Papua dan Kesenjangan Dialogis


[PORTAL-ISLAM.ID]  Upaya merajut stabilitas tatanan kehidupan di Bumi Cenderawasih kembali terusik. Persekusi sejumlah oknum terhadap mahasiswa Papua di Surabaya memicu aksi di berbagai daerah. Bukan sekedar ungkapan bernada rasis yang mengemuka, tapi juga reaksi penanganan atas riak-riak persoalan acap kali menundang respons yang bertolak belakang.   

Bara api dalam sekam seakan tidak pernah redup. Publik disuguhkan pemandangan yang cenderung mengulang kisah dan cerita yang tidak ada habisnya. Pada gilirannya, Papua sebagai Tanah Damai hanya slogan, manis diucapkan, tapi begitu rumit untuk dijalankan. Hampir dua dasawarsa pemberlakukan kebijakan Otonomi Khusus seakan tidak berbekas. Kita pun dihantui kegagalan mengintegrasikan Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Suara yang Terabaikan

​Tampaknya, kegalauan pemerintah belumlah usai dalam menentukan kebijakan seperti apa yang layak diterapkan bagi kondisi Papua saat ini. Berbagai pemikiran, sejumlah rekomendasi diajukan, pun tidak membuahkan hasil signifikan bagi terciptanya perubahan. Selebihnya, tindakan-tindakan represif dan reaktif justru menghiasi lembaran-lembaran kebijakan yang justru sama sekali tidak memberikan solusi yang lebih baik.

Boleh jadi, kenyataan inilah yang membuat masyarakat Papua meradang. Konsistensi penanganan tidak pernah sejalan dengan niat tulus dan maksud baik pemerintah yang selama ini justru digemakan. Aksi represif dan reaktif yang berlindung di balik ketegasan dan adagium Negara Kedaulatan Republik Indonesia (NKRI) sebagai “harga mati”, justru “mematikan” rasa memiliki masyarakat Papua terhadap bangsanya sendiri. 

Pada kenyataannya, kondisi Papua saat ini adalah wajah kegagalan pemerintah dalam “meng-Indonesia-kan” Papua. Solusi damai yang bermuara pada cita-cita untuk mengembalikan harkat dan martabat (dignity) masyarakat Papua, hanya sebatas retorika yang hampa makna dan implementasi. Sebab, di sisi lain, proses pengembalian tersebut tidak diiringi dengan konsistensi yang melandaskan solusinya pada kebijakan Otonomi Khusus.

Harkat dan martabat adalah taruhan kemanusiaan yang menjelaskan betapa kebijakan sosial dan politik yang berlangsung selama ini masih sebatas retorika. Di balik itu, kekerasan dan penindasan tak kunjung usai. Pemerintah cenderung mengabaikan institusi-insitusi sosial, politik dan budaya yang diamanatkan oleh UU Otonomi Khusus.

Kekhususan terhadap Papua dipahami secara partikular dan sepihak, sesuai dengan kepentingan pemerintah pusat. Karena itu, sulit untuk dinafikan, bahwa letupan-letupan dinamika kehidupan masyarakat Papua akan selalu berujung pada persoalan. Suara-suara keluh dan gelisah hanya akan dimaknai sebagai “kebisingan” ketimbang ratapan anak bangsa yang sedang menuntut harkat dan martabatnya untuk diakui.

Stigma “Merdeka”.

Paradigma penanganan kondisi Papua masih belum beranjak dari imaji laten tentang “kemerdekaan”. Di satu sisi, imaji itu cukup relevan mengingat sejarah integrasi Papua dalam NKRI memiliki cerita tersendiri yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Di sisi lain, mengelola imaji tersebut diselenggarakan dengan cara yang parsial dan sederhana, tidak holisitik dan komprehensif.

Merebut hati memang bukanlah perkara mudah. Bukan sekedar melepas dahaga masyarakat Papua yang sedang tertinggal dan terbelakang. Tapi juga memberi oase harapan yang mampu menjembatani kegelisahan masa lalu. Kegelisahan yang sesungguhnya bukan lagi kegelisahan Papua itu sendiri, tapi telah menjadi kegelisahan bersama, kegelisahan yang bahkan telah menjadi konsumsi global.

Upaya terakhir inilah yang sesungguhnya pernah diajukan sebagai solusi jangka pendek di awal masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan memberi Harapan Baru melalui 3 (tiga) strategi: pertama, meningkatkan frekuensi kunjungan ke Papua; memberi grasi, membuka akses pada jusrnalisme luar negeri, pembangunan infrastruktur, kebijakan satu harga bahan bakar; kedua, meningkatkan koordinasi tingkat kementerian politik dan keamanan terkait, perubahan paradigma tentang Papua, identifikasi pelanggaran HAM, diplomasi dengan MSG; ketiga, menghindari internasionalisasi persoalan Papua, menyelesaikan persoalan HAM, serta pembangunan yang berdasarkan kultur.

Meski demikian, ketiga strategi tersebut belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Salah satu persoalan utama yang belum terakomodasi adalah persamaan visi dan misi tentang bagaimana merespons kompleksitas persoalan. Belum lagi ukuran kinerja tentang membangun Papua yang belum tertakar dengan jelas dan tegas.

Di balik itu, persepsi tentang “merdeka” masih menjadi isu laten. Respons terhadap upaya menjembatani kegelisahan seringkali lebih diwarnai sebagai upaya meredam keinginan untuk “merdeka”. Tidak bisa dipungkiri, paradigma separatisme menjadi jalan pintas untuk mengurai sebuah aksi dan peristiwa. Saling sahut kekerasan pun tidak bisa dihindari.

Persoalan Papua lebih identik dengan kekerasan, ketimbang upaya merajut kembali kehidupan yang lebih baik. Stigma separatisme mengurai jalan pintas di tengah “keputusasaan” kedua belah pihak. Stigma itu pula yang semakin mengaburkan sejarah kelam yang tak pernah terkuak dan terluruskan selama puluhan tahun.

Politik sekuritas sudah terlanjur memposisikan masyarakat Papua sebagai “musuh”. Logika ke-kita-an berangsur hilang tak berbekas, digerus oleh pragmatisme penanganan yang tidak pernah ingin mematangkan kesabaran dalam menghadapi riak-riak dan dinamika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Papua. Kondisi ini terasa sulit diterima, mengingat kebijakan Otonomi Khusus telah menyajikan jalan yang manusiawi dalam meng-Indonesia-kan masyarakat Papua.

Otonomi Khusus bukan semata pemberian, namun hak yang secara inheren terkandung dalam rahim sosial masyarakat Papua. Substansi Otonomi Khusus menegaskan bahwa masyarakat Papua adalah bagian integral NKRI. Mereka berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan setara sebagai warga negara. Perlakuan adil dan setara adalah tuntutan utama, sebab bangsa ini tidak bisa menutup mata, bahwa Papua memiliki konteks historisnya sendiri. Bukanlah sikap arif dan bijak, jika historitas Papua diabaikan dengan mengatasnamakan nasionalisme yang sempit.

Logika ke-kita-an sebagai dasar nasionalisme universal seharusnya tidak boleh tergerus oleh nasionalisme sempit. Nasionalisme yang sebatas memandang persamaan nasib dan sejarah untuk membangun komunitas. Di sisi lain, sejarah masa lalu terkadang dikubur atas nama persatuan dan kesatuan. Sementara nasib selalu tidak seiring, tidak sama dan sebanding dengan cita-cita yang hendak digapai. Oleh karena itu, nasionalisme universal menggiring opini terbuka tentang kerelaan, persamaan nasib, cita-cita dan harapan akan nilai rasa keadilan dan persamaan dalam segala hal.

Pola penanganan yang represif dan reaktif telah terbukti tidak mampu menyelesaikan persoalan, namun hanya menjadikan adagium “harga mati” NKRI sejalan dengan kemerdekaan yang juga mati. Seringkali aktivitas politik masyarakat Papua hanya menghasilkan tumbal yang justru mencederai tekad dan niat tulus untuk merangkul semua pihak. 

Siklus kekerasan dan penindasan inilah yang membuat bangsa ini terus mewarisi beban sejarah yang makin perih dan berat, sarat dengan dendam dan kebencian. Rakyat Papua selalu menjadi objek yang dipersalahkan, sementara kekuasaan berdiri dengan kebenaran yang dilegitimasi sendiri.

Sungguh disayangkan, keran aspirasi dipandang sebagai bagian dari perlawanan. Pemerintah mengabaikan institusi-insitusi sosial, politik dan budaya yang diamanatkan oleh UU Otonomi Khusus itu sendiri. Pendekatan ini cukup ironis, mengingat hingga saat ini Papua tidak berada dalam situasi darurat militer. Keterlibatan peran TNI yang cukup berlebihan menunjukkan bahwa dinamika dan  riak-riak kehidupan yang terjadi di Papua selalu dipandang sebagai ancaman yang cukup sederhana untuk sekedar dinilai sebagai tindakan separatis.

Dominasi paradigma ini menempatkan pemerintah sebagai pihak yang selalu merasa benar sendiri, justru dengan kekerasan yang mereka lakukan secara terus-menerus. Akibatnya, akar persoalan di Papua semakin tergerus dan tereduksi dalam bingkai keamanan dan ketertiban.

Solusi Dialogis

Mencermati kondisi saat ini, cukuplah kiranya kita menempatkan persoalan Papua dalam proses penyelesaian yang lebih komprehensif. Penyelesaian komprehensif akan menafikan aks-aksi parsial, seperti yang berlangsung saat ini. Salah satu proses yang mengarah pada komprehensivitas tersebut adalah mengedepankan suasana dialogis. Dialog membuka ruang rekonsiliasi kedua belah pihak. Dinamika sosial, politik, ekonomi dan budaya akan direspons sebagai tawaran awal mengompromikan sejumlah konsesi politik. Hal itulah yang tidak terjadi saat ini.

Kegagalan demi kegagalan dalam menerapkan kebijakan adalah imbas  dari menyiutnya potensi dialogis. Sementara harapan bagi kehidupan masyarakat yang lebih baik hanya bisa diselesaikan dengan cara itu. Sebab logika persatuan dan kesatuan tidak akan pernah terjalin tanpa adanya kesepahaman visi, misi, tujuan dan cita-cita.

UU Otonomi Khusus telah mengamanatkan peran institusional yang bertindak sebagai perwakilan suara rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) adalah lembaga legislatif yang berperan menjembatani dialog. Sementara Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kultural produk Otonomi Khusus memberi input pertimbangan isi dialog yang hendak disepakati. Maksimalisasi peran kedua lembaga tersebut akan menghasilkan kebijakan yang bersumber dari kepentingan rakyat (bottom-up), bukan tafsiran sepihak.

Dalam suasana dialogis, semua pihak berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Tidak ada pihak yang lebih dominan atas yang lainnya, sebab suasana dialog mengandaikan kesetaraan dan kesamaan kesempatan untuk mengemukakan pendapat. Hasil dari serangkaian dialog tersebut adalah hasil kesepakatan bersama. Sehingga simpang-siur opini tentang kondisi objektif Papua tidak dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk semakin memperkeruh suasana.

Sudah saatnya juga segala persoalan dan riak-riak parsial terkait dengan isu Papua dikanalisasi secara institusional yang merepresentasikan kepentingan Papua di satu sisi dan pemerintah di sisi lain. Pemerintah perlu melembagakan suara-suara dan opini liar tentang Papua dan mendudukkannya secara proporsional.

Baik masyarakat Papua maupun pemerintah tentu tidak ingin isu-isu laten dan kejadian yang berulang tidak terselesaikan dengan baik. Karena itu, institusi-institusi perwakilan sudah seharusnya memiliki porsi yang besar untuk didengar, bukan sekedar dijadikan bahan pertimbangan untuk kemudian pemerintah melakukan tindakan sepihak.

Berharap pada bangunan dialogis, berarti memberi secercah sinar terang bagi kehidupan rakyat Papua. Stigma separatisme akan terkikis saat dialog menjadi metode penyelesaia persoalan. Pada akhirnya, tidak ada persoalan yang tak bisa diurai dan diselesaikan dengan baik, selama niat dan kehendak tulus masih bersarang dalam logika akal sehat.

Dua dasawarsa operasi kebijakan Otonomi Khusus tidaklah sebanding dengan puluhan tahun masa kelam penderitaan rakyat Papua. Sementara itu, 25  tahun masa pemberlakuan Otonom Khusus seharusnya memantik tidur lelap panjang kita untuk terbangun dan menyadari betapa rentang batas masa itu semakin dekat. Karena itu, tanpa suasana kultural-dialogis, pendekatan komprehensif, maka retorika tidak cukup mampu mengurai substansial persoalan hingga terselesaikan dengan baik.

Penulis: Yorrys Raweyai

Baca juga :