Ade Armando, Dulu Pro-Islamis, Kini Jiwanya "Joker"


ADE 

Senator Ibu Kota, Fahira Idris, mantap melaporkan akademisi Universitas Indonesia, Ade Armando, dalam kasus tindakan penghinaan atas Anies Baswedan. Ade mengunggah profil sosok Joker pada foto resmi Anies sebagai gubernur.

Tingkah Ade, kendati dengan kata-kata dimaknai olehnya sebagai kritik, sungguh "menakjubkan". Sebagai pendidik, ia seperti tak risih memperlakukan kehormatan dirinya. Dan ini bukan kali pertama ia mencari perhatian.

Dengan "imunitas" yang seolah dimilikinya selaku pendengung rezim berkuasa, Ade tampak percaya diri tak terjamah hukum. Bukan tak pernah ada pihak yang melaporkan ke aparat kepolisian tatkala Ade berulah. Tapi, yang terjadi malah jadi kekesalan tersendiri: pelopor yang seakan dipersukar, dan Ade ujungnya aman.

Dengan sosok Kapolri baru, sebagian publik optimis akan ada perubahan aparat dalam mendudukkan polah Ade. Hukum tegak tanpa pandang siapa tersangka. Akankah dalam laporan Fahira yang mewakili kekecewaan sebagian rakyat Jakarta akibat ulah Ade Armando berbuah manis: hukum ditegakkan secara benar dan adil? Ataukah malah sebaliknya?

Kalau melihat ke belakang, apa yang diperbuat Ade sesungguhnya menyedihkan. Bukan bagi korban, bahkan Anies Baswedan tak merasa perlu membalas ulah eks teman satu media di majalah islamis urban: Madina.

Kalau direnungkan mendalam polah Ade, kalimat Joker yang ia sematkan untuk merundung Anies Baswedan sejatinya perwakilan dari kekacauan dan kepayahan jiwa Ade. Ia tak menyadari peranan dirinya kini bukan sebagai protagonis suara rakyat yang sesungguhnya, melainkan cermin kejokeran pada dirinya! Masa lalu yang baik dirusak oleh, entah apa sebab utamanya, hingga ia tak risih dan belum juga sadar: dirinya perbuat kezaliman. Dirinya bertindak biadab. Sayangnya, ia tak merasa, malah memantaskan berbuat begitu.

18 tahun lalu, suami seorang akademisi pula yang akrab disapa Mbak Nina ini masihlah "waras". Waras dalam arti akademis: bicara argumentatif sesuai kapasitas keilmuan dan pijakan logika. Bukan kayak belakangan ini; polahnya menggelikan hingga banyak publik sangka keilmuan Ade tak patut jadi rujukan.

Soal saat waras, banyak pihak respek pada Ade. Semasa itu ia kolumnis di koran tempatnya berkarya: Republika. Bahkan ia duduk di bagian litbang, kalau saya tak lupa. Senyampang itu, ia bergiat memantau tayangan dan konten mesum di media massa. Media Ramah Keluarga (Marka), namanya, bernaung di bawah donasi Habibie Center. Kala itu, dosen komunikasi UI ini acap mendapat teror dari para kaki tangan mafia media cabul. Tapi ia bergeming, cuek dan jalan terus membela ruang publik agar steril dari pornografi.

Nama Ade juga pernah dekat dengan aktivis islamis. Tak heran ia didapuk menulis soal media di majalah Ummi, yang jelas dibidani kalangan harakah Tarbiyah (di kemudian hari, lima tahun terakhir, Ade banyak membongkar soal Tarbiyah; sayangnya ia membaurkan pengalaman pribadi, amatan, dan fantasi bualannya). Namanya jadi satu rujukan soal media yang ramah bagi pembentukan masyarakat Madani. Ia juga pernah nasihati salah satu mahasiswinya yang berprofesi model dan aktor sinetron gara-gara pernah berpose berpakaian renang di majalah dewasa. Misai dan kacamata, meski tiada janggut, sudah memadai menempatkan ia sebagai al-akh. Dan keberadaan Nina kuatkan positioning demikian.

Sayangnya, itu bukan pungkas narasi.

Saya tak tahu sejak kapan persisnya ia "tergelapkan". Tahun 2008, ia masuk di redaksi Madina. Majalah populer keislaman urban dengan corak keislaman lebih inklusif dan "toleran". Ia mulai lantang menulis soal Islam. Bukan lagi soal media massa belaka. Di media yang sama, muncul nama Anies Baswedan, nama yang belakangan ia jahili karena berpihak di "lawan". Dan, tampaknya, dendam Ade belum pudar hingga ia harus menjokerkan Anies.

Saya pribadi memandang, ia hanya alami keterbelahan pribadi. Gamang dalam meneduhkan jiwa. Sayang, ia belum mau jujur. Mending kalau ia habis-habisan merenung pemaknaaan berislam. Bila perlu mulai dari nol, konsep Tuhan, sebagaimana Ibrahim 'alayhis-salam.

Hanya saja dengan melihat artikulasi lisannya, dan tulisannya, berat sungguh ia untuk dihampiri hidayah. Ia seperti menerima informasi dari yang diyakininya belaka. Masukan dari pihak yang berseberangan sepertinya tak dianggap penting. Meski basis argumentasi Ade tak kian canggih, ia masih percaya diri mengoceh soal Islam. Ia bukanlah pakar dan insan berkompeten di soalan syariah. Sayangnya, ia memilih terus memperbodoh diri dengan mantap dus yakin atas ujaran kacaunya. Sering kali begitu.

Tampaknya Ade menikmati mengencingi sumur zamzam. Ia tak perlu ditanggapi sebagai orang normal. Apalagi ketika hukum berpihak pada keabnormalan. Tapi, ini tak menutup ikhtiar menegakkan bersama keadilan. Persis diperbuat Fahira Idris dan kawan-kawan. Semoga kali ini yang terbaiklah bagi umat dan bangsa. Cukup Ade terinsap lantas menekur diri di sisi mihrab masjid Arief Rahman Hakim. Saban waktu.

By Yusuf Maulana [fb]

Baca juga :