Parade Kekerasan Polisi


[PORTAL-ISLAM.ID] Parade kekerasan dipertontonkan polisi sepanjang pekan ini. Para mahasiswa, sipil, jurnalis, dan bahkan petugas medis yang tengah bekerja jadi korban.

Mereka tidak hanya luka-luka biasa, bahkan ada yang sampai meninggal dunia.

Orang itu bernama Randi (21), mahasiswa Fakultas Perikanan Universitas Halu Oleo angkatan 2016. Dia ditembak mati dengan peluru tajam saat berdemonstrasi di depan DPRD Sulawesi Tenggara, Kendari, Kamis 26 September 2019. Apa yang dikehendaki mahasiswa seperti Randi sama seperti keinginan para mahasiswa lain yang turun ke jalan di banyak kota di Indonesia: pemerintah dan DPR RI membatalkan–bukan menunda–berbagai peraturan kontroversial seperti RKUHP.

Berdasarkan informasi yang kami kumpulkan dari para saksi mata, Randi diduga ditembak dari jarak dekat. Dari foto korban yang kami terima, ada luka berbentuk lingkaran di bagian dada kananya.

Muhammah Yusuf Kardawi (19), demonstran dari Teknik D-3 UHO, juga meninggal dunia dalam peristiwa yang sama. Kabid Humas Polda Sulawesi Tenggara AKBP Harry GoldenHardt mengatakan “polisi masih melakukan penyelidikan” terhadap peristiwa ini Dia, mengutip media lokal inikata.sultra.com, menegaskan kalau saat itu anggotanya “tidak dibekali peluru tajam dan karet.” Yang membuyarkan demonstran saat itu adalah polisi-polisi dari Polda Sulawesi Tenggara, tidak ada yang lain. Mereka saat itu berjaga di areal dalam pagar gedung DPRD.

Di pusat demonstrasi, Jakarta, Selasa 24 September 2019 seorang mahasiswa dari Universitas Al Azhar Indonesia angkatan 2016 bernama Faisal Amir terkapar di jalan Gatot Subroto dengan kepala belakang kanan mengeluarkan darah. Faisal dioperasi dua kali.

Pertama untuk tengkorak kepalanya yang retak dari bagian jidat kiri sampai ke bagian belakang kanan, kedua pada bagian tulang bahu yang patah. Soal ini, polisi lebih sibuk mencari penyebar berita bohong kalau Faisal meninggal dunia.

Seorang saksi bilang dia melihat Faisal sudah tidak sadarkan diri setelah polisi membubarkan paksa mahasiswa. Dalam pembubaran itu pula, seorang saksi bilang ada polisi yang melempar sipil yang ikut demo dengan batu hingga mengenai kepala dan berdarah. Polisi juga menangkapi puluhan mahasiswa. Beberapa di antaranya belum dibebaskan dari Polda Metro Jaya hingga kini.

Ananda Badudu, musisi yang sempat diperiksa polisi tadi pagi sebagai saksi demo, mengatakan mahasiswa yang ditangkap “diperlakukan tidak etis” dan “tanpa pendampingan [kuasa hukum].”

Sementara ibu dari seorang demonstran harus menunggu berjam-jam sebelum bisa bertemu anaknya yang ditahan. Dari kejauhan dia melihat pipi sebelah kanan anaknya biru dan jidatnya bengkak.

Korban bukan hanya mahasiswa dan masyarakat, tapi juga wartawan yang sebenarnya dilindungi sepenuhnya saat meliput berdasarkan Undang-Undang Pers. Setidaknya ada empat jurnalis yang diintimidasi–termasuk dianiaya–oleh polisi. Seorang wartawan bahkan ponselnya diambil paksa oleh polisi dan tidak dikembalikan.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mempersilakan wartawan untuk lapor. Dia juga menegaskan kalau polisi akan “berkoordinasi dengan Propam” untuk mencari identitas pelaku. Polisi juga mengintimidasi petugas medis. Padahal, seperti wartawan, mereka dilarang diusik saat sedang menjalankan tugas. Ini terjadi Rabu 25 September 2019 kemarin, setelah para pelajar STM berdemonstrasi.

Saat itu polisi bahkan menyebar hoaks dengan menyebut ambulans membawa batu dan minyak untuk para pendemo. Selain konfirmasi yang sifatnya kasuistik, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Kamis 26 September 2019 lalu, membela anggotanya dengan mengatakan aparat “berhak melindungi diri” saat menghadapi “demo anarkis” yang berisi “perusuh yang melakukan aksi kejahatan.”

Tito bilang masyarakat perlu membedakan antara demonstran asli dengan perusuh. Para perusuh ini, katanya, “sengaja memancing emosi aparat keamanan untuk bertindak lebih keras lagi. Sehingga korban diskenariokan.”

Aparat juga dibela Moeldoko, Kepala Staf Presiden. Menurutnya polisi itu punya “ambang batas emosi.” “Dia juga punya ambang batas kelelahan dan seterusnya. Apalagi ini ada prajurit-prajurit baru,” kata bekas Panglima TNI ini di Istana, Jakarta, Rabu 25 September 2019.

Kekerasan Polisi

Apa yang terjadi selama sepekan terakhir menambah panjang daftar kekerasan polisi terhadap sipil sepanjang pemerintahan Joko Widodo.

Komisi Orang Hilang dan Korban tindak Kekerasan (Kontras) mengatakan selama Jokowi jadi presiden sejak 2014 lalu, kekerasan yang dilakukan polisi mencapai 3.893 kali. Sepanjang itu 4.695 orang ditangkap, 4.874 luka, hingga 966 meninggal dunia.

Staf Biro Penelitian, Pemantauan dan Dokumentasi Kontras Rivanlee Anandar mengatakan setidaknya ada empat kesalahan polisi saat menangani massa, yang itu lantas memicu kekerasan: (1) pola pembatasan atau penanganan aksi massa menggunakan restriksi aparat penegak hukum yang tidak terukur; (2) penanganan aksi massa diarahkan secara khusus kepada kelompok-kelompok sipil yang sebenarnya tengah menggunakan hak konstitusinya untuk menyeimbangkan diskursus negara; (3) ketiadaan mekanisme akuntabilitas negara yang efektif memberikan keadilan kepada korban; (4) lembaga pengawasan yang ada di tingkat kepolisian (Propam) baik dari tingkatan polres maupun polda tidak berjalan dengan baik.

Kepada reporter Tirto, Rabu 25 September 2019, Rivanlee lantas mendesak Kapolri dan Jokowi membereskan ini semua. Salah satu yang perlu dibikin dan dipastikan ditegakkan adalah: “regulasi khusus mengenai pelanggaran disiplin dan administrasi [oleh polisi], lengkap beserta prosedur atau hukum acaranya.”

Sumber: Tirto 
Baca juga :