Pimpinan Gontor KH Hasan Abdullah Sahal: Kita Dijebak dengan Istilah Radikalisme


[PORTAL-ISLAM.ID] Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor KH Hasan Abdullah Sahal, menyoroti tentang istilah radikalisme yang seperti dikampanyekan untuk mendiskreditkan Islam.

"Orang yang menuduh Islam itu radikal, dia itu orang radikal. Islam bukan agama radikal, yang mengatakan Islam radikal, itu radikal," kata KH Hasan Abdullah Sahal dalam wawancara dengan majalah Gontor.

Kutipan Wawancara:

Ada stigmatisasi pesantren sarang radikalisme, bagaimana pendapat Anda?

Di dunia ini tidak ada orang yang tidak radikal. Orang lahir sudah radikal. Orang mempunyai maksud berarti radikal. Radikal jangan ditutup karena semua orang itu radikal. Sekarang, bagaimana orang menyikapi radikalismenya masing-masing. Koperasi dan kebersamaan itu radikal karena anti-investor. Investor itu kapitalis, licik, menzalimi orang. Reklamasi, sawah-sawah diganti gudang-gudang, pertanian dijadikan pabrik demi investasi. Ini radikal. Lupa petani, lupa nelayan, lupa pedagang, dan lain-lain yang semuanya harus diatur oleh investor. Ini namanya investor radikal.

Orang yang harus bertani ini saja, itu juga radikal. Hati mereka radikal semua. Muslim radikal, kafir radikal. Tidak ada setengah kafir, setengah Muslim. Orang yang menuduh Islam itu radikal, dia itu orang radikal. Islam bukan agama radikal, yang mengatakan Islam radikal, itu radikal. Menyuruh tidak usah beragama, tidak usah bersyariah, tidak usah shalat, tidak usah cari halal-haram, itu radikal. Anda kalau makan tidak usah mencari yang halal. Suruhan itu namanya radikal. Saya tidak makan kecuali halal, ini juga radikal. Artinya orang mempunyai kepribadian yang memiliki kekuatan yang mengakar. Sekarang bagaimana orang kafir dan Muslim berkumpul? Harus pakai toleransi. Letakkan radikalisme ini. Kita dijebak.

Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanbali harus pakai qunut, ini radikal. Tidak qunut, bid’ah dan lain sebagainya itu, juga radikal. Yang benar apa? Islam itu bukan qunut, qunut itu Islam. Bung Karno itu Indonesia, tapi Indonesia bukan Soekarno. Jadi yang dituduh Bung Karno itu Indonesia tapi Indonesia bukan Soekarno itu radikal, makar itu, tangkap! Padahal yang mengatakan itu juga radikal. Memaksakan Indonesia itu Soekarno, lha Hatta di mana? Kasman di mana? Natsir di mana? Tengku Umar di mana? Diponegoro di mana? Hasan di mana?

Nahwu itu bahasa Arab, tapi bahasa Arab bukan nahwu. Yang penting adalah bagaimana menyikapi radikalisme masing-masing. Yang kita didik adalah bagaimana menyikapi radikalismenya masing-masing. Demi bisa hidup bersama-sama, karena mereka tidak bisa hidup sendiri, mereka tidak bisa dipaksa hidup diradikali pihak lain.

Ada juga yang menuduh pesantren sarang teroris. Bagaimana pendapat Anda?

Perbuatan ini, pemaksaan-pemaksaan ini, ancam-mengancam ini namanya teror. Kita mengajarkan memakai jilbab, tutup aurat, anak-anak kita didik, tiba-tiba ada orang datang membawa barisan telanjang, pakai rok mini, buka-bukaan. Ini teror. Siapa yang diteror? Nurani! Iman kita yang diteror!

Gambar-gambar, iklan-iklan yang merusak, yang erotis itu meneror iman, teroris itu! Bagi orang Islam, hukum wajib, syariat wajib. Tapi membunuh orang kafir, tidak memakai jilbab, itu teror. Islam tidak menyuruh orang kafir itu dibunuh. Orang kafir dibunuh karena membunuh dakwah, dakwah harus berjalan. Yang menghalangi dakwah yang dibunuh. Ada orang kafir berdagang, rusak itu dagangannya, ya tidak boleh. Teror itu di mana-mana, kita ditipu. Jangan cari yang halal, haram, kalau makan, ya makan saja. Itu teror. Masalahnya yang diteror itu siapa?

Apakah stigmatisasi terorisme mempengaruhi pesantren?

Tidak. Pesantren tidak akan berhenti, jadi jalan terus. Kita harus bangga dengan keislaman.

Sumber: https://gontornews.com/2018/01/20/kita-dijebak-dengan-istilah-radikalisme/

Baca juga :