WADUH! Riset Terbaru UNGKA: Dana Pembangunan Pariwisata Lebih Besar Dibandingkan Dana Penaggulangan Bencana


[PORTAL-ISLAM.ID] Pada tanggal 6 November 2015; surat bernomor B-652/Seskab/Maritim/11/2015 terbit. Subjek yang terlampir cukup singkat: Arahan Presiden mengenai Pariwisata.

Di dalam surat arahan dari Istana tersebut diketahui kemudian bahwa sejumlah kementerian/lembaga (K/L) terkait; dari mulai Kementerian Koordinator Kemaritiman, Kementerian Pariwisata, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian BUMN, Kementerian ESDM, Kementerian Hukum & HAM serta sejumlah kepala daerah, diminta untuk ‘segera melakukan langkah - langkah yang diperlukan’ untuk mencapai target pembangunan pariwisata.

Salah satu arahan yang disampaikan Presiden dalam surat itu meminta agar K/L mengusahakan penyertaan modal negara untuk pengembangan infrastruktur kawasan wisata Mandalika (NTB); beserta sembilan destinasi pariwisata lain yang kemudian disebut 10 Bali Baru (10 Destinasi Prioritas Pariwisata), dengan harapan mampu menarik 20 juta wisatawan mancanegara (wisman) dan memberikan kontribusi hingga 15% pada pendapatan negara di tahun 2019.

Tiga hari sebelum surat itu terbit, BMKG dan Volcanic Ash Advisory Center (VAAC) - Australia melaporkan bahwa Gunung Rinjani (3,726 mdpl) kembali meletus (3 November 2015). Gunung berapi aktif yang berjarak 3 jam durasi perjalanan dari Terminal Mandalika tersebut meletus beberapa kali, dan menyebabkan hujan abu tipis di sekitar Lombok Utara.

Kementerian Perhubungan - berdasarkan keterangan Sutopo (BNPB) - menerbitkan surat peringatan (Notice to Airmen No. A2468/15) untuk menutup sementara tiga bandara; Ngurah Rai Airport - Bali (DPS), Selaparang Airport - NTB (AMI) dan Blimbingsari Airport - Jawa Timur (kembali dibuka 5 November, 14.30 WITA). Total ada 692 rencana penerbangan, 320 diantaranya adalah penerbangan internasional, yang dibatalkan selama penutupan (4 - 5 Nov).

Air Asia - salah satu maskapai low cost carrier/LCC paling laris - sampai membatalkan 66 rencana penerbangan akibat erupsi Gunung Rinjani selama masa ‘buka tutup’ bandara tersebut.

Masalahnya, salah satu bandara yang ditutup adalah Ngurah Rai Airport, bandara kedua tersibuk di Indonesia dengan total pergerakan penumpang sebesar 17 juta lebih (PT. Angkasa Pura 1). Ngurah Rai adalah ‘pintu masuk utama’ bagi wisman untuk mengenal Indonesia ‘lebih dekat’; dengan total kunjungan mencapai angka hampir 4 juta (Statistik BPS 2015).

Tak hanya bisnis penerbangan yang tepok jidat akibat ‘buka tutup’ bandara selama erupsi, bisnis pariwisata di Bali dan Lombok turut merugi. Kepala Dinas Pariwisata Bali, Agung Yuniartha menyatakan sekitar 25,000 wisman batal mendarat di Bali hari itu dengan angka kerugian mencapai angka 45 miliar rupiah. Termasuk dengan kerugian di Lombok yang ditaksir sebesar 1 - 1.5 miliar rupiah/hari dari sektor perhotelan saja menurut Ketua Asosiasi Hotel Mataram Reza Bovier.

Dua kejadian yang hampir beriringan di penghujung 2015 tersebut menunjukkan sebuah ‘simbiosis’: bahwa semangat pengejaran target pendapatan wisata dari kunjungan turis akan terganggu dengan kejadian bencana yang membatalkan rencana perjalanan wisatawan ke tempat - tempat pelesir.

Namun sederet target dan capaian ambisius Joko Widodo untuk mengerek PDB (pendapatan domestik bruto) dari sektor pariwisata nyatanya timpang dengan semangat pemerintah untuk meminimalisir resiko akibat bencana di seluruh Indonesia - tak terkecuali resiko bencana yang juga mengintai titik - titik destinasi liburan. 

Lonjakan Anggaran demi Indonesia yang Wonderful

Menteri Pariwisata, Arief Yahya bekerja cepat demi mengikuti arahan presiden. Di dalam surat yang ditandatangani oleh Pramono Anung (Setkab), Arief wajib melaporkan perkembangan rencana pengembangan 10 Bali Baru secara berkala (3 bulan sekali) kepada presiden.

Bersamanya, ada 7 Kementerian dan 10 Kepala Daerah tingkat Provinsi yang dibekali tugas sebagai berikut:

Arahan Presiden tersebut mengacu pada Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional/RIPPARNAS (PP No. 50/2011) untuk jangka waktu 15 tahun. Rencana pembangunan 88 kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) yang diterbitkan semenjak Kabinet Indonesia Bersatu jilid II tersebut memang sedari awal dikehendaki untuk mendorong Indonesia sebagai negara destinasi pariwisata kelas dunia, dengan perencanaan sebagai berikut:

Peraturan ini kemudian menjadi dasar bagi penyusunan Rencana Strategis Kementerian Pariwisata empat tahunan (2011 - 2014 dan 2015 - 2019).  Secara garis besar, ada empat aktivitas yang akan menjadi fokus kerja pembangunan pariwisata hingga akhir tahun 2025. Pertama, pembangunan infrastruktur (aksesibilitas, amenitas dan atraksi). Kedua,Promosi dan Pemasaran Pariwisata Indonesia (menarik pasar turis mancanegara, peningkatan daya saing dan kredibilitas keamanan destinasi wisata). Ketiga, Investasi pembangunan destinasi wisata. Keempat, penguatan sumber daya manusia dan stakeholders industri pariwisata.

Seperti diurai dalam presentasi Arief Yahya “Pembangunan Pariwisata dan Infrastruktur” (Mataram, 8 Februari 2016) kepada awak media, sektor pariwisata masuk ke dalam lima sektor prioritas pembangunan Kabinet Kerja Jokowi; bersama dengan Infrastruktur, Maritim, Energi dan Pangan (IMEPP) yang juga turut dipercepat pengerjaannya. Ini terlihat dari postur Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) 2016 yang diketok parlemen pada tanggal 31 Oktober 2015. Alokasi belanja pemerintah pusat untuk pariwisata (dan bersama ekonomi kreatif) yang semula berada di kisaran angka 2 triliun rupiah (2013 - 2015) melesat hampir 4 kali lipat di tahun 2016 menjadi 7.34 triliun rupiah dengan rata - rata pertumbuhan alokasi sebesar 45%/tahun.

Secara umum alokasi fungsi pariwisata (2016 - 2019) hanya menelan sekitar 0.45% dari total belanja pemerintah (BPP). Namun tidak hanya fungsi pariwisata sendiri yang berkontribusi terhadap empat aktivitas fokus kerja pembangunan pariwisata. Belanja infrastruktur (aksesibilitas, amenitas serta atraksi) di dalam aktivitas pertama juga melibatkan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR): dua kementerian yang turut bertugas mengawal fungsi ekonomi dalam penganggaran, dengan alokasi anggaran terbesar kedua (rata - rata 24.4%)  dari Belanja Pemerintah Pusat (2016 - 2019), setelah fungsi pelayanan umum.

Seperti penugasan dalam pembangunan destinasi pariwisata; kedua kementerian ini juga ditugasi untuk mengerek pertumbuhan lewat sejumlah pembangunan sarana dan prasarana umum (jalan tol, jembatan, infrastruktur air, perumahan) serta ketersediaan moda transportasi di tiga matra: darat, laut dan udara. Anggaran ketiga kementerian tersebut juga turut meroket seiring dengan rencana Joko Widodo untuk membangun destinasi pariwisata berkelas dunia.

Anggaran diatas belum termasuk dengan total pinjaman luar negeri yang ditandatangani oleh Luky Afirman (Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan) pada tahun 2018. Tercatat dua lembaga yang memberikan pinjaman: Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD/World Bank).

Total pinjaman keduanya mencapai angka 7,9 triliun rupiah, untuk masa pengerjaan selama 4 tahun Pinjaman tersebut rencananya dialokasikan kepada pembangunan 3 (tiga) KSPN: Danau Toba (Danau Toba), Mandalika (NTB) dan Borobudur (Jawa Tengah). Ketiganya merupakan destinasi wisata super prioritas, bersama dengan dua KSPN lainnya: Labuan Bajo (NTT) dan Likupang (Sulawesi Utara). Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) - satuan kerja dibawah PUPR - juga ditunjuk untuk segera menyusun Integrated Tourism Masterplan Program (ITMP) di tiga KSPN tersebut.

Sekilas, segala rencana besar untuk segera menjadikan Indonesia sebagai destinasi pelesir kelas dunia tinggal menghitung tahun. Bagi yang membayangkan berswafoto sembari berjemur di Kepulauan Karibia, atau bersantai sambil baca buku di pinggiran danau Como (Italia) dan mungkin menyaksikan Lewis Hamilton kebut - kebutan di Monaco, imajinasi itu bakal segera terwujud.

Namun seberapa besar kemampuan resiliensi dan adaptasi bagi ‘calon - calon’ destinasi pariwisata kelas dunia ini dalam menghadapi bencana? Sudahkah ia mampu meminimalisir dampak bencana; baik untuk keselamatan turis lokal dan asing, maupun keberlanjutan industri pariwisata saat bencana menghadang?

Mitigasi Berbasis Takdir: (Be) Careful Indonesia

Seperti disampaikan dalam Rencana Strategis Kementerian (2015 - 2019), belum ada dampak yang pasti dari bencana pada pariwisata. Entah kepada siapa Kementerian Pariwisata, sebagai koordinator Strategis Lintas Sektor Pariwisata, menyusun analisis dan potensi bencana dan dampaknya bagi pariwisata.

Namun kita bisa bersepakat, bahwa dalam konteks keselamatan publik dan menghindari kerugian lebih besar akibat bencana,mitigasi tidak bisa diserahkan begitu saja kepada takdir dan kehendak semesta.

Kerugian yang dialami Dinas Pariwisata Bali dan Kepala Asosiasi Hotel Mataram adalah satu contoh bagaimana kegagalan memahami simbiosis antara potensi kepariwisataan dan ancaman bencana bisa menjadi penghambat dalam mencapai sederet target menjadikan pariwisata sebagai sumber devisa negara nomor wahid.

‘Mitigasi bencana berbasis takdir’ inilah yang jadi simpulan awal, bahwa rencana pembangunan wisata Indonesia TIDAK memiliki resiliensi dan adaptasi terhadap potensi bencana yang mengintai Indonesia.

Dari mulai potensi bencana geologi (gempa, tsunami, erupsi dan tanah longsor) hingga potensi bencana yang disebabkan akibat perubahan iklim (climate change) seperti cuaca ekstrem, gelombang pasang, dan angin kencang, jadi salah satu tantangan penting yang semestinya mendapat perhatian lebih dalam penyusunan rencana pembangunan pariwisata Indonesia yang ‘mendaku’ sudah mendapat predikat sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism).

Semenjak dikebut tahun 2016, khususnya pada aktivitas pembangunan infrastruktur penunjang konektivitas dan fasilitas umum belum dilengkapi dengan standar - standar kebencanaan. Bersumber dari keterangan Kepala Pusat Perencanaan Infrastruktur Kementerian PUPR Bobby Prabowo, diketahui pada tahun 2018 Kementerian PUPR baru akan membahas rancangan peraturan menteri untuk infrastruktur tahan bencana dan perubahan iklim sebagai pedoman bagi kontraktor, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat dalam pembangunan infrastruktur.

Berbanding terbalik dengan anggaran pariwisata yang terus meroket, justru lembaga - lembaga koordinasi pengurangan resiko bencana, lewat pemberitahuan dini dan pemeliharaan alat deteksi bencana tidak mendapatkan perhatian yang sebanding. Malah justru sebagian lembaga tersebut dikurangi anggarannya tiap tahun. Hal ini dialami Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang memiliki tugas untuk memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan keadaan darurat bencana, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Dari penelusuran kami di dalam buku Nota Anggaran APBN yang sama untuk mengukur pertumbuhan anggaran untuk pariwisata, peningkatan potensi bencana di Indonesia dari tahun ke tahun ternyata dibarengi dengan pengurangan jumlah anggaran bagi BNPB setiap tahunnya, hingga hanya tersisa sekitar 600 miliar di tahun 2019. Angka ini dinilaitak mampu bahkan hanya untuk menyusun sistem peringatan dini semata.

Kita masih ingat kisah di tahun 2018,  saat publik geger tatkala mengetahui buoy (alat deteksi tsunami) dicuri. Padahal menurut Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT Hammam Riza, realitanya lebih parah: sejak tahun 2016 sudah tidak ada lagi buoy yang berfungsi, dan praktis Indonesia hanya bergantung dari buoy milik India, Thailand, Australia dan Amerika Serikat. Tak ayal, keterlambatan peringatan dini di Donggala dan Banten (2018) tak banyak mengurangi jumlah korban jiwa yang terlambat mengetahui kedatangan tsunami yang begitu cepat.

Meskipun alokasi lembaga lain dianggap cukup meningkat, namun dianggap tidak cukup untuk menyusun rencana mitigasi bencana yang tidak hanya membutuhkan kelembagaan semata; namun juga sistem deteksi dini, serta biaya pemeliharaan, penyediaan informasi secara berkala kepada publik, serta rencana - rencana pencegahan dan pengurangan risiko bencana yang terus mengancam.

Keluhan (Alm.) Sutopo (BNPB) dan Hammam Riza - seperti dilansir dari Tirto.id - atas kurangnya alokasi anggaran untuk pengurangan risiko bencana jelas beralasan; mengingat alat deteksi bencana tidaklah murah. Untuk pengadaan 25 buoy yang

digunakan BMKG untuk deteksi dini saja memakan biaya kisaran 200 miliar rupiah, beserta dengan perawatan. Belum termasuk dengan pengadaan Cable Based Tsunameter (CBT) untuk mendeteksi gempa dan tsunami dari bawah laut yang bisa menelan biaya sebesar 20 triliun rupiah (panjang 2,000 km).

Justru penganggaran bencana, lebih besar porsinya pada tahapan penanggulangan (countermeasures); dari mulai proporsi alokasi anggaran terhadap BASARNAS yang lebih besar dibanding badan lain yang punya tupoksi penyusunan rencana mitigasi dan penyediaan informasi. Ini belum termasuk alokasi Kementerian Keuangan yang besar kepada dana on-call, alias dana taktis yang digunakan saat darurat bencana yang mencapai angka 15 triliun di tahun 2019 untuk keperluan antisipasi dan rekonstruksi.

Patut dicurigai; bahwa selama ini penggunaan kata mitigasi bencana di Indonesia hanyalah sebuah klaim, mengingat dari segi penganggaran hanya aktivitas penanggulangan (countermeasures) yang jadi pegangan - sedang pengurangan risiko bencana belumlah eksis dalam sistem manajemen bencana di Indonesia; ditilik dari persiapan pembangunan destinasi pariwisata yang minim rencana mitigasi bencana.

Kiranya beberapa kali menghadapi bencana besar seperti erupsi Gunung Rinjani (2015), erupsi gunung Agung (2017), gempa Lombok (2018) dan tsunami Selat Sunda (2018) tidak membuat Joko Widodo beserta jajarannya berhati - hati; bahwa simbiosis antara potensi bencana dan pariwisata adalah potensi ancaman bagi segudang target mengejar jumlah turis. Belum lagi biaya rehabilitasi infrastruktur kembali yang rusak, jelas akan mengambil porsi anggaran yang juga tidak sedikit.

Justru pengurangan anggaran kebencanaan jadi ‘antinomi’ bagi semangat pembangunan destinasi pariwisata berkelas dunia; saat pemerintah Indonesia tidak mampu membangun tempat wisata yang aman dari ancaman bencana bagi wisatawan lokal, maupun mancanegara, dan terus mengeruk penerimaan devisa dari jumlah wisatawan dan durasi tinggal mereka di tempat wisata.

Entah citra pariwisata apa yang hendak dibangun Indonesia di mata dunia; karena saat berlibur pun kita tetap ‘dikuntit’ bahaya.

 Sumber: Hakasasi
Baca juga :