Tak Penuhi Syarat Konstitusional, Perppu KPK Tak Bisa Diterbitkan


[PORTAL-ISLAM.ID]  Pakar hukum tata negara, Fahri Bachmid menegaskan, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak bisa diterbitkan. Sebab, saat ini penerbitan perppu tidak memenuhi syarat materiil konstitusional.

“Dapat disimpulkan bahwa langkah mengeluarkan perppu adalah tidak memenuhi syarat materil konstitusional. Presiden tidak dapat mengunakan kewenangan eksklusifnya berdasarkan Pasal 22 UUD 1945,” kata Fahri dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (5/10/2019).

Fahri menyarankan kepada pihak yang kontra terhadap Undang-Undang (UU) tentang KPK untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Langkah paling elok dan tepat adalah mengajukan upaya konstitusional dengan uji materi atas UU KPK setelah diundangkan,” kata Fahri.

Dikatakan, Presiden hendaknya menunggu putusan MK atas uji materi tersebut. Dengan begitu, semuanya menjadi jelas dan tertib dalam tatanan penyelengaraan kekuasaan pemerintahan negara. “Ini demi tegaknya demokrasi konstitusional yang kita anut,” tegas Fahri.

Fahri menjelaskan, Presiden hanya dapat menerbitkan perppu jika dalam keadaan darurat. Secara konseptual, lanjut Fahri, situasi darurat itu didasarkan atas doktrin yang sudah dikenal sejak lama, yaitu prinsip adanya keperluan.

Prinsip yang dimaksud adalah mengakui hak setiap negara yang berdaulat untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan integritas negara. Sekurang-kurangnya, bahaya yang secara potensial sunguh-sunguh mengancam komunitas kehidupan bersama.

“Secara konstitusional, pranata penetapan perppu adalah berdasarkan pada tahapan terjadinya keadaan yang genting, sehingga memaksa Presiden untuk mengambil tindakan secepatnya atau adanya kebutuhan yang mengharuskan,” kata Fahri.

Dikatakan, ketentuan Pasal 12 UUD 1945 tentang keadaan bahaya hanya menekankan pada anasir-anasir kegentingan yang memaksa. Pasal itu tidak menekankan pada sifat dan derajat bahayanya ancaman. Jadi, artinya, tuntutan elemen masyarakat tidak sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme.

“Atau, berpotensi membahayakan lembaga-lembaga demokrasi serta mengancam kewibawaan Presiden sebagai the sovereign power atau Presiden selaku the sovereign executive berdasarkan logika hukum tata negara darurat,” ucap Fahri.

Fahri mengungkapkan, berdasarkan pertimbangan MK, ratio decidendi (alasan-alasan hakim) dalam putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 pada 8 Februari 2010, ada tiga syarat konstitusional sebagai ukuran keadaan kegentingan memaksa.

Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Fahri menyatakan, MK berpendapat bahwa pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 12 UUD 1945 terkait penetapan keadaan bahaya. Namun, keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa.

“Instrumen pembentukan perppu memang ada di tangan presiden dan berdasarkan pada penilaian subjektif presiden, namun bukan berarti hal tersebut bahwa secara absolut merupakan suatu kewenangan tanpa batasan retriksi yuridis,” kata Fahri. [BeritaSatu]

Baca juga :