Gagasan Bersayap dalam UU KPK Perubahan


[PORTAL-ISLAM.ID]  Perubahan UU KPK yang hanya tertuju pada beberapa pasal berhasil dilakukan. Perubahan ini melewati perdebatan yang begitu riuh ditengah masyarakat. Perdebatan yang tersaji secara empiris terlihat memola dalam dua kutub besar; setuju dan tidak setuju. Cukup riuh. Ditengah keriuhan itulah perubahan UU KPK disahkan.

Demokrasi yang sisi empirisnya tak selalu jelas, selain membingungkan, terlihat dalam keriuhan gelombang politik perubahan UU ini. Transparansi dan akuntabilitas yang menjadi dua sisi hebat demokrasi, yang hendak dipromosikan para perencana perubahan UU ini, terlihat menjadi hal asing. Keasingannya dibingkai rapi dalam tema “melemahkan” KPK. Itu karena KPK diawasi Badan Pengawas dan KPK diberi wewenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Sebagai konsep yang selalu hebat di alam pikir, bukan empiris, demokrasi memungkinkan ide apa saja disajikan. Ketidakjelasan konsep dasar demokrasi, dalam kenyataannya memungkinkan munculnya ide-ide mengagumkan untuk urusan tertentu pada waktu tertentu, tetapi pada waktu yang lain dalam urusan yang lain ide-ide hebat itu terlihat asing dan berbahaya.

Rancu

Itu sebabnya pengagum demokrasi sekalipun dapat memperlihatkan keasingannya dari kehebatan demokrasi itu sendiri. Akuntabilitas dan transparansi yang hanya dapat dikenali melalui pemaknaan atas gagasan dibalik munculnya demokrasi, untuk alasan misalnya korupsi telah menggurita, dibolehkan untuk dikubur. Kelirukah? Tidak. Tetapi cukupkah argumen itu? Tidak juga. Lalu apa?

Pada titik ini muncul kebutuhan mengenali dua perspektif besar dari dua tokoh besar. Aristoteles memungkinkan demokrasi dikurangi derajatnya, bila kemiskinan merajalela. Tujuannya untuk memungkinkan penggunaan cara tertentu memerangi kemiskinan itu. Tetapi James Madison di sisi lain tak searah dengannya. Bagi James Madison bila demokrasi memukul orang kaya, maka demokrasi itulah yang harus dikurangi.

Di jalan mana diantara dua sudut perspektif itu yang harus dilalui? Aristoteles atau Madison? Dua-duanya memiliki sisi menakutkan. Memperbesar bobot demokrasi sama dengan membenturkan diri pada ketidakjelasan demokrasi itu sendiri. Ketidakjelasan itu memungkinkan terciptanya anarki. Menyuntikkan segala macam ide, apapun kreatifnya, sebanyak-banyak ke dalam demokrasi sama dengan membiarkan ketidakjelasan mendatangi setiap orang pada setiap waktu.     

Fanatisme, selalu begitu, membutakan. Tetapi selalu responsive juga sama, membutakan. Hebatnya dua sisi yang saling menyangkal sama-sama mendapat tempat dalam demokrasi secara umum. Itu sebabnya setiap gagasan tidak bisa begitu saja ditolak, tetapi tidak bisa juga serta-merta dianggap oke. Semua sisi –konseptual dan konsekuensi empiris- dalam gagasan itu, mau tidak mau harus diperiksa.

Dewaan Pengawas misalnya akan terlihat pada level konspetual sebagai sesuatu yang tak terelakan dalam demokrasi. Dewas hadir  untuk alasan akuntabilitas dan transparansi. Akuntabilitas dan transparansi diandalkan demokrasi melawan penyalah-gunaan wewenang. Akuntabilitas dan transparansi diandalkan demokrasi sebagai cara membatasi wewenang. Setidak-tidaknya penggunaan wewenang itu dapat dicek.

Pada dimensi politik akuntabilitas dan transparansi disuguhkan sebagai cara mengamankan masa depan demokrasi itu sendiri. Bukan karena Jasson Brennan, penulis buku Againts Democracy meragukan keunggulan empiris dan praktis demokrasi, tetapi harus diakui dimensi empiris akuntabilitas dan transparansi untuk sejumlah urusan terlihat kabur dan membingungkan.

Itu karena transparansi dan akuntabilitas, sama dengan demokrasi itu sendiri memiliki sejumlah sisi yang tidak jelas. Ketidakjelasan itu memang tidak menghancurkan, tetapi akuntabilitas dan transparansi yang tak didefenisikan secara baik, rigid, tentu terukur, justru memproduksi kegelapan. Secara empiris kegelapan lahir dan tercipta dari ketidaktegasan rumusan hukum. Ketidakpastian hukum justru mengaburkan dan mengakibatkan akuntabilitas dan transparansi terlihat berbahaya.

Penyakit Hukum 

Penyakit hukum paling alamiah tidak pernah lain selain rumusannya yang tidak pernah sederhana, juga bahasa yang bersayap-sayap. Penyakit itu pada level yang sangat nyata terlihat pada rumusan batas waktu suatu perkara yang dapat diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Sepintas rumusan yang beredar menyatakan bahwa SP3 “dapat diterbitkan” setelah sebuah perkara mengendap selama dua tahun.

Ketdakpastian hukum bersumber dari “kata-kata” dalam “ayat” atau “huruf”  pasal. Tidak lebih. Tidak diluar itu juga. Apa sifat hukum dari kata “dapat” dalam rumusan pasal itu? Kata “dapat” tidak punya arti dan makna lain selain tidak wajib, tidak imperatif.

Konsekuensinya sekalipun satu perkara telah mandeg selama dua tahun, dan penyidik belum juga mampu menuntaskan penyidikannya, tidak serta-merta menjadi dasar diterbitkannya SP3.

Tetapi disisi lain bila perkara itu telah disidik selama dua tahun dan tidak juga menemui kejelasan, dan penyidik “mau” maka penyidik berhak menerbitkan SP3. Normanya adalah perkara harus mandeg, dan mandegnya harus dua tahun. Ini imperatif atau menjadi sebab sah timbulnya hak menerbitkan SP3. Sebaliknya, sekalipun norma itu telah terpenuhi – sudah mandeg selama dua tahun-  tetapi penyidik tidak mau menerbitkan SP3, maka sikap penyidik itu sah.

Sah karena hukum membenarkannya melalui kata “dapat” itu. Rumusan ini memberi penyidik hak memilih tindakan hukum. Hak itu berupa menerbitkan atau tidak menerbitkan SP3. Penyidik dalam kasus ini tidak memilih dasar hukum, melainkan hanya memilih tindakan hukum yang hendak diambil. Karena hukum memberi pilihan bebas pada penyidik, maka tindakan hukum apapun yang diambil penyidik harus diterima sebagai tindakan hukum yang sah.

Penyakit alamiah hukum ini juga terlihat pada rumusan mengenai wewenang Badan Pengawas KPK. Badan ini sejauh yang diketahui diberi wewenang; (a) memberi izin penyadapan. (b) memberi izin penyitaan dan penggeledahan. (c) mengawasi perilaku penyidik, dan (d) mengawasi perilaku pegawai. Rumusan ini jelas mengidap kelemahan. 

Sejauh ini hukum positif, khusus Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum mengatur tata cara penyadapan. Ini berbeda dengan penyitaan dan penggeledahan. KUHAP cukup jelas mengatur dua isu ini. Disini letak masalahnya. Masalahnya adalah apakah penggeledahan dan penyitaan menurut UU KPK yang baru saja diubah itu sah hanya dengan dibekali izin Badan Pengawas? Sepintas jawabannya positif, sah.

Argumennya kurang lebih begini, UU KPK  merupakan UU khusus, sehingga aturan yang terkandung di dalamnya juga bersifat khusus. Di sisi lain KUHAP merupakan aturan yang bersifat umum. Dalam ilmu hukum dikenal asas dalam hal terdapat dua undang-undang yang satu bersifat khusus dan yang satu lagi bersifat umum, dan kedua UU ini mengatur hal yang sama – lex specialis derogate legi negerali – maka hukum khususlah yang berlaku. Ini sering disederhanakan menjadi hukum khusus mengenyampingkan hukum umum. 

Itukah yang dikehendaki oleh pembentuk UU ini? Bila itulah yang dikehendaki pembentuk UU ini, maka penyitaan dan penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik KPK tidak lagi memerlukan izin dan atau persetujuan pengadilan. Bila ini yang dikehendaki pembentuk UU, maka keuntungannya adalah terjadi penyingkatan proses penyidikan. Praktis seluruh proses penyidikan sepenuhnya ditentukan sendiri oleh KPK.

Tetapi pasal itu tidak dapat diinterpretasi dengan jenis interpretasi apapun yang tersedia dalam ilmu hukum, yang memunculkan hukum berupa SPDP hanya dapat diterbitkan penyidik setelah lebih dahulu disetujui atau mendapat persetujuan  Dewan Pengawas. Tidak. Penggeledahan dan penyitaan sama sekali tidak memiliki sifat sebagai  dimulainya penyidikan.

Penggeledahan dan penyitaan adalah satu jenis alat paksa yang hanya dapat digunakan bila proses perkara telah berada pada level penyidikan. Kedua alat paksa ini digunakan untuk menemukan fakta, bukti – hard evidence- dalam menguatan derajat pembuktian perkara itu. Itu saja. Dengan demikian, penyidik tidak, dalam makna hukum memerlukan persetujuan atau izin Dewan Pengawas untuk memulai penyidikan. Tidak.
Tetapi apapun itu, hal-hal yang dikemukakan di atas menunjukan sifat alamiah hukum yakni selalu tak cukup jelas. Hal-hal yang dikemukakan di atas juga membuktikan satu hal; penegakan hukum sepenuhnya merupakan urusan interpretasi hukum. Interpretasi hukum, karena itu menjadi inti dalam urusan penegakan hukum.

Di atas semua urusan penyakit alamiah hukum yang dikemukakan di atas, satu hal yang tak meragukan sedikitpun adalah orang baik selalu tahu bahwa hukum tidak bakal bengkok di tangan orang baik. Moralitas kebaikannya menjadi perisai dirinya menegakan hukum. Moralitas baiknya membawa dirinya tahu membengkokan hukum adalah pekerjaan orang jahat, siapapun mereka dan di tempat manapun mereka bekerja.

Penulis: Margarito Kamis
Baca juga :