Pemerintah Kirim Santri ke China, Mau Unjuk Gigi Santri Di Negeri Komunis Atau Bermanis Muka?


Oleh: Chusnatul Jannah
(Aktivis Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Kemenag dan Kemenlu telah mengirim 10 santri ke Tiongkok pada Senin (25/11/2019). Tujuannya, untuk memperkenalkan lembaga pendidikan Islam yang toleran, moderat, dan inklusif. Program ini merupakan ajang unjuk gigi Indonesia dalam merawat perdamaian dunia. Program ini ditujukan untuk menangkis anggapan masyarakat internasional terkait pendidikan Islam yang menjadi lahan subur kelompok radikal.

Terkenal dengan paham komunisnya, apa yang hendak didapat para santri di negeri tersebut? Kecuali mereka berani menyampaikan protes dan  pembelaan terhadap Muslim Uighur. Berani katakan bahwa tindakan membatasi kebebasan beragama di Xinjiang itu radikal dan intoleran.

Tiongkok harus belajar toleransi dari Indonesia. Minoritas Tionghoa di Indonesia justru aman dan bebas beribadah. Mengapa saudara kami, Muslim Uighur, malah dipenjara layaknya penjahat teroris?

Kalaulah lawatan santri membawa pesan perdamaian, Palestina dan negeri-negeri Timur Tengah lebih layak dikunjungi. Rohingnya, Gaza, Kashmir, dan lainnya lebih pantas mendapat perhatian Indonesia dibanding Tiongkok. Bila mau belajar jadi moderat, Tiongkok bukan percontohan. Sebab negara itu justru menampakkan kebengisan terhadap umat Islam.

Pemerintahannya cenderung represif dan diktator. Apa yang mau diteladani? Bukankah mendalami sistem pendidikan Islam harusnya bertolak ke Timur Tengah? Merekalah pusat pendidikan Islam yang sesungguhnya. Di sana banyak terdapat khazanah ilmu Islam. Mereguk ilmu dari negeri yang pernah menjadi pusat peradaban Islam sangatlah bermanfaat. Bukan ke negara komunis.

Hingga saat ini, komitmen Indonesia untuk perdamaian masih terbilang minim. Suara dan gaung untuk umat muslim dunia yang tertindas kosong bunyinya. Andaikata pengiriman santri memberi kabar baik untuk Muslim Uighur, kami apresiasi. Namun bila tidak, itu tak lebih sekadar hanya teori basa basi.

Toleransi itu berani bersuara pada mereka yang menjajah saudara kita. Bukan bermanis muka dengan kapitalis, liberalis, apalagi komunis. Jangan sampai pesan perdamaian itu hanya lips service. Tak berefek sama sekali terhadap peran Indonesia sebagai anggota Dewan Keamanan PBB.

Jangan sampai pula peran ini termandulkan dengan berbagai manuver kebijakan penguasa yang lebih pro asing dan aseng. Sehingga untuk bersuara melawan penjajahan muslim dunia menjadi lembek dan mlempem. Jadilah santri berani! Pembela hak-hak kaum muslim yang dikebiri atas nama moderasi, toleransi, dan inklusi.[RMOL]

Baca juga :