Mahasiswa Ibarat Pemadam Kebakaran, Presiden Bisa Terbitkan Perppu KPK


[PORTAL-ISLAM.ID] Aksi Mahasiswa menarik perhatian saya untuk melakukan survei kualitatif dengan teknik wawancara mendalam (In Depth Interview). Responden adalah 50 mahasiswa di Jakarta, berusia 17 -24 tahun (milenial), yaitu mahasiswa saya sendiri 10 orang di kampus dan 40 mahasiwa dari berbagai universitas negeri & swasta yang sengaja (purposif) ditemui saat dan pascademo antara tanggal 23-25 September kemarin.

Fokus pertanyaan adalah soal pandangan dan perspektif mereka dalam melakukan aksi demonstrasi. Berikut lima kesimpulan singkat sementara dari 'in depth interview' dengan responden, sebagai berikut:

1. Aksi mahasiswa murni aspirasi dan kesadaran mereka sendiri sebagai milenial of social change dalam melihat persoalan bangsa terkini, bukan dorongan siapapun --termasuk rektor atau dosen dari kampusnya.

Jadi, imbauan Meristekdikti akan memberi sanksi kepada rektor atau dosen yang dianggap mendorong mahasiswa turun ke jalan tidak efektif, malah dikuatirkan memicu demonstrasi mahasiswa lebih masif lagi. Dialog atau ngopi bareng lebih pas dalam menghadapi mahasiswa, ketimbang jalur struktural --represif. Sama seperti orang tua menghadapi anaknya sendiri di rumah.

2. Tujuan dan tuntutan aksi mahasiswa adalah menganulir pengesahan UU KPK, bukan kekuasaan (presiden). Tentu presiden bisa membatalkannya dengan mengeluarkan Perppu. Penyakit korupsi seharusnya lebih giat diberantas sesuai janji presiden, bukan sebaliknya. Di luar hal ini, itu bukanlah aspirasi dari aksi mahasiswa saat ini.

Gerakan mahasiswa tidak punya libido dan orientasi kepada kekuasaan. Memberi label gerakan mahasiswa sebagai gerakan intoleransi dan radikalisme bisa menjadi senjata yang memakan tuannya sendiri. Secara sosiologis mahasiswa yang turun ke jalan punya identitas, suku, dan agama yang heterogen.

3. Selalu ada "penumpang gelap" dengan tujuan negatif dalam sebuah kerumunan di lingkungan manapun, tidak saja di kalangan mahasiswa, tetapi juga di parlemen, bahkan di istana. Perusakan atau anarkisme bukan mindset dan bagian dari aksi mahasiswa. Oleh karena itu, aparat penegak hukum bisa menindak 'oknum' yang terbukti menunggangi dan merusak gerakan moral mahasiswa.

Independen dari kooptasi kekuasaan masih menjadi idealisme aksi mahasiswa. Itu sebab gerakan mahasiswa cenderung mendapat simpati masyarakat, dibandingkan gerakan lainnya, tetapi juga rentan ditunggangi.

4. Aksi mahasiswa ada di dunia nyata, bukan dunia maya yang dipenuhi buzzer, perang hastag, hoax, serta makian kebencian --yang turut meramaikan geliat aksi mahasiswa. Sekali lagi, aksi turun ke jalan mahasiswa bukan soal Jokowi, karena yang pro dan yang kontra Jokowi toh sekarang bersekutu mendukung pengesahan UU KPK yang dianggap melemahkan pemberantasan korupsi.

Secara politik, jika ini aksi dukung mendukung presiden, maka bukan pasca Pilpres 2019 mahasiswa bergerak, tetapi justru sebelumnya. Jadi, tidak ada misi dan niat dari aksi mahasiswa untuk menggagalkan pelantikan presiden terpilih bulan Oktober nanti.

5. Sebagai milenial dengan status mahasiswa yang menyuarakan rasa keadilan, ada dimensi kebanggaan yang melekat pada diri merekal sebagai penyambung lidah rakyat. Aksi mahasiswa ibarat pemadam kebakaran, pulang setelah api padam. Para mahasiswa yang turun ke jalan juga akan pulang ketika tuntutan mereka diakomodir. Jika tidak, mereka akan turun lagi.

Namun, kembali lagi belajar menjadi insan kampus tetap menjadi opsi utama bagi mahasiswa. Mereka sadar kehidupan pasca lulus kuliah nanti tidak mudah dan kompetitif, terutama soal lapangan pekerjaan.

Jika ada aktivis mahasiswa jadul yang mengkritik aksi mahasiswa sekarang "berbeda" dengan mereka dulu, maka aktivis mahasiswa milenial akan balik mengkritik: itu karena sekarang mereka semua "sama". Tidak ada yang abadi kecuali mantan dan Wiranto, begitu bunyi salah satu spanduk aksi mahasiswa yang tergeletak lusuh di jalan.

Penulis: Igor Dirgantara 
Baca juga :