

Dubes Esam faham bahwa masalah ini sensitif, karena itu dia menyebut masalah Rizieq saat ini “sedang dinegosiasikan oleh otoritas tinggi Saudi dan Indonesia” yang mengisyaratkan masalah ini tidak sederhana.  Ada komunikasi yang tengah berlangsung.  Tentang apa? Ya, mengenai kejelasan status HRS yang menyangkut keinginannya untuk bisa atau tidak pulang ke tanah air.

Secara diplomatis Dubes tidak menyebut keberatan terhadap kepulangan HRS itu pada pada pihak Indonesia, dan pernyataan tacit ini tidak dibantah oleh Menko Polhukam.

Tetapi di sisi lain, dia tidak mengatakan HRS memiliki masalah dengan Pemerintah Saudi sehingga pencekalan bukan berasal dari pemerintah Saudi.

“Mungkin (ada negosiasi). Kan pemerintah banyak. Kan ada 34 kementerian, yang paling tinggi ada dua,” kata Mahfud, tanpa menyebut eksplisit Presiden dan Wapres.  Masalah HRS dinegosiasikan pada tingkat setinggi ini?  Bisa saja, karena Menko pun tak dilibatkan.

Masalah terkendalanya kepulangan HRS menjadi polemik setelah sebuah video yang beredar di media sosial, yang memperlihatkan HRS memegang sebuah surat yang disebutnya sebagai “surat pencekalan”. Surat itu, menurut Rizieq Shihab, penjelasan pemerintah Saudi yang menjadi bukti dan menjelaskan mengapa dia tidak bisa pulang ke Indonesia.

Dirjen Imigrasi menegaskan tak pernah mengeluarkan surat pencekalan. Menko Polhukam Mahfud MD mengaku sudah menerima salinan surat itu dari pengacara Imam Besar Front Pembela Islam Rizieq Shihab.  Mahfud mengatakan surat di tangan HRS itu bukan lah surat pencekalan dari pemerintah Indonesia. Jelas, itu bukan surat dari Pemerintah RI.

Pengacara HRS, Sugito, juga mengakui bahwa surat pencekalan yang dipegang Rizieq dalam videonya itu bukan dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. Sugito mengatakan, surat itu dikeluarkan penyidik umum di Kantor Intelijen Arab Saudi. Tetapi, secara eksplisit Sugito tetap menduga kuat bahwa pencekalan dari pemerintah Saudi yang tidak memperbolehkan Rizieq keluar Saudi adalah karena permintaan pemerintah Indonesia.

Bahasa Diplomatik

Bahasa diplomatik itu seperti bahasa di istana kerajaan.  Tidak ada eksplisit, semua tersamar.  Bahasa diplomasi itu berisyarat karena sensitif.  Ada pertaruhan hubungan antar-negara di dalamnya.  Salah-salah ngomong seorang diplomat bisa kena persona non grata, atau ditarik pulang ke capital.

Tetapi, meskipun ‘kata bersayap’ esensi bahasa diplomasi itu dapat difahami. Diplomat pasti memahami konteks dan pesan yang ingin disampaikan.  Mungkin publik hanya mereka-reka.

Dalam beberapa kesempatan, saya pernah berbagi tentang bahasa diplomasi.

“Diplomat tidak pernah meminta maaf, karena jika dia menyatakan permohonan maaf maka itu artinya ‘negara’ yang meminta maaf. Diplomat meminta maaf kepada pemerintah negara akreditasi atas izin menteri luar negeri.”  Ini hampir tak pernah terjadi, sepengetahuan saya.  Ada reputasi, gengsi, harga-diri bangsa dan negara menjadi taruhan di sini.

“Diplomat tidak memiliki pendapat pribadi.  Diplomat tidak mengatakan: “Menurut hemat saya..”  Karena, apa yang disampaikan oleh diplomat itu adalah pendapat atau opini pemerintah negeri yang diwakilinya.  Jadi jika seorang Dubes Saudi mengatakan: “HRS adalah tamu kehormatan KSA,” ini bukan pendapat pribadinya.  Diplomat membuat statement atas instruksi Pusat dan telah mendapat ‘clearance’.

“Diplomat tidak pernah mengatakan ‘tidak’. Bila dia bilang ‘yes’ itu artinya ‘maybe’, jika dia bilang ‘maybe’ itu artinya ‘no’.  Kenapa tidak langsung bilang ‘no’? Maka dia bukan seorang diplomat “because diplomats will never say no!”

Maka ada yang memperbandingkan terbalik dengan wanita.  Wanita tidak pernah mengatakan ‘yes’.  Jika dia bilang ‘no’ itu artinya ‘maybe’. Jika dia bilang ‘maybe’ itu artinya yes.  Kenapa tidak langsung bilang ‘yes’ jika diajak dinner? Jika dia langsung menjawab ‘yes’, itu bukan karakter wanita.

Tentu saja, itu jokes di antara para diplomat, bukan ‘offense’.

Maka apa makna statement Dubes Esam Althagafi, bahwa ‘bola masalah’ HRS ada di pihak Indonesia dan ‘masalah itu sedang dinegosiasikan oleh petinggi kedua negara’ menjadi pesan yang jelas di kalangan diplomat.

Wartawan berspekulasi memang ada ‘permintaan khusus’ pemerintah Indonesia agar HRS jangan pulang dulu karena ‘alasan keamanan’ tanpa menjadi jelas dan eksplisit masalah keamanan yang melekat dengan kepulangan HRS itu.  Dugaan wartawan HRS ingin tampil dalam acara Reuni 212 dan ini ‘berbahaya’.

Karena adanya ‘permintaan khusus’ itu pula, HRS mengirimkan surat kepada Pemerintah KSA mengenai statusnya yang ‘abu-abu’ mengapa dirinya tak boleh melakukan perjalanan ke tanah airnya.  Surat jawaban itu yang dipamerkan HRS kepada media dan viral di kalangan sosial media.

Pihak Saudi pun tak mau ‘mendapat tekanan’ masyarakat Indonesia terutama kaum Muslim yang protes kepada Kedubes Saudi jika seorang tokoh dan Imam Besar itu dibuat bermasalah di negeri Rasulullah itu. Pesan yang disampaikan oleh Dubes Saudi itu jelas: “Kami tak punya masalah dengan HRS. Masalah ini ada di sini!”

“HRS adalah tamu kehormatan kami.  Dia bisa tinggal di Saudi sampai kapan dia menginginkan,” menjadi pernyataan bahwa ‘pencekalan’ atau ‘overstay’ adalah imajinasi pejabat Indonesia.

Umat yang merindukan kehadiran Imam Besar juga merasa dirugikan dengan kebijakan yang mengekspresikan ‘tidak hadirnya negara’ dalam memberikan perlindungan hukum kepada warganegara, dalam situasi apapun.  Habib tidak memiliki masalah hukum, kenapa tidak boleh pulang?

Menlu Retno pada pertemuan dengan Komisi I DPR menyatakan bahwa “salah satu masalah prioritas Kemlu adalah masalah perlindungan terhadap WNI di luar negeri”. Tetapi mengapa perlindungan terhadap WNI yang telah dijamin Konstitusi dan UU itu tidak berlaku bagi HRS?, tanya masyarakat.

Menlu Retno Marsudi pun tidak menjawab eksplisit pertanyaan anggota DPR mengenai status pencekalan HRS yang sudah berjalan lebih dua tahun tanpa kejelasan.

Anggota Komisi I Fadli Zon yang dikenal rajin melontarkan kritik pada pemerintah bertanya mengapa sejumlah UU terkait jaminan bagi perlindungan WNI di luar negeri tidak berlaku bagi HRS? Tanpa penjelasan. Yang ada kesimpangsiuran.

Menlu Retno menjawab pertanyaan itu ‘off the record’ yang semakin mencurigakan wartawan bahwa memang ada ‘pencekalan’ atau setidaknya permintaan khusus kepada pemerintah Saudi agar HRS jangan pulang dulu.[]

*Sumber: DailyNewsIndonesia


Baca juga :